Pak Kuranji tak yakin ia sedang berada dimana. Akar pepohonan menyembul keluar dari tanah berawa memalang jalannya. Air sungai yang berwarna keruh mengalir diam dalam kegelapan yang dikoyak pendaran sinar rembulan lemah dari sela-sela ranting dan dedaunan.
Pak Kuranji bukan seorang penakut. Definisi pengecut berkebalikan dengan siapa dirinya sejatinya. Sebagai seorang perantau sejak belia, Pak Kuranji dibekali dengan nyali. Keberaniaannya juga diseimbangi dengan kemampuan beladirinya yang mumpuni, kecerdasannya dalam mencari penyelesaian masalah dan kegesitannya dalam bertindak.
Tidak seperti rekan-rekan atau saudaranya yang lain, yang memutuskan untuk berbisnis dan berniaga di kota orang, Pak Kuranji telah memiliki banyak pengalaman bekerja di berbagai perusahaan dan pabrik. Ia bekerja di sektor kasar, fisik, dan kerap bentrok dengan individu-individu lain. Pekerjaan di perusahaan tebu yang saat itu masih merupakan milik calon ayah mertuanya itulah pekerjaan terakhirnya, paling tidak untuk saat ini.
Itulah sebabnya Pak Kuranji tidak gentar dengan apa yang sedang dialaminya ini. Ia terus berjalan mengikuti suara hatinya. Sepasang kaki telanjangnya melesak masuk ke rawa-rawa dan tanah berlumpur sampai melewati mata kaki dalamnya. Ranting dan dedaunan pepohonan mencoba menampar-nampar wajah dan tubuhnya dan ia hanya menepis dengan kedua tangannya.
Tepat ketika Pak Kuranji menyibak dedaunan yang lebar, sosok itu duduk di tepi sebuah pohon beringin yang akar dan sulurnya berpilin-pilin.
Sepasang dadanya terbuka bebas tanpa penghalang sama sekali.
Pak Kuranji berhenti beberapa langkah dari pemandangan tersebut. Jakunnya naik turun. Dadanya bergelora bak ombak yang menghajar karang di pantai.
Ia belum pernah melihat Nala Turasih tanpa busana meski telah berharap kesempatan itu bertahun lamanya. Namun, ia tahu pasti bahwa tubuh indah yang terpampang nyata itu adalah milik sang dara. Itu sebabnya tubuhnya bergetar hebat, lututnya lemas dan kepalanya puyeng.
Beginikah bentuk tubuh polos sang gadis terlihat tanpa penghalang? Kulitnya yang seharusnya bersinar terang tertutup kegelapan, tetapi sama sekali tidak membuat sosok itu kehilangan cahayanya. Sepasang dadanya benar-benar persis seperti yang dibayangkan Pak Kuranji: bundar bulat mengencang menantang.
"Dek Nala ...," Pak Kuranji mendengar suaranya sendiri lolos dari kerongkongannya.
Sosok itu berpaling dan melihat ke arah Pak Kuranji. "Bang Kuranji," jawabnya singkat sembari tersenyum.
"Mengapa kamu ada di sini, dek?" pertanyaan yang aneh sebenarnya, mengingat ia sendiri juga berada di tempat yang ia sendiri tidak tahu.
Nala Turasih tak menjawab. Ia masih tersenyum.
Pak Kuranji tak bisa berhenti memelototi sepasang dada telanjang Nala Turasih yang membusung padat sempurna nan segar itu. Sepasang kaki Pak Kuranji menyeret tubuhnya mendekat ke arah adik iparnya tersebut.
Nala Turasih memandang Pak Kuranji dengan sayu. Senyumnya memudar digantikan lengkungan bibir menggoda. Tubuh molek itu bergerak-gerak pelan, dadanya yang penuh bergerak naik turun dengan nafas yang terpatah-patah dan suara mendesah.
Pak Kuranji untuk sejenak merasa seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Selangkah dua tubuhnya dibawa sepasang kaki yang berkecipak di permukaan rawa, sampai insting kependekarannya terpantik.
Mengapa Nala Turasih tidak risih dengan keadaannya ini? Bertelanjang dada dan memamerkan sepasang *********** seperti tidak ada hal yang dapat membuatnya malu?
Pak Kuranji tahu benar bahwa ia sangat menginginkan tidak hanya menikmati pemandangan atas kebugilan sang gadis, tapi juga ******* setiap jengkal kulit dan daging kenyal Nala Turasih serta menggulatnya dari atas. Namun, ia juga paham sekali bahwa Nala Turasih bukan perempuan yang semudah dan semurah itu. Pak Kuranji tak tahu kehidupan percintaan Nala Turasih sebelum sang gadis tinggal di rumahnya. Akan tetapi, selama ini, ia sudah mati-matian menjaga sikap agar tak lancang dan kurang ajar dimana perilaku Nala Turasih pun sama sopan dan santunnya. Jadi, bila sekarang Nala Turasih membiarkan dirinya menjadi santapan sepasang matanya yang penuh berahi itu, pastilah ada yang salah.
Pak Kuranji berhenti. Ia menutup mata sejenak, memberikan kesempatan untuk jantungnya berdetak wajar dan kejantanannya kembali tenang setelah menegang bagai sebatang parang.
Ketika Pak Kuranji membuka matanya, Nala Turasih telah memalingkan wajahnya. Kulitnya semakin menggelap bersama malam yang semakin pekat. Sepasang dadanya yang tadi membulat menantang, kini jatuh walau masih penuh. Tubuh itu bukan milik Nala Turasih.
Detak jantung Pak Kuranji kembali menggebu tapi kali ini bukan karena berahi, melainkan rasa aneh yang setara dengan ketakutan. Pak Kuranji tidak akrab dengan rasa takut. Ia menolak mendefinisikan rasa itu. Ia sering berkelahi melawan begal, perampok, atau orang-orang yang memang perlu dilawan. Ia tidak gentar dengan gelap malam dan apa yang disembunyikan di dalamnya.
Bersama teman seperguruannya, sesama perantau satu daerah, Affandi, keduanya berniat menaklukkan keganasan tempat asing. Affandi kini sudah lulus dalam hidup yang keras ini dan terus menjadi seorang pemimpin para preman. Ya, Affandi membuktikan maskulinitasnya. Pak Kuranji, walau memutuskan hidup yang lebih damai, pantang disebut sebagai seorang pengecut. Ia tak takut manusia, pun tak ngeri pada setan.
"Bangsat!" hardiknya. "Kau pikir aku takut denganmu, setan?!"
Sosok yang tadinya ia pikir adalah Nala Turasih itu memalingkan muka ke arahnya. Wajah itu memang milik Nala Turasih, tapi Pak Kuranji tetap yakin bahwa tubuhnya bukan milik sang gadis.
Memang benar ternyata. Selama ini Pak Kuranji tidak memperhatikan bahwa jari-jari tangan Nala Turasih menempel menjulur panjang di akar besar pohon beringin itu yang menyembul dari tanah bagaikan bagian darinya. Begitu juga dengan bagian bawah tubuhnya yang tertancap erat mengakar ke dalam bumi.
Pak Kuranji tersentak. Nala Turasih duduk di depannya sedang menyantap sepiring nasi rames dengan lahap. Pak Kuranji menghela nafas perlahan, tak mau terlihat mencurigakan.
Dengan cepat Pak Kuranji mengumpulkan informasi dan kesadaran. Memang ternyata tadi ia sempat tertidur beberapa detik. Teh di atas meja miliknya masih panas dan mie goreng pedas belum tersentuh.
Bagaimana bisa ia tertidur dan bermimpi seperti layaknya kejadian yang berlangsung jauh lebih lama?
Pak Kuranji dan Nala Turasih berangkat pagi-pagi buta hari ini. Selama dua jam di perjalanan, keduanya bercakap-cakap dengan cukup akrab. Seperti perjalanan yang dilakukan Pak Kuranji dahulu dengan istri dan anak-anaknya ketika berkunjung ke rumah sang mertua, mereka biasa berhenti dan rehat sejenak di tempat ini: sebuah area berupa tempat makan sekaligus tempat penginapan yang lumayan luas. Banyak truk dan bis-bis yang diparkir di halamannya yang juga tidak kalah luasnya.
Seperti yang dahulu-dahulu pula, beberapa kali Pak Kuranji dilayani seorang pelayan perempuan berpakaian kebaya modern. Tubuh mungil dengan gaya kenesnya itu tak mungkin dilupakan Pak Kuranji, atau siapapun yang pernah berkunjung ke tempat ini. Ia bahkan sampai tahu dan hapal bahwa Sarti adalah nama sang pelayan perempuan itu.
Namun, setelah pesanannya dan Nala Turasih diantarkan oleh Sarti, entah mengapa dan bagaimana ia tertidur dan bermimpi aneh semacam itu.
"Lho, bang Kuranji kok belum makan? Apa abang mau istirahat dulu? Perjalanan kita masih beberapa jam, bang. Tidak masalah, kok. Jangan dipaksakan kalau lelah, bang," ujar Nala Turasih merespon lamunan sang abang ipar.
Pak Kuranji mengerjap-ngerjapkan matanya. "Iya, dek Nala. Padahal masih pagi seperti ini, kok mata abang berat begini," ujar Pak Kuranji sembari tertawa pendek.
"Aduh, aku jadi tidak enak, bang Kuranji. Abang mungkin masih lelah karena bekerja dan keberangkatan kita ini tidak direncanakan."
"Ah, sudah, sudah, dek Nala. Tidak perlu seperti itu. Abang cuma perlu tidur sebentar dibanding nanti malah kenapa-napa. Paling butuh setengah jam saja tidur di mobil. Kamu mau 'kan menunggu abang sebentar? Abang habiskan dulu makanan ini," ujar Pak Kuranji. Ia jelas-jelas menolak protes dari Nala Turasih dan meyakinkan bahwa ia tidak keberatan sama sekali mengantar adik iparnya itu.
Nala Turasih mengangguk dan tersenyum lebar. "Aku tunggu disini, ya, bang. Istirahatlah seperlunya abang.
"Tenang. Aku tak akan lama, dek Nala."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
❤little girl♥
malu ndiri🤭🤭
2023-01-16
6
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
msh sadar pak Kuranji ga Kya si lingga
2022-12-21
0
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
pdhl bkn Nala yaa
2022-12-21
0