Seusai Bu Amirah pergi, Adiba ikut membantu mertuanya di dalam dapur, memasak adalah kegiatan yang sudah menjadi hobi Bu Aisyi, Adiba sudah pintar memasak karena selalu membantu ibunya ketika menyiapkan jualan nya.
"Diba sayang, biar Umi saja yang memasak. Kamu duduk saja." ujar Bu Aisyi menunjuk kursi.
"Nggak Mi, Biar Adiba bantuin Umi memasak. Atau Umi duduk saja? Biar Adiba yang memasak semuanya."
"Lho jangan dong, ya sudah kamu bantu Umi menumbuk kentang ya ... Umi ingin buat perkedel."
"Iya, Mi. Biar Adiba saja yang buat perkedel nya."
Adiba langsung mengambil peralatan yang di butuhkan dari rak, dan juga bahan-bahan yang akan ia gunakan untuk membuat perkedel.
Dengan cekatan, Adiba mengupas kentang lalu mengukus nya hingga lembut. Sambil menunggu matang, Adiba langsung mengulek bumbu-bumbu hingga halus lalu menumis di samping Bu Aisyi.
Bu Aisyi menyunggingkan senyum nya, ia bersyukur karena Adiba memang pantas di jadikan istri untuk anaknya, tidak hanya bisa memasak, Adiba juga bisa dalam semua hal, tidak seperti wanita jaman sekarang yang hanya bisa berbelanja dan menghabiskan uang suaminya.
Tiba-tiba saja Bu Aisyi pusing lalu pingsan dan jatuh di bawah lantai, Adiba kaget lalu ia mematikan kedua kompornya dan duduk di dekat Bu Aisyi lalu menepuk-nepuk pipinya.
"Mi, bangun, Mi." Adiba panik lalu berteriak memanggil suaminya.
Fabian datang, dengan sigap pria itu langsung mengangkat tubuh Bu Aisyi dan membawanya ke rumah sakit.
Di dalam mobil, bu Aisyi memegang erat tangan Adiba, ia sadar tetapi mulut susah untuk bicara, mata pun jika di buka terasa sangat pusing, jadi Bu Aisyi hanya diam saja di pangkuan Adiba.
Setelah sampai di Rumah sakit, para suster langsung membawanya ke ruang UGD. Fabian dan Adiba di luar menunggunya, Fabian sudah menelpon adik nya untuk memberitahu bahwa Umi jatuh pingsan agar segera ke Rumah sakit.
"Kamu kenapa biarin Umi yang lagi pusing suruh masak? Kamu kan bisa masak, kenapa gak suruh Umi duduk saja." Fabian menekankan kata-katanya.
"Maaf, Mas. Adiba nggak tahu-"
"Cukup, awas saja sampai Umi kenapa-kenapa, tanggung sendiri akibatnya." lantang Fabian, ia berdiri kala dokter sudah membuka ruangannya.
"Astagfirullahaladzim ..." gumam Adiba lalu mengikuti arah suaminya, mereka masuk ke dalam ruangan rawat inap karena Bu Aisyi sudah pindah kesana setelah di periksa.
"Mi ..." Fabian memeluk Bu Aisyi dengan pelan, mata wanita yang terbaring lemah itu masih terpejam, Fabian langsung menatap dokter dan meminta penjelasan.
"Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?"
"Vertigo nya kambuh, Pak. Saya sudah suntikkan obat ke dalam cairan impusnya, Pak. Tunggu selesai, baru boleh pulang." jelas Dokter.
"Lalu, kapan Ibu saya akan sadar, Dok?"
"Ibu Aisyi sudah sadar, Pak. Ia hanya bisa memejamkan matanya saja, mungkin karena terlalu pusing jadi ia tak mau membuka matanya, insyaAllah setelah obatnya bereaksi, maka pusing nya akan hilang."
"Begitu ya Dok? Baiklah terimakasih, Dok."
"Saya pamit dulu Pak, Bu. Nanti suster membawa obat serta makanan nya, ditunggu ya ... permisi." Dokter melenggang pergi setelah menjelaskan kepada keluarga pasien.
Fabian mendengus kesal, ia menarik tangan Adiba kasar lalu membawanya ke depan ruangan.
"Awsh ... Sakit, Mas" ringis Adiba, ia memegang tangan nya.
"Kamu diam disini tunggu Abi dan Kaira. Nggak usah masuk, biar aku saja." ujar Fabian lalu menutup pintu ruangannya.
Adiba hanya diam saja, ia menurut lalu duduk di bangku panjang bersama orang lain, matanya menatap ke arah kanan dan kiri mencari Pak Alzam dan Kaira.
Tak lama kemudian Kaira menghampiri Adiba, ia langsung menanyakan keberadaan Umi nya.
"Umi ada di dalam, Dek. Mari Kakak antar." Adiba hanya tersenyum kepada Pak Alzam untuk menyapa nya.
"Umi!" seru Kaira ketika melihat Umi nya sedang berbicara dengan Fabian.
"Pelan, Dek." Fabian mengingati, ia meletakkan jarinya pada bibirnya.
"Iya Kak, maaf." Kaira hanya meringis.
"Umi kenapa bisa seperti ini? Pasti Umi kelelahan, Umi tidur larut malam dan bangun pagi sekali." ucap Pak Alzam lalu menggenggam tangan Bu Aisyi.
"Umi tadi sedang masak Bi, sama Adiba. Tapi tiba-tiba Umi pingsan." sahut Adiba pelan dan merasa bersalah, ia menundukkan kepalanya tak berani menatap Fabian "Maaf, Bi." sambung Adiba.
"Bukan salahmu Dib, Umi memang sering kumat vertigo dan asam lambung nya." Pak Alzam menggelengkan kepalanya pelan.
"Iya, kak. Benar yang katakan Abi, Umi memang sering kambuh." Kaira memegang pundak Adiba "Kakak laper nggak? Ayo ke kantin dulu saja. Lagian ada Abi sama Kak Fabian."
"Iya sana Dek. ajak Adiba beli makan," sahut Pak Alzam dengan cepat.
"Uang nya mana, Kak?" Kaira cengengesan menatap Fabian.
"Nih" Fabian menyerahkan uang kepada Kaira. Fabian lupa, ia belum memberikan jatah tanggung jawab kepada istrinya.
"Adiba, sini" Fabian mengajak Adiba ke arah sofa yang ada di dalam ruangan itu.
"Kenapa, Mas?"
"Pakai saja untuk kebutuhan mu sekarang, maaf aku lupa memberikannya, nanti aku kasih di rumah saja, nanti biar kamu atur." Fabian menyerahkan uang juga kepada istrinya serta kartu ATM.
"Terimakasih, Mas."
"Iya, sama-sama"
Adiba dan Kaira pergi meninggalkan ruangan itu dan menuju kantin rumah sakit. Mereka berdua terlihat seperti kakak beradik yang akur.
Di kantin, Adiba hanya memesan soto saja begitu pun dengan Kaira, mereka berniat hanya untuk mengganjal perutnya. Setelah selesai makan, Adiba dan Kaira kembali ke dalam ruangan dengan membawa air mineral dan beberapa snack ringan.
Bu Aisyi sudah membuka matanya dan sedang di suapi makan oleh Fabian yang duduk di samping nya. Fabian menoleh ketika pintu terbuka sambil menjawab salam.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" sahut Fabian dan Bu Aisyi.
"Kak, biar adek saja sini" Kaira mengambil mangkuk bubur yang ada di tangan Fabian, Fabian menyerahkannya.
"Umi, maafkan Adiba ... Seharusnya tadi Adiba saja yang memasak ..." Adiba menggenggam tangan Bu Aisyi.
"Hey ... Kamu nggak salah sayang, Umi memang sering seperti ini, sering kambuh tiba-tiba karena kecapean tapi Umi paksa jadi ya tumbang sampai seperti ini" Bu Aisyi mengelus lengan Adiba "Sudah jangan merasa bersalah sama diri kamu sendiri." sambung Bu Aisyi.
"Iya, Mi. Sekali lagi maafkan Adiba, Mi."
"Iya sayang, Umi sudah nggak apa-apa kok."
Pak Alzam sudah pamit karena ia harus kembali ke pondok.
"Kak, ajak istrimu pulang gih ... Umi sama adek saja." ujar Bu Aisyi menatap putra sulung nya.
"Nggak, Mi. Adiba disini saja." sahur Adiba dengan cepat.
"Memang nya kalian semalam nggak capek apa?" tanya Kaira sambil kesemsem menatap kakak nya.
"Nggak, kita berdua tadi malam tidur nyenyak kok." sahut Adiba polos membuat Kaira tak bisa menahan tawa nya lagi, Bu Aisyi hanya tersenyum simpul.
"Memang nya Kak Adiba nggak di eksekusi sama Kak Fabian?" tanya Kaira penasaran, Fabian semakin panas saja mendengarnya.
"Eksekusi? eksekusi apa Kai?"
"Hahaha ..." Kaira menyemburkan tawanya.
"Lagian otak adek berpikir negatif saja, istighfar kamu!" Fabian menyentil dahi Kaira dengan sedikit keras.
"Akhh, Kak! Sakit tau ..." ringis Kaira.
"Kak!" Bu Aisyi memperingati Fabian.
"Sudah-sudah, kalian sholat dulu sana sudah adzan tuh ..." kata Bu Aisyi.
"Ya, Mi. Fabian mau ke masjid saja, kalian berdua disini saja sholatnya, temani Umi." kata Fabian.
"Lah kan kita nggak bawa mukenah, bambang!" Kaira mencebikkan mulut nya.
"Oh ya, ya sudah Kakak dulu sama Adiba, ayo Dib." Fabian menarik tangan Adiba untuk pergi ke masjid.
"Eh-" Adiba menatap Kaira, tangannya terus saja di gandeng Fabian.
"Duluan saja Kak, nanti Kaira menyusul." seru Kaira lalu menutup pintu ruangan nya.
"Lho adek memang nya semalam kasih ke Adiba baju tidur yang mana? Kok bisa gagal?" tanya Bu Aisyi. Bu Aisyi blak-blakan saja karena Kaira sudah paham, ambil bagian dokter pun di bagian Obgyn.
"Ah iya Mi, lupa ... Adek kasih yang biasa adek pakai ..." Kaira menggaruk kepalanya yang tidak gatal mengingat kejadian semalam.
"Pantas saja, ya sudah biarkan saja mereka seperti ini dulu."
"Iya, Mi. Tapi lama kelamaan juga Kakak pasti cinta sama Kak Adiba. Apalagi sudah di halalin sama Kakak, kalo adek jadi kak Adiba mah seneng banget Mi ... Kayak seperti dapet jackpot"
"Kebalik Dek, Kakak mu yang dapat jackpot nya. Adiba pintar dalam segala hal lho ... dan ia juga nggak seperti wanita jaman sekarang, yang hobi nya goyang-goyang di depan kamera."
"Sudah banyak wanita yang seperti itu, Mi. Katanya sih sudah trend. Di ingatkan pun tetap saja, nggak peduli ..."
"Berjoget atau menarinya seorang wanita di hadapan yang bukan mahram dihukum haram karena godaan wanita begitu dahsyat. Kecuali jika ar-raqshu (kita sebut lemah gemulainya) yang dilakukan istri di hadapan suami, hukumnya halal. Hal ini dengan catatan, tidak dilihat oleh orang lain." ujar Bu Aisyi.
"Kalau Adek sudah nikah, berarti boleh dong goyang dombret, goyang inul, goyang patah-patah di depan suami adek nanti, hahaha ..."
"Haduh anak Umi ada-ada saja, tapi ingat ... haram dilihat oleh orang lain selain suami mu sendiri."
"Iya, Mi. Adek hanya bercanda saja kok."
***
Sore hari, Bu Aisyi pulang dari rumah sakit. Adiba dan Kaira memapah di samping kanan dan kiri tubuh Bu Aisyi dan membawanya ke dalam kamar.
"Alhamdulillah" ucap Bu Aisyi setelah duduk di pinggir kasur.
"Umi istirahat dulu saja, nanti kalau maghrib adek bangunin Umi."
"Iya, Dek. Abi mu mana?"
"Abi kehalang hujan, Mi. Jadi Abi masih di pondok." sahut Fabian dari belakang.
"Oh begitu ya ... Umi istirahat dulu, kalian juga istirahat gih ... Pasti kalian capek karena di repotin Umi dari pagi tadi,"
"Hust, Umi nggak boleh ngomong seperti itu." Fabian mendesis.
"Iya, Mi. Adiba nggak mau Umi kenapa-kenapa." kata Adiba membuka suara nya.
"Umi sudah sehat, sayang. Dib ... Umi minta tolong boleh?" tanya Bu Aisyi.
"Boleh, Mi ..."
"Nanti kalau kamu sudah nggak capek, tolong masak untuk makan malam ya ... Kasihan nanti suamimu yang lahap makan jadi harus puasa." gurau Bu Aisyi.
"Adek bantuin, kak. Tapi adek tiduran dulu di sofa depan ya ..."
"Iya, Dek. Kalau begitu Adiba keluar dulu ya Mi ... Assalamualaikum ..."
Fabian menguntit istrinya dari belakang, mengikuti langkah nya hingga menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamar nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
erni 76
lanjut
2023-01-15
1