"Kamila."
Gadis itu tersentak. Buru-buru menghapus air matanya. "Ya, Nona?" balas ia serak.
Dia adalah saudara sepupu Kamila juga, berusia sedikit lebih muda darinya dengan rambut burgundy yang cantik. Namanya Euribia.
Meski sebenarnya sama-sama Narendra, untuk menghormati keturunan asli, Kamila, Amarilis dan kakaknya memanggil seluruh Narendra dengan sebutan tuan juga nona.
Perbedaan nama mereka juga mengesankan hal itu.
"Kamu menangis lagi." Gadis itu menghela napas. "Aku akan berpura-pura tidak melihat. Bisa tolong bantu aku?"
Euribia atau yang Kamila lebih sering sebut Nona Ribia adalah teman baiknya. Dulu sewaktu kecil Ribia diasuh oleh Amarilis hingga baginya ibu itu adalah sosok Amarilis sendiri.
Mungkin, hanya dia yang tahu bahwa Kamila sering menangis di dalam kamar dan balkonnya.
Menganggap bahwa Kamila akan terganggu—juga mengerti bahwa Kamila tidak bisa menjelaskan situasinya, Ribia cukup mengerti saja.
"Pekerjaan Anda sepertinya semakin banyak, Nona."
Ribia membetulkan kacamatanya hingga wajah cantik itu terlihat lebih bulat dan manis. "Ya. Iaros sebentar lagi akan menikah, kamu tahu, jadi aku mengerjakan beberapa pekerjaannya dulu. Kakak-kakak yang lain juga sangat sibuk. Tapi aku sedikit tidak sabar. Sejak pernikahan Kakak Deimos lima tahun lalu, kita belum pernah membuat pesta sama sekali."
Mulut Kamila bungkam. Ia tetap tak mau perasaaan terlarangnya pada Iaros diketahui. Meski mungkin Ribia akan mengerti, tidak ada yang dapat mereka ubah dari sebuah peraturan turun-temurun keluarga.
Sesampainya di perpustakaan, Kamila mengikuti Ribia. Ternyata gadis itu membutuhkan beberapa dokumen perpustakaan, dan sejak tujuh enam tahun ini ia yang mengurus susunan buku perpustakaan.
Kamila coba mengingat-ingat di mana dokumen itu tersimpan. Lantas ketika ingat ia meletakkannya di rak paling atas, Kamila mengambil tangga untuk naik menjangkaunya.
Tinggi lemari buku sekitar tiga setengah meter. Jadi mustahil dijangkau oleh tangan kosong.
"Kurasa ini bu—" Kamila mengerjap melihat sebuah buku usang menjadi seperti alasan bagi susunan dokumen rapi.
"Ada apa, Kamila?"
Ia menoleh kaget. "Tidak, Nona. Hanya ada debu sedikit."
"Pelayan seharusnya membersihkan. Apa yang mereka lakukan?"
"Tidak apa, Nona. Hanya sedikit debu. Nanti saya sampaikan agar mereka membersihkannya." Kamila bergegas turun. Menyerahkan dokumen itu. "Maaf hanya bisa membantu seperti ini."
Ribia memukul kepalanya dengan buku pelan. "Narendra tidak meminta maaf, dasar kakak bodoh."
Kamila tertawa kecil. "Sampai jumpa lagi, Nona."
"Ya. Akan kubelikan beberapa makanan jika kembali. Tentu, jangan katakan pada siapa pun."
Perasaan Kamila sedikit membaik. Makanan yang Ribia maksud adalah jajanan di kota. Narendra tidak boleh makan tepung, dilarang makan gorengan, lebih banyak mengonsumsi buah dan sayuran.
Ketika pertama kali Kamila mencoba makanan dari dunia luar yang diselundupkan Ribia, ia merasa seperti ingin makan itu selamanya.
Tapi tidak boleh.
Karena tidak sehat.
Kalau dipikir-pikir, aku dan Iaros juga pernah menyelundupkan makanan.
Tatapan Kamila sayu ketika ingatannya terlempar beberapa tahun silam, sewaktu ia dan Iaros masih selalu bersama di kastil ini.
"Hei, Kamila." Waktu itu, Iaros masih berusia sekitar delapan tahun. Datang membawakan Kamila sebuah pie mini yang di atasnya ada hiasan cream cantik.
Narendra punya koki dan Kamila bisa minta mereka membuat pie isi blueberry asli yang banyak. Tapi sewaktu Iaros datang membawakannya, Kamila sangat senang.
"Apa itu, Tuan Muda?"
"Aku minta Kakak membeli sesuatu dan dia membeli ini." Iaros duduk di sampingnya. Menyerahkan pie itu pada Kamila. "Buatmu. Kamu suka makanan manis, kan?"
"Tapi ini milik Anda."
"Aku akan makan yang kamu sisakan."
Pipi Kamila memerah meski saat itu ia masih terlalu kecil. Sangat kecil tapi sudah jatuh cinta. "Seharusnya Anda yang makan dan saya yang makan sisanya."
"Tapi aku ingin kamu yang makan." Iaros mencolek cream di atas pie itu, lalu memakannya. "Hmmmm. Ini manis sekali! Kamu pasti suka!"
Mulut Kamila langsung meleleh. "Be-benarkah? Boleh saya makan?"
Lalu tanpa rasa canggung, Iaros mencolek lagi pie itu, mengarahkan ke mulut Kamila.
Telunjuk dia basah oleh bekas mulutnya, namun Kamila tak ragu memasukkan tangan itu ke mulutnya.
Entah rasa manis cream atau rasa manis tangan mungil Iaros yang membuat ia tertawa. Setelah itu. mereka makan bersama, sambil diam-diam saling berjanji untuk berbagi makanan selundupan lagi kapan-kapan.
Kenapa? Kenapa Iaros harus hilang dari hidupnya?
Kenapa Kamila tidak lahir di peternakan saja, agar ia bisa masuk kategori pilihan istri Iaros dan menikah dengannya?
Kepala Kamila tiba-tiba berdenyut. Sesuatu terlintas di benaknya namun terasa sangat menyakitkan.
Lagi. Tak tahu kenapa, beberapa waktu ini ia terus merasa sakit kepala.
"Apa aku sakit?" gumamnya kebingungan.
Mungkin sebaiknya ia pergi memeriksakan diri ke dokter di ruang bawah tanah. Mungkin stresnya melonjak karena terlalu banyak menangis.
Kamila naik kembali untuk mengambil buku usang itu, lalu turun dan meninggalkan perpustakaan.
Satu yang Kamila tidak tahu.
Bahwa sakit kepala itu bukan sesuatu yang sesepele dirinya kelelahan karena terlalu banyak menangis.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments