Sadali Pandega muda pergi ke pantai Laut Selatan di usianya yang ke delapan belas. Ia sudah memperhitungkan segalanya. Bila ia tidak mulai sekarang, maka sudah terlambat baginya untuk menjadi kaya raya dan terhormat. Ini ia lakukan karena ia merasa tidak bisa melaksanakan apa yang dilakukan orang-orang lain di tempatnya, desa Obong. Praktis semua orang akrab dengan praktik perdukunan, termasuk pesugihan di dalamnya, tetapi tak banyak yang berhasil. Menurut catatannya, hanya keluarga Carik Darwen yang memiliki kekayaan yang paling terlihat. Itupun sulit untuk disaingi mengingat ilmu hitam yang mereka gunakan telah terjadi secara turun-temurun. Keluarga-keluarga yang lain di desa Obong tidak ada yang mampu menyanggupi syarat yang diberikan dan menguasai kekuatan tersebut.
Sadali Pandega di sisi yang lain, adalah seorang remaja yang cerdas sekaligus ambisius. Ia tidak mau sekadar menjadi budak ilmu hitam desanya, yang mengikuti ritual dan berharap mendapatkan cipratan kekayaan atau kenikmatan lainnya. Ia mau menjadi sang penguasa itu sendiri, dedengkotnya.
Lembaran ombak berdebur dan menghempas ke karang, menjilati pasir dan permukaan daratan bagai lidah-lidah binatang melata. Samudra selalu memberikan misteri yang membuat manusia terus terbenam dalam pertanyaan. Bagian bumi yang begitu luas itu pastilah memiliki kekuatan besar yang tak dipahami oleh manusia. Laut Selatan yang gelombangnya menderu-deru itu pastilah mampu memberikan kesempatan bagi jiwa seorang remaja, laki-laki muda yang haus akan kenikmatan, lapar untuk merengkuh semua jenis kejayaan.
"Jadi, apakah kau sungguh siap, Sadali?" lecutan suara terdengar memecah ombak, memantul di dinding gua karang dimana Sadali Pandega sedang bersemedi. Tubuhnya yang tak berbusana basah oleh air garam.
Mendengar suara ini, Sadali Pandega menahan untuk membuka mata. Ini adalah hari ketiga dirinya tanpa minum dan makan, dan bahkan tanpa berhenti bersila, terus bersemedi meminta belas kasihan kerajaan Samudra. Ia tidak mau tergoda oleh beberapa mahluk sebelumnya yang merayu dengan tidak hanya kata-kata, tetapi juga pandangan, pemandangan dan penglihatan.
Namun, suara yang muncul kali ini terlalu nyata adanya. Ada kesan kekuasaan yang kuno dan purba pada suara perempuan itu. Sadali Pandega merasakan jiwanya terlibas, pikiran tertebas dan nyalinya terlepas dari keberaniannya. Suara siapa gerangan yang mampu menggetarkan sanubarinya bila bukan dari entitas yang memang hendak ia temui?
Sang laki-laki muda memberanikan diri untuk bertanya. "Apakah hamba sedang berbicara dengan sang Ratu penguasa kerajaan Samudra Selatan?"
Suara tawa lembut tetapi sekaligus tegas terdengar mengguncangkan kesadaran Sadali Pendega. Ia tak bisa ragu lagi bahwa hasil tapanya telah terjawab. Segala pengorbanan ini disambut oleh sang penguasa lautan.
"Kau boleh membuka matamu, cah bagus," ujar sang suara. "Jangan khawatir. Engkau tahu benar bedanya suaraku dengan suara-suara para peri penunggu gua yang tak pantas dibandingkan dengan keagunganku, bukan?"
Sadali Pandega membuka matanya perlahan. Ombak di samudra di depan matanya bergelung bergulung ganas di bawah rembulan yang dilingkupi awan, membuatnya semakin gelap dan kelam.
Tak lama laut seakan terbelah, sobek tepat di tengah. Dari kejauhan Sadali Pandega dapat melihat sosok yang begitu agung, mengerikan dan di saat yang sama begitu indah.
Permukaan air yang gelap mendadak berlapis hijau. Sosok-sosok ular raksasa menggelepar muncul dan meliuk-liuk bagai bagian dari ombak itu sendiri. Di tengahnya, sosok perempuan dengan tubuh penuh sisik berjalan bagai melata dengan agungnya.
Sadali Pandega kadang-kadang melihat bahwa tubuh ular yang ada di sekelilingnya adalah bagian dari tubuh sang perempuan gaib itu sendiri, tetapi kadang ular-ular itu mengiringi kedatangannya bak para pasukan penjaga.
Padahal sosok itu muncul jauh dari tengah samudra, tetapi Sadali Pandega dapat melihatnya dengan jelas, pun suara yang ia dengar dari tadi begitu nyata dan dekat di telinganya.
Sadali Pandega menahan nafas. Ia tak menduga bakal bertemu dengan seorang Nyimas Dewi Anggatri sang Nyi Blorong. Sosok perempuan penuh kuasa itu kini berdiri mengambang di atas permukaan ombak yang mengombang-ambingkan bagian bawah tubuhnya yang ditutupi jarit berwarna hijau berkelim-kelim begitu panjang, melapisi gelombang yang memecah di batu karang. Atau, apakah jarit itu sejatinya adalah ekor ular raksasa yang merupakan bagian dari tubuhnya?
"Apakah kau kecewa telah bertemu denganku dan bukannya Kandita, cah bagus?"
Sadali Pandega langsung beranjak dari silanya dan langsung menelungkup bersujud sembah. Air laut menghempas tubuh kurus keringnya yang dibungkus selembar cawat saja. "Ampun, gusti Ratu. Siapalah hampa yang dengan lancang menawar untuk bertemu dengan paduka Ratu Nyi Blorong atau Nyi Roro Kidul. Hamba yang hina dina ini amat senang langsung ditemui oleh sang Ratu Agung."
Nyi Blorong tergelak. Mahkotanya ikut bergerak-gerak di atas kepalanya. "Apa yang kau mau, cah bagus?" tanya Nyi Blorong langsung. Ratu ular itu memandang Sadali Pandega dengan mata ular yang terisi penuh dengan hasrat. Ia jujur, Sadali Pandega adalah seorang remaja yang begitu tampan, meski tubuhnya menjadi kurus kering dan mengkerut karena selama tiga hari terendam air laut tanpa makan dan minum sama sekali.
Sadali Pandega menghela nafas, mengangkat kepalanya dan memandang ke arah sang Ratu. Ular-ular raksasa membelit karang dan menyelinap di sela-sela keliman jarit hijau Nyi Blorong yang menyaru dengan ombak.
"Hamba ingin kaya raya, paduka Ratu!" jawab Sadali Pandega lugas dan tegas.
Nyi Blorong tertawa. "Aku suka kau, Sadali, tak perlu berputar-putar. Baiklah, bila memang itu maumu, aku pun telah yakin bahwa kau sudah berpikir masak-masak dan merencanakannya matang-matang. Kekayaan akan kuberikan kepadamu, bahkan dapat mengalahkan harta milik keluarga Girinata di desa Obong dimana kau berasal," ujar Nyi Blorong.
Saat itu pula, lagi-lagi Sadali Pandega dibuat terkesima. Ular-ular raksasa menghilang ke dalam samudra. Keliman jarit hijau sang Ratu yang memenuhi ombak meringsut menciut. Sang Ratu berjalan mendekat ke arah Sadali Pandega menyibak air. Kulitnya yang bersisik perlahan runtuh dan rontok, meninggalkan kulit kuning langsat halus yang memancarkan sinar keindahan ragawi yang sama sekali bukan berasal dari dunia ini.
Nyi Blorong berdiri di depan Sadali Pandega yang masih bersimpuh. Ia melambaikan tangannya, memerintahkan budak barunya yang rupawan itu untuk menikmati ganjarannya. Sadali Pandega akhirnya terbakar berahi pula. Ia tak sungkan-sungkan lagi ******* sepasang dada jatuh menggantung dengan puncaknya yang mencuat kuat itu.
Ombak sekali lagi menyembunyikan kesempurnaan lenguhan kenikmatan tiada tara yang baru kali ini dialami oleh seorang remaja laki-laki dari desa Obong itu. Kelak, Sadali Pandega pun merasakan dahsyatnya kenikmatan yang serupa pada tubuh polos janda beranak satu yang ia nikahi. Sayangnya, ia sama sekali tak menduga bahwa anak perempuannya dari sang janda itu nanti yang mengotori perjanjian agung ilmu pesugihan Kandang Bubrahnya dengan sang Ratu Nyi Blorong. Nala Turasih, anak perempuan yang begitu ia cintai itu harus mati di usianya yang ketigabelas, memaksa Sadali Pandega menawar kembali perjanjian gaibnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
❤little girl♥
kalo g ngikutin kebiasaan org kampung,, mungkin kurang afdal kali y
2023-01-25
6
maharastra
emmm kluarga satrio piningit,,😳
2022-12-28
1
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
ohh sadali pandega itu juragan tebu bpk nya Nala?
ini awale bisa sampe jlni pesugihan yaa
baru pertama mampir di karya kang yudho,Bca Nala
keningku smpe bekerut,,🤭🤭😅
2022-12-21
1