Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Segala macam tugas dan materi untuk pelajaran esok hari, sudah Ryuuku dan Ryuuka tuntaskan di ruang belajar. Buku dan peralatan tulis lainnya pun sudah disusun rapi di dalam tas selempang hitam yang biasa mereka gunakan. Akhirnya, kegiatan mereka hari ini sudah selesai dan waktunya untuk beristirahat.
Sebelum memejamkan mata di kamar masing-masing, Ryuuku dan Ryuuka sepakat untuk meminum segelas susu hangat terlebih dahulu. Ryuuku pun pergi ke dapur tanpa sang adik karena dia masih harus membalas beberapa pesan. Namun, saat hampir sampai, Ryuuku memilih putar balik dengan wajah bersemu merah.
“Jangan ke dapur! Ayo, kembali!” bisik Ryuuku ketika berpapasan dengan Ryuuka yang hendak menuruni anak tangga.
“Huh? Memangnya kenapa?” tanya Ryuuka, bingung.
Bukannya menjawab, Ryuuku justru menyeret adiknya itu menuju kamar tanpa memberikan penjelasan apa pun. Ryuuka tentu bingung dan kesal, sebab pertanyaannya tidak kunjung dijawab.
“Memangnya di dapur ada apa, huh?! Kalau bukan sesuatu yang penting, jangan halangi aku untuk ke sana!” Ryuuka berusaha menyingkirkan tubuh bongsor kakaknya itu, yang menghalangi pintu kamarnya.
“Di sana ada Ayah dan Ibu! Kau tidak boleh mengganggu mereka!” Ryuuku tetap bergeming meskipun raut Ryuuka sudah tampak ‘tak bersahabat.
“Apa menurutmu, minum susu itu mengganggu?” Ryuuka kembali bertanya.
Mulut Ryuuku tiba-tiba saja terasa berat untuk menjawab pertanyaan gadis yang tengah merengut itu. Pipinya kembali memerah dan matanya melirik ke sembarang arah guna mencari jawaban yang tepat.
Melihat tingkah kakaknya yang agak lain, pikiran Ryuuka mendadak terkoneksi dengan pikiran Ryuuku, yang sukses membuat pipinya ikut memerah. “Baiklah, aku akan langsung menggosok gigi dan mencuci muka. Tidak perlu minum susu!”
“Na-nah ..., begitu lebih baik,” ujar Ryuuku dengan perasaan lega. “Sekali-kali kau turuti perkataan kakakmu.”
“Lain kali jelaskan dengan benar! Wajahmu bahkan bisa menjelaskan lebih baik daripada mulutmu.” Ryuuka kemudian melengos pergi ke kamar mandi, meninggalkan Ryuuku yang kesal karena tidak terima dengan fakta tersebut.
Sementara itu, dua orang yang sedang Ryuuku dan Ryuuka bicarakan, menjauhkan kedua bibir mereka dan saling memeluk di tempat yang sama. Tangan Alois lalu membelai puncak kepala Rui sembari sesekali menciumnya. Bau semerbak shampo menyentuh dengan lembut indra penciumannya yang tajam. Bau harum tersebut tidak pernah berubah sedari dulu sampai sekarang.
“Sudah waktunya untukmu tidur, Rui,” ujar Alois setelah mencium puncak kepala sang istri.
Rui menggeleng dengan wajah masih dibenamkan di dada Alois yang empuk. Tangan Rui melingkar erat di tubuh Alois, menandakan dirinya enggan melepaskan pelukannya.
Pasti tadi Ryuuku melihat kami, makanya dia tidak jadi kemari, batin Alois seraya memijat keningnya. Tanpa harus berpaling dan melepaskan Rui, Alois dapat merasakan keberadaan anaknya. Meskipun malu karena kepergok sedang bermesraan, Alois tidak bisa melepas Rui begitu saja. Dia tidak ingin membuat Rui ikut malu. Biarlah dirinya saja yang nanti akan menjelaskannya kepada Ryuuku.
“Kakimu bisa pegal kalau seperti ini terus.” Perlahan, Alois mencoba melepaskan tangan Rui, tetapi tidak bisa.
“Kalau aku melepaskanmu, nanti kau dicuri oleh Evelyn! Aku tidak mau!” ucap Rui yang sukses membuat Alois terkekeh.
“Evelyn tidak akan pernah bisa mencuriku darimu, Sayang.” Tangan Alois kemudian mengangkat wajah Rui agar bisa menatap matanya. “Apa kau lupa kalau aku adalah milikmu selamanya? Meskipun kau dan aku berbeda, tetapi takdir mempersatukan kita. Kau adalah mate⁶ yang selama ini aku tunggu, yang selalu aku rindukan, dan yang ‘tak akan pernah tergantikan oleh wanita mana pun, Rui. Sudah terlalu lama aku menantikan dirimu hadir di hadapanku, mana mungkin aku melepasmu demi wanita lain?”
Ucapan Alois seketika menyentuh hati Rui dan membuatnya berkaca-kaca. Rui tahu sekali bahwa Alois memang tidak akan pernah tergoda dan mendua dengan wanita lain, tetapi perasaan rapuhnya terkadang membuat dirinya takut dan berpikir berlebihan. Apalagi belum lama ini, wanita yang mengejar suaminya itu kembali memperlihatkan batang hidungnya.
“Tetapi aku akan menua dan jelek, sedangkan kau masih akan terlihat gagah dan tampan. Umurku pun tidak sepanjang dirimu. Aku akan meninggalkanmu lebih cepat, Yoshio. Aku takut sekali kalau dia akan memilikimu meskipun kau tidak mau.” Air mata Rui pun lolos dari sudut matanya, yang langsung diseka oleh Alois.
Dada pria yang biasa dipanggil Yoshio oleh Rui itu mendadak sesak tidak keruan. Dirinya merasa seperti suami paling kejam sekarang, sebab sudah membuat sang istri menangis dan ketakutan. Bukankah seorang suami harus bisa menjadi pelindung dan penenang dikala istrinya merasa takut dan tidak percaya diri?
“Kalau begitu, aku akan ikut denganmu.”
Terkejut, Rui lantas berkata, “Tidak boleh! Aku akan sangat membencimu kalau kau sampai bunuh diri saat aku sudah mati! Kau harus mendampingi anak-anak untuk menggantikanku! Pokoknya kau tidak boleh berumur pendek!”
Melihat wajah Rui yang lucu saat merajuk, Alois mengulas senyum yang diiringi dengan tawa tertahan. “Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu. Namun, kau juga harus ingat bahwa aku adalah milikmu, begitu juga sebaliknya. Jikalau memang kau pergi lebih dulu, aku akan menunggu untuk bertemu denganmu. Selama penantian panjang tersebut, aku akan mendampingi dan membimbing anak-anak kita dengan baik, sampai sang kematian datang menjemputku. Aku sangat mencintaimu, Rui.”
Bibir mereka pun kembali bertemu setelah menumpahkan segala keresahan dan perasaan masing-masing. Rui dapat merasakan kasih sayang yang tersalur dari setiap sentuhan bibir Alois yang lembut. Tangisnya telah berhenti dan berubah menjadi rasa nyaman dan bahagia.
“Aku juga sangat mencintaimu, Yoshio,” ujar Rui saat Alois melepaskan ciumannya.
“Kau masih ingin memelukku?” tanya Alois dan disahut dengan anggukan oleh Rui. Tiba-tiba, Alois memanggul Rui yang sontak membuat wanita itu terkejut. “Kalau begitu, kita lanjutkan di kamar saja, ya?”
Wajah Rui seketika memerah padam. Merasa takut ketahuan anak kembarnya, Rui meminta untuk diturunkan, tetapi Alois tidak mau. Setelah meminum teh dingin yang sudah disiapkan Rui beberapa waktu lalu, Alois pun pergi dari dapur menuju kamar dengan kecepatan penuh.
...***...
Hari-hari seakan berlalu begitu cepat. Tidak ada lagi penyerangan atau teror yang merisaukan para werewolf maupun keluarga Tsukiyama. Entah keadaan ini pertanda baik atau buruk, tidak ada yang tahu.
Walaupun bahaya sudah tidak lagi mengancam, penjagaan untuk Ryuuku dan Ryuuka tidak kendor sama sekali. Tidak ada kecurigaan sedikit pun di benak mereka saat masih diantar-jemput, meskipun kasus pembunuhan di daerah mereka telah diusut tuntas.
Pihak kepolisian yang terlibat, memalsukan laporan pembunuhan yang dilakukan oleh Grace. Publik hanya tahu bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh psikopat yang saat ini sudah dijebloskan ke penjara. Laporan palsu tersebut tidak luput dari campur tangan petinggi Organisasi Penyihir Jepang dan sang alpha, yang mana hal itu dilakukan agar tidak menimbulkan kepanikan dan ketakutan pada masyarakat awam.
“Ryuuka!”
Suara melengking dari perempuan itu sukses membuat orang-orang sekoridor melihat ke arahnya. Sang pemilik nama pun menoleh dan disambar dengan pelukan oleh Yui, gadis berambut pendek cokelat sedagu, yang merupakan teman baik Ryuuka sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Belum sempat Ryuuka bertanya mengenai Yui yang mendadak senang, gadis yang tingginya setelinga Ryuuka tersebut berujar, “Aku punya kabar gembira yang harus kau tahu!”
Begitu Ryuuka ditarik oleh teman sekelasnya itu, Ryuuku dan Erol saling menatap bingung, sebab kejadiannya begitu cepat.
“Kau mau kutarik ke kelas juga?” tanya Erol yang disambut dengan tatapan aneh oleh Ryuuku.
Ryuuka dan Yui yang sudah sampai di kelas pun memulai percakapan di bangku mereka masing-masing. Yui bercerita bahwa dirinya baru saja meresmikan hubungan dengan senior yang dia sukai di klub paduan suara. Ryuuka tentu sangat senang mendengarnya. Dia tahu sekali kalau Yui mengejar kakak kelas tersebut sejak SMP dan Yui mendaftar ke SMA Hoshiro pun karena senior itu.
“Akhir pekan nanti, kita ke kafe baru dekat rumahku, ya! Tenang saja, aku yang mentraktirmu. Aku ingin merayakan kebahagiaanku bersamamu, Ryuuka!” ujar Yui sembari merangkul kawannya tersebut dengan bahagia.
Ryuuka lalu bertanya, “Eh, memangnya kau tidak kencan dengan pacarmu?”
“Nanti aku akan bilang kalau aku mau berkencan denganmu.”
Ryuuka pun menyetujui ajakan Yui. Dia juga berharap semoga klub diliburkan hari Minggu nanti agar rencana mereka tidak batal.
Beberapa saat Yui memperhatikan Ryuuka, matanya menangkap jepit baru berbentuk bulan sabit berwarna kuning yang terpasang di rambut kawannya itu. “Jepitmu lucu sekali. Beli di mana?”
“I-ini … seseorang yang memberinya,” sahut Ryuuka agak kikuk.
“Wah …, penggemar rahasia lagi, ya?” Yui lalu tertawa kecil. “Kau beruntung sekali, lho, bisa mendapatkan barang-barang lucu tanpa harus membelinya.”
Ryuuka hanya tersenyum simpul. Dia tidak bisa membenarkan ucapan Yui, sebab yang memberi jepit tersebut bukan penggemar rahasianya, melainkan Ayato.
Kejadiannya kemarin, di laci meja, Ryuuka menemukan jepit itu terbungkus kotak merah muda dengan secarik kertas di dalamnya. Isi pesannya adalah permintaan maaf karena telah membuat Ryuuka dan Ryuuku bertengkar. Nama Nakajima Ayato juga tersemat di sana.
Ryuuka bingung harus senang atau sedih saat menyimpan jepit tersebut dan menyembunyikan identitas sang pemberi. Untung saja kakaknya itu tidak bertanya banyak mengenai benda cantik tersebut, sehingga Ryuuka bisa bernapas lega untuk saat ini.
Kebetulan, laki-laki pemberi jepit itu baru saja datang. Dirinya tersenyum kepada Ryuuka dan mengatakan “cantik” tanpa suara. Hati Ryuuka rasanya bak dipenuhi bunga. Dia amat sangat senang dan ingin berteriak, tetapi Ryuuka harus menjaga sikap agar Ayato tidak menganggapnya sebagai gadis yang aneh.
Tidak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Waktu pun terus bergulir, sampai tidak terasa jam istirahat akhirnya tiba. Seperti biasa, Ryuuku akan ke toilet untuk buang air dan mencuci tangan. Erol sendiri akan menyusul Ryuuku setelah selesai menulis beberapa kata di bukunya.
Seusai menunaikan kewajibannya sebagai makhluk hidup, Ryuuku pun mencuci tangannya yang penuh kuman dengan sabun dan air. Saat tengah santai di dalam kedamaian, hawa tidak enak mendadak hinggap di benaknya. Benar saja, makhluk menyebalkan yang Ryuuku benci, datang dan mencuci tangan tepat di sampingnya.
“Setahuku, ada beberapa gadis yang datang menginginkan bulan sabit itu, tetapi sayang … itu adalah bulan sabit terakhir yang mereka miliki,” ujar Ayato.
Ryuuku berusaha mengabaikan cuitan aneh yang keluar dari mulut laki-laki itu. Dirinya masih ingin bernafsu untuk memakan bekal buatan ibunya.
“Dan bulan sabit terakhir itu aku yang memilikinya. Namun, saat ini benda itu sudah berada di tangan orang yang tepat.” Ayato menjauhkan tangannya dari keran yang otomatis terhenti. “Saat dikenakan olehnya, bulan sabit itu jadi terlihat lebih cantik. Aku jadi tidak menyesal membelinya.”
Perkataan Ayato memang terdengar aneh, tetapi pengulangan kata “bulan sabit” membuat Ryuuku terpancing. Mendadak otaknya mengingat jepit rambut Ryuuka yang juga berbentuk bulan sabit. Ryuuka memang tidak mengatakan siapa yang memberi jepit itu, sebab Ryuuku sendiri tidak bertanya.
“Selain itu, cocok juga dengan namanya.” Ayato pun menoleh ke arah Ryuuku yang mematung. “Tsukiyama … -san?”
Geram namanya disebut, Ryuuku lantas berujar, “Apa maksudmu berkata seperti itu, huh?!”
“Kau memiliki otak, ‘kan? Silakan kau gunakan untuk berpikir, Tsukiyama-san.” Tidak peduli, Ayato lebih memilih untuk mengeringkan tangannya di pengering otomatis.
Ryuuku yang dasarnya sudah membenci Ayato, lalu sekarang diperlakukan tidak baik pun tersulut dan langsung menarik bahunya dengan kasar. Tangan Ryuuku yang masih basah, digunakan untuk mencengkeram kerah baju laki-laki berkacamata itu.
“Kau pun memiliki mulut untuk menjawab pertanyaanku, bukan, Nakajima-san?” desis Ryuuku disertai penekanan.
Ayato menyeringai puas. “Tetapi aku berhak untuk tidak menjawabnya.”
Cengkeraman Ryuuku mengerat kuat. Urat di dahinya semakin timbul, wajahnya pun telah merah dan kaku. “Apa aku harus membuat gigimu rontok terlebih dahulu agar kau mau menjawab?”
“Bukankah seharusnya kau juga senang saat melihat adikmu senang, Ryuuku? Kau adalah kakak yang kejam kalau sampai menyakiti orang yang disukai oleh adikmu,” bisik Ayato yang diakhiri dengan tawa kecil.
Darah Ryuuku seolah mendidih setiap mendengar ucapan Ayato. Matanya sudah dibutakan oleh emosi yang meledak-ledak. Otak dan hatinya pun sepakat untuk memukul Ayato saat itu juga.
“Kurang ajar!” Ryuuku melayangkan kepalan tangannya dan hampir menghantam pipi Ayato. Kalau saja Erol tidak datang tepat waktu, gigi Ayato pasti sudah patah lebih dari satu.
“Ryuuku, tenangkan dirimu!” Erol berdiri di tengah kedua laki-laki itu. Tubuhnya dibiarkan menjadi tameng untuk melindungi Ayato dari Ryuuku yang sudah tidak sabar ingin memukulnya.
“Minggir, Arata! Biar kuberikan pelajaran mulut sialannya itu!”
“Kau tidak boleh melakukannya, Ryuuku!” Erol berusaha menjauhkan Ryuuku dari Ayato yang tersenyum penuh kemenangan.
Para siswa yang turut menonton, tidak ada yang berani memisahkan mereka. Ryuuku terlalu seram saat marah, sehingga mereka takut menjadi samsak tinju laki-laki itu.
“Tsukiyama Ryuuku-san, Nakajima Ayato-san, kalian ikut aku sekarang,” ujar seorang wanita yang membelah kerumunan penonton.
Siapa yang melaporkannya kepada guru? batin Erol yang panik kala melihat guru wanita yang merupakan wali kelasnya.
...***...
*Note:
⁶ Mate: Pasangan abadi werewolf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments