Pak Kuranji sudah lama memendam hasrat terhadap Nala Turasih. Perempuan dua puluh lima tahun itu adalah adik iparnya, adik dari Tasmirah, istrinya. Kurang lebih sudah tiga tahun Nala Turasih tinggal bersama keluarganya ini semenjak ibu mertuanya wafat. Karena sebatang kara serta tak tahu harus bagaimana, Nala Turasih diterima di keluarga mbakyu nya, yaitu Tasmirah dan dan sang suami, Pak Kuranji.
Nala Turasih memang tidak berniat melanjutkan pendidikan ke tingkat perkuliahan setamatnya ia dari sekolah menengah atas. Ayahnya sudah lama wafat. Jadi, ketika sang ibu juga akhirnya menyusul, satu-satunya yang ia ingat hanya sang mbakyu, Tasmirah.
Tentu Tasmirah membuka lebar-lebar lengannya untuk menerima kehadiran adik perempuan satu-satunya itu. Toh kedua mendiang orang tua mereka mendidik keduanya dengan nilai-nilai kekeluargaan yang tinggi, meski sebenarnya usia Tasmirah dan Nala Turasih terpaut dua puluh dua tahun. Saat itu sang mbakyu berusia empat puluh lima tahun, sedangkan sang adik dua puluh tiga.
Rumah Tasmirah dan Pak Kuranji, suaminya, tidak bisa dikatakan besar, namun juga terbilang cukup pantas untuk ditempati sebuah keluarga besar. Dua anak laki-laki mereka sedang beranjak remaja. Kedatangan seorang bulek bisa dijadikan teman sekaligus orang dewasa yang membimbing mereka. Itu pikiran Pak Kuranji ketika menyetujui kehadiran anggota baru di rumahnya.
Pekerjaannya sebagai pegawai perusahaan tebu di desa sebelah dan istrinya yang bekerja di kantin kompleks apartemen mewah di atas bukit sana sebenarnya lumayan membantu mereka secara finansial. Apalagi bila dibandingkan dengan warga lain di hunian ini yang tak jelas kerjaannya setelah bertahun-tahun yang lalu berbondong-bondong hijrah dari pemukiman di bukit ke tempat ini dengan uang yang melimpah namun habis begitu saja entah kemana.
Lahan di belakang rumah Pak Kuranji masih lumayan luas. Dari awal ia memang belum berencana membangunnya habis-habisan. Lagipula, anaknya masih kecil-kecil saat itu.
Mendengar adik iparnya akan pindah ke rumahnya, ia meminta bantuan teman-temannya: Pak Mustofa, Pak Martin dan Harimukti Sulaiman untuk membangun sebuah kamar lagi di bagian belakang rumahnya, di dekat kamar mandi.
"Dibanding memberi uang ke tukang, lebih baik ke teman sendiri, 'kan?" ujarnya kala itu.
Beberapa hari setelah kamar itu selesai di bangun, Nala Turasih datang, sampai di depan rumahnya dengan sebuah taksi.
Jiwa usia setengah abad Pak Kuranji mendadak gegap gempita cetar membahana tatkala melihat sosok adik iparnya tersebut turun dari mobil dengan hanya membawa satu tas koper kecil.
Seingatnya, Nala Turasih tak seperti ini. Bahkan ketika ia hadir bersama sang istri ke kampung halaman, ketika ibunda mertuanya wafat, Nala Turasih tak terlihat semenawan ini.
Kini gadis itu sudah matang. Ia padahal hanya mengenakan baju terusan selutut dengan selembar cardigan berwarna abu-abu tua. Namun, pembawaannya yang melepaskan pesona kedewasaan dan kematangan itu menyerang Pak Kuranji tanpa ampun. Rambut lurusnya dicepol sekenanya, memamerkan lehernya yang jenjang.
Tasmirah sang istri bukannya tak cantik, tapi memang kuota pesonanya sudah aus dimakan waktu. Tasmirah bukan istri seorang laki-laki kaya raya sehingga ia dapat menjaga tubuh dan penampilan. Umur kepala empat dengan dua anak laki-laki yang sudah beranjak remaja serta kegiatannya bekerja membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga jelas membuat tubuhnya yang dulu ramping kini menggelambirkan lemak. Dadanya yang dahulu bulat kencang, tentu kini telah jatuh kendur. Memang kecantikan masih tersisa di wajahnya, tapi toh umur sudah meranggas di permukaan kulitnya menyisakan titik-titik noda tua dan coretan keriput.
Sedangkan, Pak Kuranji, yang umur juga telah memukuli gambaran fisiknya dari luar, ternyata tak berhasil membekuk selera dan gairah berahinya.
Melihat kehadiran Nala Turasih, seakan mengaktifkan kembali semangat mudanya yang penuh dengan hasrat menggebu-gebu.
Beberapa bulan semenjak kedatangan Nala Turasih, secara tak sengaja Pak Kuranji lewat di depan kamarnya yang persis berada di depan kamar mandi, dan mendapati pintu kamar adik iparnya itu terbuka seperempat tak terkunci, menyisakan celah lebih dari cukup untuk melihat ke dalam.
Sepasang mata Pak Kuranji menumbuk pemandangan yang tak mungkin ia lupakan, menempel berkarat di otaknya.
Nala Turasih sedang berganti baju. Ia berdiri menyamping dan hanya mengenakan ****** ***** serta kutang. Baju terusan masih mengantung di kedua lengannya hendak dikenakan.
Waktu seakan berhenti berputar bagi Pak Kuranji. Kulit kuning langsat yang membalut lekukan bokong dan dada sempurna itu menantang kejantanannya.
Sejak saat itu sampai dua tahun terakhir, ia berusaha mati-matian untuk bisa mendapatkan pemandangan yang lebih. Mengintip belahan dada, sibakan rok atau himpitan handuk menjadi hobi baru Pak Kuranji. Sialnya, ia sama sekali belum berhasil memandang tubuh polos adik iparnya itu. Tak ada kesempatan kedua kalinya dari kejadian dua tahun lalu ketika ia melewati kamar Nala Turasih. Bahkan ketika ia pun telah berusaha.
***
Pak Kuranji tak mau berdusta pada diri sendiri. Ketertarikannya pada adik istrinya dari lain bapak itu pastilah bersifat berahi semata. Ia tidak menyangkal hasrat yang masih menyala-nyala pada kemolekan tubuh seorang perempuan.
Sempat Pak Kuranji putus asa dan merenung kembali memikirkan niatan bejatnya itu. Jangan-jangan memang karena ia memiliki niat buruk, makanya ia tak mendapatkannya. Begitu pikirnya. Jadi, ia mengurangi secara drastis usahanya mendapatkan kesempatan mendekati atau dengan Nala Turasih dalam ruangan atau tempat yang sama. Keinginannya mendekati sang gadis pupus.
Pak Kuranji memang mengakui bahwa ia mengejar pelampiasan nafsunya. Namun walau pikirannya bejat, ngeres, menanti saat yang tepat untuk dapat melihat bagian-bagian tubuh perempuan muda itu terekspos, Pak Kuranji tidak pernah melakukan tindakan fisik yang memaksa, apalagi sampai melecehkan. Tidak ada pembenaran dalam bentuk apapun. Ia memang begitu terpesona pada sang adik ipar.
Anehnya, Nala Turasih juga tak pernah terganggu dengan kehadiran abang iparnya itu. Setiap Pak Kuranji berada di dekatnya, tak pernah ada perasaan risih atau tak nyaman. Nala Turasih memang tak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran lelaki beristri dan beranak dua itu ketika mencoba mencuri pandang ke arahnya, terutama ke arah lekukan-lekukan indah tubuhnya.
Lama-kelamaan bahkan Nala Turasih malah menaruh hormat dan beranggapan bahwa ia memiliki seorang abang ipar yang baik. Tidak hanya bertanggung jawab sebagai seorang kepala rumah tangga, Pak Kuranji dipikirnya juga sangat bisa diandalkan.
"Bang Kuranji," sapa Nala Turasih kepada sang abang ipar yang sedang duduk di pekarangan rumahnya di hari Jum'at sore dengan santai sepulang kerja.
Pak Kuranji berbalik, paham sekali dengan suara itu. Ia menahan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat setiap saat melihat gadis itu, tak peduli seberapa seringnya. Nala Turasih berdiri di hadapannya, mengenakan baju terusan yang jatuh lembut di tubuhnya. Sepasang dadanya membusung padat membulat walau pinggangnya kecil melengkung ramping. Wajahnya yang ayu bersinar dengan senyuman kemudaan yang masih menyala-nyala.
"Ya, dek Nala," jawab Pak Kuranji yang syukurnya selalu dapat menyembunyikan gejolak rasa di dalam dadanya yang bergemuruh tak henti itu.
Nala Turasih mendekat kemudian duduk di bangku tepat di depan abang iparnya itu. "Bang. Boleh aku minta bantuan?" ujar gadis itu pendek. Sepasang mata indah itu menatap Pak Kuranji sendu.
"Ya, dek Nala. Apa yang bisa abang bantu?"
"Setelah berbagai kejadian di tempat tinggal kita ini, aku menjadi kangen pulang ke rumah, bang."
Telah bertahun-tahun sejak Nala Turasih memutuskan untuk tinggal bersama mbakyu dan abang iparnya. Namun, ia masih pulang ke rumah lamanya yang besar tetapi tanpa penghuni di kampung halamannya itu. Biasa ia ditemani kakaknya sekeluarga, menyewa mobil barang sehari. Di rumah peninggalan sang mendiang ayahnya itu, ia datang hanya untuk bersih-bersih dan melihat apa yang perlu dibereskan. Sampai sekarang ia masih belum tahu apa yang harus dilakukan dengan rumah tersebut. Biasanya, Nala Turasih akan menginap sehari disana. Rumah besar dengan banyak kamar itu bagaimanapun juga pernah ditinggali oleh sang mbakyu, Tasmirah.
"Kamu mau pulang ke kampung, dek?" Pak Kuranji mengerutkan kening berpikir. "Memang kita sudah lama tidak mengunjungi rumah almarhum bapak. Tapi, mbakyumu sedang tidak enak badan hari ini. Semoga besok dia agak baikan, jadi kita bisa berangkat sama-sama," respon Pak Kuranji.
Senyum cantik Nala Turasih perlahan memudar, meski tidak menghilang secara mendadak. Pak Kuranji dapat menangkap perubahan mimik muka sang adik ipar. "Ah, kamu sudah benar rindu rumah itu, ya, dek?"
Nala Turasih mengangguk pelan, kemudian menunduk sungkan. Beberapa helai rambutnya jatuh menutupi wajah.
Pak Kuranji menghela nafas. Gabungan antara rasa kasihan dan keterpesonaan.
"Tolong antar adikku, Pak," suara Tasmirah terdengar. Istri Pak Kuranji muncul dari dalam rumah. Ia berbalut pakaian tebal. Nampaknya penyakitnya membuat penampilannya menjadi lebih tua dari seharusnya.
"Lho, kok malah keluar, Bu. Istirahat saja di dalam." Pak Kuranji berdiri menyambut istrinya.
"Bapak pinjam mobil Pak Musa saja barang sehari dua. Aku biar di rumah. Anak-anakmu harus ada yang urus. Tetangga kita juga bisa membantu. Kasihan Nala. Dia sudah kangen pulang sejak lama. Aku tahu sekali sifat adikku itu," ujar Tasmirah sembari tersenyum lemah ke arah adiknya.
"Mbak. Bukan begitu maksud Nala. Nala tidak bilang harus kapan Nala pulang. Memang Nala sangat rindu dengan kampung dan rumah kita, tapi mbak masih tidak sehat, Nala mana bisa memaksa."
Tasmirah melambai-lambaikan tangannya. "Sudah, sudah. Abangmu ini akan mengantarmu besok. Ya, 'kan, Pak?" ujar Tasmirah melihat ke arah sang suami yang kemudian mengangguk pelan.
"Iya, Bu. Aku akan antar Nala ke kampung. Nanti aku akan menginap di tempat teman kerjaku di perusahaan tebu. Jadi Nala bisa menikmati kerinduannya."
"Ah, kau ini, Pak. Rumah mendiang bapak itu luar biasa besar. Kamarnya saja entah berapa. Temani Nala di rumah itu. Jangan kemana-mana, ya, Pak?" ujar Tasmirah memandang wajah suaminya lekat-lekat. "Ingat, jangan kemana-mana! Temani Nala di rumah sana. Aku cuma demam. Besok juga sudah sembuh. Tapi aku tak mungkin ikut kalian. Aku saja sudah ijin tidak berjualan sampai hari Senin, biar sekalian bisa rehat."
"Mbak Mirah bersungguh-sungguh?" tanya Nala Turasih. Matanya kembali berbinar bahagia.
"Iya, Nala. Tolong bilang apa saja keperluanmu sama abangmu itu. Kau sudah banyak membantu mbak di rumah selama tinggal disini, Nala. Keponakanmu senang denganmu. Kau pun rajin sekali. Setelah kekacauan yang terjadi di hunian ini, mbak sadar betapa sumpeknya hidupmu. Pulanglah ke kampung, titip doa buat mendiang ibu kita dan bapakmu. Tapi, setelah itu, kau kembali kesini, ke rumah ini, ya dik?" ujar Tasmirah.
Nala Turasih tersenyum lebar dan memeluk mbakyunya erat. Di tempat lain, jantung Pak Kuranji berdetak semakin kencang. Ia tak bisa membayangkan memiliki waktu berdua bersama Nala Turasih, berhari-hari pula. Dalam hati ia berharap dengan sangat, bahwa perjalanan mereka ini akan memberikan makna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Ayano
Ipar adalah maut itu bener
2023-10-18
1
Ayano
Kuotanya perlu diisi itu biar lakinya gak jadi hidung belang
2023-10-18
0
Ayano
Jiir, Kenapa Nala selalu ketemu orang bejat yak😑
2023-10-18
1