Lingga Ardiman tersadar dan buru-buru melepaskan dirinya dari posisi menindih sang gadis di lantai kemudian berdiri dan menjauh. "Maaf, maaf dek Nala. Mas tidak sengaja. Aduh, bagaimana ini ...," ujarnya panik dan merasa bersalah.
Nala Turasih mencoba duduk. Ia begitu lega karena nafasnya sudah tak tercekik lagi. Pakaian terusannya berantakan dan bagian bawahnya tersibak lebar.
Lingga Ardiman yang sudah merasa tak enak semakin merasa kikuk ketika tak sengaja melihat pemandangan itu: sepasang tungkai kaki Nala Turasih yang mulus bersih sekaligus dengan pangkal paha yang terpampang jelas.
Sang lelaki memalingkan muka tepat ketika Nala Turasih membetulkan bagian bawah busananya itu dan berdiri. "Mas Lingga kenapa sih lari-lari seperti itu? Sedang dikejar setan ya?"
Lingga Ardiman tersentak. Kata-kata Nala Turasih yang merupakan ekspresi kekesalan itu sebenarnya memang nyata adanya. Ia memang habis dikejar setan. Lebih dari satu bahkan. "Eh, maaf dek Nala. Itu, anu ..., mas tadi rasanya melihat dek Nala di sana, jadi maksudnya mas mau menyapa. Ternyata cuma lorong ...," ujar sang pemuda terlalu bingung untuk membalas dengan alasan apa.
"Apaan sih. Aku yang lihat mas jalan ke pojok rumah. Makanya aku kesini. Lagipula, mana ada lorong di sana, mas," balas sang gadis sembari masih menepuk-nepuk pakaiannya. Wajahnya menekuk cemberut karena sebal, walau masih terlihat sangat manis di mata si pegawai laki-laki itu.
Lingga Ardiman kemudian memandang ke arah dimana ia berjalan tadi. Benar memang seperti kata Nala Turasih. Lorong yang ia maksud ternyata tidak ada, pun tidak dengan ujung bangunan yang berbelok. Hanya ada jalan menuju ke sebuah tembok bagian dari ruangan lain. Satu-satunya akses adalah sebuah pintu masuk ke bangunan itu yang mana tak mungkin ia lakukan karena seingatnya, jalan berbelok itu ada di ujung bangunan.
Ia menggaruk-garuk kepalanya bingung.
"Atau, mas Lingga beneran dikejar setan, ya?"
"Ah, tidak, tidak. Bukan begitu dek Nala. Mungkin tadi mas salah lihat," balas Lingga Ardiman sedikit terbata.
Wajah manis Nala Turasih mendadak berubah menjadi lebih riang. Senyumnya mengembang lebar. Ada percikan kenakalan dan keusilan di sana. "Terus, setelah ketemu aku sekarang, mas mau apa?"
"Anu ..., mas ya, cuma mau menyapa, dek Nala. Kebetulan tugas mas sudah selesai dan mau pulang. Sudah magrib, nih," ujar Lingga Adiman.
"Jadi cuma mau menyapaku saja? Hanya itu?" tanya Nala Turasih. Kali ini senyumnya menghilang.
Kembali si pemuda pegawai sang ayah itu tercekat mendengar pertanyaan tersebut. Ia sama sekali tak bisa memperkirakan maksudnya. Nala Turasih seperti tidak menunjukkan tanda-tanda ia sedang bercanda atau menggoda. Namun, nada di dalam kalimat pertanyaan itu menunjukkan sebaliknya.
Lingga Adiman menengok ke wajah putri atasannya itu. Nala Turasih memaku dengan pandangannya yang bermakna misterius, membuat makin sulit bagi Lingga Adiman memahami arti apa sebenarnya pertanyaan itu. Mendadak detak jantungnya menjadi kembali cepat ditatap seperti itu. Bayangan tentang kejadian janggal yang ia alami beberapa saat sebelumnya kembali muncul ke permukaan.
Secara naluriah, Lingga Adiman perlahan menunduk dan mencoba melihat ke arah kaki Nala Turasih. Rasa takut yang bercampur dengan penasaran saling bertubrukan menjadikan tindakannya ini terasa begitu lama, bagai sebuah scene film yang diputar dengan slow motion.
Kaki telanjang gadis itu menapak tanah, menempel sempurna, tidak melayang.
Nafas Lingga Adiman tercekat ketika bahunya disentuh. "Mas kenapa?"
Lingga Adiman mendongakkan kepala dan melihat wajah ayu Nala Turasih berada dekat sekali di depannya. Wajah itu menatap dirinya dengan raut wajah bingung dan bertanya-tanya.
Namun semua sudah terlanjur. Bayangan akan mahluk-mahluk mengerikan dan tak bisa ia jelaskan itu kembali menghujani kepalanya. Lingga Adiman merasa pusing dan mual. Lututnya goyah dan otot-ototnya melemah.
"Mas, mas Lingga ...," terdengar suara Nala Turasih samar-samar mencoba menembus kesadaran Lingga Adiman yang sedang dalam keadaan mengambang gamang dan tubuh yang bergoyang serta pandangan mata meremang.
Wajah pemuda itu memucat seakan darah berlarian menjauh. Ia hampir saja jatuh bila Nala Turasih tidak mencengkram lengannya secara refleks meski dengan menjerit tertahan.
"Mas Linggaaa ...!" teriak Nala Turasih.
Lingga Ardiman langsung menjaga keseimbangan sebisa mungkin untuk kemudian dengan kedua tangannya menahan tubuhnya untuk duduk di lantai.
"Mas Lingga kenapa?" ulang Nala Turasih. "Mas pucat sekali. Mas sakit ya?"
"Ah, mas sepertinya kelelahan, dek Nala," jawab Lingga Ardiman. Ia harus segera merespon Nala Turasih dengan jawaban sewajar mungkin dan masuk akal. Ia pun belum bisa menjelaskan tentang keadaan yang tadi ia alami dan yang mempengaruhi tubuhnya sedemikian rupa.
"Ayo mas Lingga, ikut aku. Mas perlu istirahat dulu sebentar. Aku buatkan teh hangat," balas Nala Turasih. Tangan lembutnya memegang lengan atas Lingga Adiman dan coba membantunya berdiri.
Dengan keadaan yang masih sedikit puyeng, Lingga Ardiman mencoba berdiri. Mala Turasih yang sepertinya tahu bahwa tubuh pegawai ayahnya itu lemah dan tak seimbang langsung mengangkat lengan laki-laki itu dan melingkarkannya ke bahunya sehingga dapat membantu menjadi penopang tubuh.
Tubuh ramping Nala Turasih terasa nyata di lengan Lingga Ardiman. Aroma melati itu kembali menyeruak di penciumannya, tetapi bukan saatnya untuk memikirkan hal tersebut. Ia merasa sungguh-sungguh lemah dan tak berdaya. Jadi, bantuan Nala Turasih memang sangat diperlukannya.
Setelah beberapa langkah yang payah, Nala Turasih berhasil membawa Lingga Ardiman masuk ke dalam rumah. Laki-laki duduk di sebuah meja jati bundar di ruangan keluarga.
"Mas Lingga tunggu disini, ya. Aku kembali sebentar lagi," ujar Nala Turasih lembut.
Lingga Ardiman mengangguk lemah. Ia tak mau berbasa-basi segala menolak tawaran bantuan putri atasannya itu. Ia melihat punggung sang gadis menghilang ke ruangan lain sebelum tak lama telah kembali dengan nampan berisi gelas di atasnya.
"Mas Lingga, minum teh hangat ini dulu. Aku sengaja buat tak terlalu panas agar bisa segera mas minum," jelas Nala Turasih.
Benar saja, cairan pekat itu mengalir masuk ke kerongkongan Lingga Ardiman dan bergulir lancar. Kehangatan dan rasa nyaman menyebar ke seluruh tubuhnya. Otot-ototnya yang semula lemah tanpa daya perlahan terisi tenaga. Begitu pula wajah pucatnya kiri berangsur-angsur bercahaya.
Lingga Ardiman mereguk teh hangat tersebut dengan terlalu bersemangat sehingga tak lama iapun tersedak.
"Pelan-pelan, mas Lingga," Nala Turasih mendekat cepat dan mengelus-elus punggung Lingga Adiman ketika ia terbatuk-batuk.
"Ah, terimakasih, dek Nala, terimakasih. Mas tiba-tiba lemas tadi. Jadi tidak enak karena sudah merepotkan dek Nala," ujar Lingga Adiman jujur setelah batuknya mereda.
"Tidak apa-apa, mas Lingga. Lagian, mas Lingga bekerja terlalu keras sampai kelelahan seperti ini. Mbok tubuh itu dijaga, mas."
Lingga Ardiman mengangguk sebagai respon. Andai Nala Turasih tahu bahwa permasalahannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau cara ia bekerja. Bayangan aneh dan mungkin surealis yang ia tadi seperti sebuah mimpi buruk. Tiada logika yang berbicara dan mampu menjelaskannya, tetapi sebaliknya juga, ia yakin bahwa mahluk-mahluk itu ada.
Wajah cantik Nala Turasih yang terbalut dengan keremajaan itu masih berada dekat di sampingnya dan memandang penuh perhatian. Apa mungkin pikiran genitnya untuk mencoba mendekati putri sang juragan itu yang membuat mahluk-mahluk tak kasat mata di dalam rumah ini ikut genit mengerjainya pula?
"Dek Nala, terimakasih sekali lagi atas bantuannya. Tapi ini sudah menjelang malam. Mas pikir sudah saatnya buat pulang. Maaf karena telah merepotkan," ujar Lingga Ardiman sembari berdiri.
"Lho, mas. Sudah kuat, apa?" tanya Nala Turasih.
Lingga Ardiman sendiri memang merasakan tenaganya sudah kembali sempurna. Seakan-akan bagian rumah misterius dengan lorong tak nyata itu tadi lah yang menyedot habis kekuatan dan daya upayanya. Ia mengangguk ke arah Nala Turasih dan bergegas pergi. "Mas permisi, ya dek," ujar Lingga Ardiman berpamitan.
"Iya, mas, Lingga. Hati-hati ya. Jangan dipaksakan kalau masih tidak kuat," suara Nala Turasih mengiringi kepergian Lingga Ardiman.
Sembari menyela motornya, Lingga Ardiman memandang rumah juragannya yang bersinar oleh lampu-lampu yang baru saja dihidupkan itu. Malam perlahan menelan bangunan yang cukup akrab baginya sekaligus ternyata tetap memberikan ruang bagi banyak pertanyaan di benaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Ayano
Aku udah ngebayangin macem-macem nih
2023-06-18
0
Ayano
Berasa trauma banget ya
2023-06-18
0
Ayano
Beneran dah kesetanan
Horror asli
2023-06-18
0