Iaros tampak senang.
Aku tertipu lagi. Kamila menggigit bibirnya keras-keras untuk melampiaskan rasa marah pada dirinya sendri. Aku termakan rayuan lagi lalu melihat dia lagi.
Sebenarnya kenapa ia lahir dalam kondisi seperti ini? Kenapa Kamila harus lahir dalam pikiran bodoh ini?
Katanya Narendra cerdas. Katanya Narendra berakal. Tapi di mana akalnya saat ia terus melihat Iaros di sana bermain-main?
"Tuan Muda." Kamila mengusap sudut matanya yang sudah berair. "S-saya ingin kembali saja. Saya lelah."
Dios tak mengerti dengan wanita ini. Dia cuma diam lalu menangis. Apa dia lahir untuk menangis?
Tapi Dios tak akan melepaskannya semudah itu. Jadi ia meletakkan minuman, lalu menarik pinggang Kamila berjalan.
"Biar kuantar," ucapnya lembut. Bisa Dios rasakan mata Iaros memantau mereka.
Sayangnya malam ini Iaros tidak bisa bergerak bebas. Satu-satunya yang tidak boleh kabur dari pesta sekarang adalah dia.
Dibawa Kamila melewati lorong-lorong, keluar sampai mereka tiba di bangunan Kamila beberapa hari ini tinggal.
Tentu saja, Dios juga masuk ke kamarnya.
Belum apa-apa dia sudah menangis.
Apa kebetulan dia memang menggunakan itu sebagai senjata? Mau tidak mau Dios berpikir begitu. Ia sungguh tidak pernah melihat wanita yang kerjanya cuma menangis padahal sudah dewasa.
Bahkan adik bungsu mereka yang berusia enam belas tahun dan seorang wanita tidak pernah menangis. Dia malah orang yang akan tertawa di atas tangisan orang lain.
"Ada apa?" Dios membelai pipinya.
Dan Kamila terlalu sibuk meratapi perasaannya untuk sadar jarak mereka tingkah sejengkal. Ia menutup mata, memaksa matanya berhenti berair namun justru semakin banjir.
Ia tak suka jadi lemah. Tapi rasanya ia lahir untuk lemah dan hanya lemah.
"Kamila."
"Hiks."
"Kamu ... mencintai Iaros?"
Tubuh Kamila membatu. Matanya berkaca-kaca, memerah melihat Dios tersenyum licik di pipinya.
"Jadi begitu. Jadi kalian memiliki hubungan seperti itu."
"Ti-tidak!" Spontan ia menyangkal. Membayangkan ibu tahu lalu mengurungnya di dalam kastil sungguhan. "Anda salah paham, Tuan Muda! Saya hanya sedang menstruasi dan kesakitan!"
"Apa aku bodoh?"
Kamila terkesiap takut.
"Aku sangat mengenali wajah sepertimu." Dios menarik kasar dagunya agar Kamila mendongak. "Wajah wanita cab*l yang dikotori berulang kali oleh pria cab*l juga. Ah, tangisanmu ini. Apa tujuannya untuk merangsang? Apa itu yang kamu inginkan?"
"Tidak." Kamila menggeleng ketakutan. "Tidak. Anda salah paham. Tidak seperti itu. Saya hanya—"
"Aku tidak marah. Aku tidak akan mengadu." Dios menarik wajahnya dan mencium Kamila tiba-tiba.
Spontan saja ia memberontak. Tapi Dios memang tidak berniat mendesak dan membiarkan Kamila kabur, meringkuk di atas kasurnya.
"Aku menciummu." Dios menjilati bibirnya yang terasa asin. "Begitu yang Iaros lakukan, kan?"
Kamila menangis terisak-isak.
"Begitulah pria, kakakku yang cantik. Kami hanya menikmati bibirmu, atau mungkin dadamu, atau mungkin selangkanganmu."
Dios terkekeh.
"Apa yang kamu harapkan dari Iaros? Menurutmu dia benar-benar menyukaimu? Dasar bodoh. Perlukah diam-diam kumasukkan kamera ke kamar pengantin Iaros malam ini agar kamu tahu bagaimana sebenarnya dia memperlakukan wanita?"
"Iaros tidak seperti itu!" Tanpa sadar Kamila membenarkannya sendiri. "Iaros berbeda! Dia mencintai saya—"
"Mencintai, hah? Kamila-ku yang manis. Mengapa kamu mengucapkan sesuatu yang bahkan tidak terlihat dan tersentuh olehmu?"
Perasaan Kamila mendadak sesak. Setengah dari dirinya membenarkan ucapan Dios hingga justru semakin ketakutan.
"Aku akan membantumu." Dios tersenyum. "Akan kuperlihatkan wujud kakaku yang cab*l itu padamu."
Kamila menutup wajahnya. Mengerang seolah ia kesakitan berharap agar hidupnya berakhir saja jika harus selalu seperti ini.
*
Apa kalian pernah merasa tidak akan ada satupun di dunia ini yang melindungi kalian?
Kamila selalu merasakannya. Ketika awal-awal ia mulai mempertanyakan segalanya, mulai berharap memiliki sedikit kebebasan dari takdirnya, Kamila merasa ia sendirian dan kesepian.
Dirinya sering berharap bahwa seseorang datang menanyakan lukanya dan menyelamatkan Kamila dari kubangan dalam ini.
Tapi tidak ada.
Tidak ada ... kecuali Iaros.
Karena itu Kamila hanya tahu bagaimana cara mengingat kenangan manis untuk menutup kenyataan sepinya saat ini.
"Apa Anda tidak bosan bermain dengan saya?" tanya Kamila saat usianya menginjak sebelas tahun. "Saya tidak bisa mengajak Anda bermain sesuatu yang menarik. Anda hanya di sini menemani saya merangkai bunga. Anda tidak bosan?"
Dan Iaros selalu tersenyum jika ia mulai bertanya seperti itu. "Aku lelah dengan permainan menarik. Jadi aku mencari kebosanan."
"Bukankah itu berarti saya membosankan?" Kamila cemberut.
"Tapi bukankah itu berarti sekalipun kamu membosankan, aku mencarimu?"
Kamila meringkuk sendirian di kamarnya. Ditelan oleh kesunyian tanpa bisa melihat apa-apa selain kegelapan. Ia duduk di tepi ranjang, menatap permukaan danau yang di malam hari selalu bersinar oleh lampu-lampu dari bawah air.
Tiba-tiba ....
Pintu terbuka. Kamila langsung menenggelamkan wajah ke lututnya saat orang itu datang, memeluknya dengan aroma segar seolah dia habis mandi di tengah malam begini.
"Aku membuatmu menunggu." Iaros berbisik. "Maaf. Maafkan aku, Kamila."
Kamila berharap ia bisa berkata pergilah. Tapi ketika ia mendongak, melihat Iaros kembali menatapnya dan bukan wanita lain, Kamila tersenyum dalam tangis.
Langit terlalu jauh untuk ia jangkau. Memijak tanah pun terlalu sulit ia lakukan. Jadi Tuhan, izinkan ia mendekap orang ini bahkan jika ia dipermainkan.
"Peluk saya."
Iaros memeluknya sangat erat. "Gadis kecilku. Aku benar-benar tersiksa melihatmu menangis seperti ini."
Kalau begitu, bolehkah Kamila menangis lebih banyak agar Iaros terus tersiksa memikirkannya dan berhenti memikirkan hal lain?
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments