Senyum Pak Kuranji yang rasanya terlalu lebar ternyata direspon senyum Nala Turasih yang sama sumringahnya. Malam yang merambat menuju larut masih belum mampu menelan semangat kedua orang abang-adik ipar tersebut untuk masih bertukar kata.
"Dek Nala belum tidur?" tanya Pak Kuranji.
Nala Turasih menggeleng. "Baru jam segini, bang Kuranji. Tadi aku juga sempat mengobrol dengan teman-temanku sewaktu masih tinggal disini. Mereka belum lama pulang, bang. Maklum, rata-rata mereka sudah menikah dan tak bisa meninggalkan suami dan anak mereka terlalu lama di rumah," balas Nala Turasih. "Lalu, bang Kuranji, kok sudah pulang?"
Pak Kuranji duduk di kursi di depan sang adik ipar kemudian mengaruk-garuk kepalanya dengan tidak enak. "Abang percaya diri sekali sewaktu bilang sama mbakyumu kalau sesampainya disini, abang akan menginap di tempat kenalan abang di desa Obong. Padahal, jujur, meski abang kenal banyak warga desa, abang tak akrab dengan mereka. Abang juga tak terlalu nyaman bergaul dengan orang-orang desa," ujar Pak Kuranji.
Nala Turasih tertawa renyah. Bahunya bergerak-gerak karena gelak tawanya. Pak Kuranji kembali dibuat terpesona. "Iya, aku tahu abang tidak suka desa Obong dari awal. Kalau bukan karena mbak Mirah dan mendiang bapak, mana mau abang bolak-balik ke rumah ini," ujar Nala Turasih.
"Eh, tapi bukan berarti abang tidak senang mengantar kamu pulang lho, dek Nala," balas Pak Kuranji buru-buru.
Nala Turasih semakin tertawa menggelak. Bahunya berguncang-guncang lagi. Sebuah pemandangan kegemaran baru bagi Pak Kuranji. "Iya, bang, aku tahu itu. Aku cuma mengejek abang saja."
Setelah tawa Nala Turasih reda, ia mengangkat kedua lengannya untuk membenarkan rambutnya yang terurai. Pak Kuranji mendadak lupa bernafas melihat lekukan cekung ketiak Nala Turasih yang tak tertutup baju terusan tanpa lengan itu. Keindahan yang terpampang di depan mata sang laki-laki paruh baya itu hampir tak bisa dihadapi lagi.
Suasana semakin intens. Angin malam terasa semakin gerah, paling tidak bagi Pak Kuranji. Nala Turasih tak henti-hentinya menebarkan pesonanya kepada Pak Kuranji dengan membabibuta. Ini kali pertama Pak Kuranji berbicara berdua dengan Nala Turasih untuk waktu yang lama. Maka, Nala Turasih terus-menerus memborbardir abang iparnya itu dengan kibasan rambut, senyum semanis tetesan tebu pertama dari pabrik yang pernah dipimpin mendiang ayahnya, serta bahu telanjang dan dada membulat yang bergoncang-goncang karena gelak tawa lepasnya.
Keduanya masih duduk di teras rumah besar itu selagi dinding dan lantai terus bergerak-gerak tanpa sepengetahuan mereka yang sedang tenggelam dalam perbincangan yang semakin mendalam. Kedua sosok manusia berlawanan jenis itu sama sekali tak sadar bahwa para mahluk adikodrati yang menumpuk-numpuk mendesak keluar dari rongga-rongga gaib di sudut-sudut rumah.
Satu sosok mahluk menjijikkan serupa manusia-kadal melata dengan mata memenuhi kepala dan rongga mulutnya menempel di dinding dan merayap turun. "Wuk, wuk, wuk, wuk ...," suara mahluk itu memenuhi ruangan rumah yang dibangun oleh Sadali Pandega itu. Semua mahluk gaib, hantu, setan, jin dan siluman berhenti bergerak dan bersuara. Bahkan rumah itu pun berhenti bergeser dan berpindah-pindah.
Semua entitas di dalam rumah itu menyaksikan mahluk dengan tungkai tangan dan kaki yang panjang nan kurus tersebut kembali merambat cepat di dinding dan menempel menggantung terbalik di atas langit-langit rumah. Sepasang mata lebarnya menembus ruangan demi ruangan untuk memokuskan pada diri sang Kuranji, sedangkan mata-mata lainnya yang lebih kecil bergerak-gerak gelisah.
Setelah bercakap-cakap sampai larut bersama Nala Turasih, malam itu Pak Kuranji yang tidur di kamar biasa ia tempati bersama istri dan anak-anaknya itu bermimpi aneh lagi.
Awalnya, di dalam mimpi, ia melihat Nala Turasih berdiri di tepi sebuah sungai. Gadis itu mengenakan pakaian persis seperti yang ia kenakan malam ini: baju terusan tanpa lengan berwarna putih. Pak Kuranji merasa mengenal tempat ini, tepian sungai dengan pepohonan rimbun.
Kulit indah Nala Turasih bersinar terang, bahkan yang lebih parah, Pak Kuranji terpaksa menutup mata karena wajah sang gadis menyala menyilaukan. Pemandangan ini malah menjadi menggelikan karena wajah Nala Turasih yang bersinar itu menyala-nyala bagai bohlam lampu. Pak Kuranji sama sekali tak dapat melihat wajah gadis itu, meski ia yakin sekali tubuh ramping nan menggairahkan itu milik adik iparnya.
"Dek Nala? Sedang apa kamu disini?" sebuah pertanyaan yang masih terdengar aneh bahkan di lidahnya sendiri, mengingat ia juga bingung sedang berada dimana dan bagaimana.
Kepala bohlam itu tentu tak membalas, bahkan wajahnya pun tak terlihat. Tetapi, sekali lagi, Pak Kuranji paham bahwa Nala Turasih di balik sinar terang yang menggila itu sedang terlihat tak baik-baik saja.
Pak Kuranji menarik nafas panjang. Ia berhenti beberapa langkah di depan sosok tersebut. "Dek Nala, kamu tidak apa-apa? Apa yang bisa abang bantu?" naluri Pak Kuranji yang telah terasah selama bertahun-tahun kehidupan kerasnya berbunyi keras memberikan sinyal bahaya.
Spontan ia meraba bagian belakang sabuknya untuk mencabut karambit yang biasa ia bawa ketika bepergian jauh. Kebiasaan ini telah ia lakukan sedari remaja sebagai sarana membela diri dari gangguan dan halangan.
Namun, ia baru sadar bahwa ternyata hanya mengenakan selembar kain yang menutupi bagian tubuhnya. Saat itulah ia menjadi semakin awas akan apa yang sebenarnya terjadi.
"Bajingan! Kau mengganggu aku lagi! Siapa kau sebenarnya?" seru Pak Kuranji kepada mahluk dalam bentuk Nala Turasih berkepala bohlam menyala itu.
"Bang Kuranji, tolong aku!" balas sang sosok. Kepala sosok Nala Turasih itu berdenyut-denyut menyala dan redup.
"Diam kau! Aku tak akan tertipu lagi dengan rencana licikmu itu. Iblis jahanam dedengkot setan pun aku tak takut! Tunjukkan siapa kau sebenarnya!" seru Pak Kuranji. Selama pengalamannya merantau, meski tidak selalu langsung berhadapan dengan hal-hal gaib, Pak Kuranji tidak pernah membeda-bedakan lawan dan ancaman.
Sosok Nala Turasih bersimpuh. Kepalanya yang menyala-nyala kemudian padam. Benar wajah ayu Nala Turasih kini yang terlihat. Ia memandang ke arah Pak Kuranji dengan pandangan nelangsa.
"Tolong aku, abang Kuranji!" Nala Turasih berteriak keras, membuat Pak Kuranji tersentak mundur saking awas dan terkejutnya.
Mulut Nala Turasih membuka lebar, begitu lebarnya sampai dengan jelas Pak Kuranji melihatnya sobek dari sudut ke sudut.
Pak Kuranji terjerembab ke belakang, tak mampu melogikakan apa yang ia lihat dan tak mampu menerima apa yang terjadi di depannya.
Dari sobekan mulut Nala Turasih, muncul jari-jari kurus panjang sehitam jelaga menarik keluar tubuhnya yang menjijikkan, serupa percampuran manusia dan kadal. Tubuh Nala Turasih terkoyak habis bagai kantong plastik atau busana mahluk tersebut.
Pak Kuranji tak bisa berteriak ketika melihat puluhan mata besar dan kecil yang menempel di kepala dan mulut mahluk itu memandang seluruhnya kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Mrs. Moron
pepet terossss
2023-05-14
1
maharastra
apakah kan menjadi tumbal
2022-12-28
3
maharastra
waduhhhNala kw
2022-12-28
2