Sadali Pandega sedang menikmati kekayaannya selama lima tahun penuh semenjak kepulangannya dari Laut Selatan ketika sosok agung itu datang mengunjunginya.
Umur sang pemuda baru duapuluh satu tahun saat itu, tetapi ia sudah memiliki perusahaan kecil yang bergerak di bisnis produksi tebu dan gula. Ia memiliki berhektar-hektar tanah perkebunan tebu di desa Obong. Ia terus membangun rumah gaib di sisi luar desa, memberikan banyak keuntungan bagi warga pula. Semua warga sadar benar bahwa sang pemuda telah berhasil mengamalkan ilmu pesugihan. Itu sebabnya mereka menaruh hormat kepada Sadali Pandega muda.
Sialnya, Sadali Pandega hampir lupa dan terlena dengan kejayaan dan keunggulannya, meski tak gagap kaya. Yang lebih parah, ia hampir alpa akan janjinya kepada sang perempuan penguasa.
Malam itu, rembulan bersinar terang. Panas meranggas dan gerah mewabah. Sadali Pandega yang masih jejaka tinggal sendirian di rumahnya itu bertelanjang dada berjalan keluar ke bagian belakang rumahnya. Sadali Pandega merasa rumah gaibnya malam ini sedang memiliki keinginan tertentu yang hendak disampaikan kepadanya. Suhu yang luar biasa menyengat di malam yang pekat ini seakan menjadi pertanda bahwa kekuatan gaib sedang meminta sesuatu.
Lima tahun terakhir, Sadali Pandega terus-terusan merenovasi dan membangun rumahnya tanpa berhenti. Ia menempatkan ruang pemujaan di salah satu ruangan di tengah bagian-bagian dari bangunan yang terus bergerak-gerak, berpindah-pindah setiap saat. Ruang itulah bagian paling keramat dari rumahnya, semacam kamar juru mudi kapal yang menentukan arah pelayaran. Disana, Sadali Pandega menemukan segala jenis mahluk purba beragam bentuk memenuhi ruangan, berpestapora atas makanan yang diberikan sang pemilik rumah. Potongan kepala kerbau, darah ayam hitam dan anjing, kemenyan, dan jampi-jampi bentuk pemujaan dan ketaatannya kepada sang ratu agung penguasa ilmu gaib.
Tidak hanya itu, para mahluk yang menumpuk di ruangan itu dipupuk oleh cuilan jiwa sang pemuda yang perlahan dikikis habis untuk memenuhi lapar dahaga para mahluk adikodrati. Mereka memang berdatangan untuk membantu Sadali Pandega mendapatkan apa yang ia inginkan. Belasan iblis betina melayang-layang memberikan kecupan pesona pada muka dan raga Sadali Pandega sehingga pemuda itu semakin memesona. Sosok siluman separuh manusia separuh buaya yang berjalan berkecipak melewati sungai Pratama datang ke ruangan itu untuk menganugerahkan kewibawaan dan kekuasaan sehingga semua mata tunduk takhluk. Kumpulan jiwa-jiwa manusia yang terpenjara berkerubung memberikan keistimewaan raga yang prima agar Sadali Pandega dapat menikmati makanan enak, menghirup udara pagi dengan tenang dan terus bekerja membangun rumah tanpa lelah.
Namun, malam itu, kegelisahan bangunan ini bukan berasal dari kamar keramat itu. Bukan dari para mahluk gaib yang meminta makan dan perhatian. Bukan dari kuntilanak, sundel bolong, wewe gombel, banaspati banaswati, gendruwo dan pocong yang melenguh minta jatah pemujaan, tetapi sumber kegemparan ini berada di bagian belakang rumahnya.
Di sanalah, berlatar belakang bulan membulat gagah, di atas sebuah sumur yang belum selesai dibangun, sosok agung itu membelakangi Sadali Pandega. Seorang perempuan dengan rambut tergerai serta bahu telanjangnya yang basah. Air menetes melewati kemben dan jarit hijaunya yang menyaru sisik bagian bawah tubuhnya yang berbentuk ekor ular.
Sadali Pandega merasa bagai tersengat listrik. Kehadiran sang ratu, Nyi Blorong, membuat sepasang lututnya lemas. Ia jatuh bersimpuh dan langsung meratakan tubuhnya dengan tanah menyembah.
Puluhan jenis ular, kelabang, kelajengking, kodok dan katak, buaya dan beragam binatang melata lainnya keluar dari segala arah mengelilingi sang pemuda. Mereka mendesis dan berkoang sesuka hati sampai Nyi Blorong mengangkat jarinya. Suasana langsung hening tanpa suara.
“Bagaimana keadaanmu, cah bagus? Lima tahun ternyata tak begitu lama untuk menikmati dunia, bukan?” ujar sang ratu tanpa berpaling melihat ke arah sang pemuda. Suaranya memenuhi dada Sadali Pandaga, membuatnya semakin lemas tak kuasa. “Tapi, apa kau tak lelah setiap hari hanya menikmati para peri? Bukankah seharusnya kau sudah mempersiapkan tumbal untukku, cah bagus?” lanjut Nyi Blorong.
Sadali Pandega mengangkat kepalanya untuk mencoba menatap ke arah sang penguasa wanita tersebut. “Ampun, gusti ratu. Hamba masih belum menemukan sosok yang tepat. Hamba masih ingin menikmati kesendirian hamba,” balas Sadali Pandega.
Nyi Blorong tertawa lepas. “Aku suka kau, cah bagus. Dari dulu kau memang selalu terus terang, langsung tanpa basa-basi. Tapi ingat, waktu manusiamu itu tak banyak, tak lama. Kau harus mempersembahkan kepadaku salah seorang yang kau cintai. Jangan pernah mencoba menipuku kelak, memberikan perempuan sembarang yang kau pura-purakan sebagai orang yang terkasih. Dan, satu lagi, Sadali. Jangan sampai ada yang menodai titik pemujaanku kecuali dengan percintaanmu dengan para peri yang memang telah kusediakan padamu.”
Sebagai pemuda yang sedang berjaya, Sadali Pandega langsung mengiyakan. Ia belum peduli dengan apapun saat ini. Ledakan berahinya pada sang ratu ular hijau lima tahun yang lalu itu ternyata diteruskan dengan mencumbu para peri, sosok-sosok entitas gaib berbusana merah yang menari-nari di ruangan keramat itu.
Mereka dapat berperan menjadi apa dan siapa saja sesuai permintaan sang pemuda. Tubuh-tubuh polos yang terbalut selendang terawang itu akan menjadi gadis-gadis bertubuh langsing semampai dengan pucuk dada merah merekah, atau perempuan berpinggul sekal berdada mengkal, atau wanita-wanita berkulit mulus berbulu halus. Tubuh mereka menguapkan, meruapkan dan menyerbakkan bau bebungaan dan dedaunan segar terkena embun layaknya pagi hari. Sadali Pandega mereguk kenikmatan dari para bidadari gaib itu sesuka hati.
Sadali Pandega sama sekali tak menyangka bahwa beberapa bulan setelah sang Nyi Blorong hadir mendatanginya untuk mengingatkan akan janjinya, di salah satu sudut kebun tebunya di desa Obong, pertama kalinya Sadali Pandega melihat sang janda beranak satu yang menebarkan tidak hanya kecantikan, tetapi aroma sensualitas yang menggebu-gebu.
Walau mengalami pengalaman matang bersenggama dengan para perempuan gaib, sekalipun Sadali Pandega tak pernah bercinta dengan perempuan sesungguhnya. Pesona sang janda seakan membetot kesadarannya agar kembali ke dunia nyata.
Nama janda itu adalah Sudarmi yang beranak perempuan semata wayang bernama Tasmirah.
Sudarmi sang janda bahkan mengalahkan perawan manapun di desa Obong atau desa tetangga manapun. Meminangnya tidak butuh waktu terlalu lama.
Sadali Pandega hampir tak percaya bahwa ia akhirnya mengenal cinta, bahkan diperbudak olehnya. Dunianya kembali bertambah menjadi sempurna setelah kelahiran anak kandung perempuannya, Nala Turasih.
Pesta tujuh hari tujuh malam digeber habis-habisan dengan mengundang seluruh warga desa, sebagai bentuk berbagi kebahagiaan atas kelahiran sang putri.
Sialnya, waktu tak pernah memihak manusia. Kembali, Nyi Blorong muncul kedua kalinya di rumah Sadali Pandega pada tahun ketigabelas usia Nala Turasih untuk mengambil jiwa anak perempuan itu karena telah dengan lancang membiarkan laki-laki muda menjilati pucuk dadanya yang sedang tumbuh berkembang di dalam ruangan keramat di rumah gaib Sadali Pandega.
Sang ayah menangis sehari-jadinya di depan sang ratu, meminta ampun dan memohon agar sudi mengembalikan anak perempuannya.
"Hamba akan menyerahkan jiwa hamba untuk mengabdi pada gusti ratu selamanya," mohon Sadali Pandega.
"Itu tak cukup, cah bagus. Kalaupun aku bersedia mengambilmu menjadi budakku, kelancangan anak perempuanmu harus dibayar dengan menjadikannya budakku pula."
"Jangan Nila, gusti ratu. Ambillah Sudarini, istriku. Hamba rela menjadikannya tumbal. Dia pun adalah orang yang hamba sangat sayangi."
Nyi Blorong tertawa melengking, tawa yang paling menakutkan yang pernah Sadali Pandega dengar seumur hidupnya. Sosok serupa kadal melata, serupa manusia pula muncul entah darimana, menatap Sadali Pandega dengan belasan mata yang menempel di seluruh kepala dan rongga mulutnya. Mahluk mengerikan dan menjijikkan itu merayap masuk ke dalam jasad Nala Turasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
seperti itu ternyata,, bener bener nih sadali,pantes roh ibu Nala ga terima
2022-12-21
1
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
jangan Nala mksde kali yaa
kok nila
yowiss Ra pa2
2022-12-21
0
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
ibunya nala
2022-12-21
0