Anna lalu terdiam, ia menghela napasnya kasar. Jari jemarinya ia rekatkan seakan meredamkan emosinya perlahan. Ia berbalik, lalu berjalan menuju kamar mandi. Entah apa yang akan ia lakukan di dalam sana.
Henry pun merasa heran, kenapa istrinya tiba-tiba menuduhnya mengadu pada ibunya. Sedari tadi ia tak bermain ponsel, bagaimana mungkin mengadu pada ibu mertuanya.
Tak mau pusing dengan tuduhan istrinya barusan, ia memilih berbaring untuk beristirahat. Rasanya nyaman sekali tidur di ranjang sendiri.
KLEK.
Pintu kamar mandi terbuka, Anna melihat suaminya yang sudah menempati kasur lebih dulu.
"Aku tidur dimana?" tanyanya.
"Kau mau tidur di lantai, silakan," jawab Henry santai.
"Tidak mau! Kau yang harus tidur di lantai!" kata Anna.
"Ini kamarku! Kenapa aku yang harus tidur di lantai?" Henry beranjak bangun, ia menatap istrinya dengan lekat. Usianya yang masih 20 tahun memang terlihat seperti remaja pada umumnya. Yang ia lihat selama ini memang Anna belum menjadi sosok wanita dewasa.
"Ya sudah. Aku mau pulang sekarang! Aku bisa tidur di kamarku sendiri!" Anna mengambil sling bagnya dan akan keluar kamar, tapi Henry dengan cepat menahannya.
"Jangan seperti anak kecil! Tidur saja di ranjang!" Henry mencekal lengannya, ia harus ekstra sabar menghadapi remaja satu ini.
"Lalu kau juga tidur di ranjang? Aku tidak mau!"
Henry menoyor kepalanya merasa gemas. "Bisa tidak, kau ini sopan sedikit dengan orang yang lebih tua. Kau seharusnya panggil aku Kakak, jangan panggil dengan sebutan kau kau, tidak sopan anak kecil!"
"Tidak peduli!" Anna sangat keras kepala.
"Apa kau benar-benar ingin terus seperti ini? Jika iya, aku akan mengembalikan kamu besok ke rumah," kata Henry dengan mode serius. Kini ucapannya terdengar meyakinkan. Tapi Anna mengembangkan senyumannya mendengar perkataan Henry. Tapi ternyata suaminya belum selesai bicara. "Tapi, jangan salahkan aku jika ayahmu yang kemarin baru saja masuk rumah sakit akan terkejut—" Henry menghentikan perkataannya. Ia menatap Anna dengan sinis. "Jangan pernah mengancam ku lagi. Mengancam sama saja membuat orang tuamu sedih jika putrinya kembali ke rumah."
Gadis itu menunduk. Mencoba mencerna perkataan suaminya. Memang itu semua kenyataan. Anna tak bisa berkutik sekarang. Satu langkah yang salah pun yang akan menyesal dirinya sendiri.
"Kau—"
"Kakak!" potongnya cepat.
"Iya, Kakak. Kakak yang suka bicara sok benar, aku tidak akan mengancam lagi. Tapi aku tidak mau kita tidur satu ranjang," ucapnya tetap kekeh.
"Baiklah. Aku bisa tidur di lantai." Henry mengalah, daripada ia harus bertengkar lagi. Ini baru hari kedua, tapi mereka seperti kucing dan tikus saja.
Anna tersenyum penuh kemenangan. Ia segera membaringkan tubuhnya yang lelah. Merasakan hangatnya selimut dan juga bantal guling yang empuk.
.
.
.
Secangkir teh dan sepiring cemilan pagi hari menemani Abraham bersantai di teras rumah. Ia buka lembaran koran yang penuh dengan berita kriminal. Merasa jenuh karna setiap hari hanya ini yang bisa ia lakukan. Ia belum begitu fit untuk kembali ke kantor. Jadi, ia harus banyak istirahat dulu di rumah.
Terasa sepi rumahnya kali ini. Tak ada lagi suara Anna yang cerewet. Bahkan perdebatan yang sering terjadi dengan putrinya, kini tak ada lagi.
"Kau rindu dengan Anna?" tebak Shopia kemudian duduk di sebelah suaminya.
Abraham meletakkan koran di sampingnya. Ia menatap istrinya dari samping. Kini hanya ada mereka berdua di rumah.
"Kau juga pasti rindu," jawabnya balik. Abraham tersenyum mengejek, sebagai orang tua pasti akan selalu rindu dengan anaknya jika sedang berjauhan.
"Bagaimana kalau hari ini kita ke rumah Henry?" usulnya kemudian.
Ajakan istrinya langsung disetujui. Mereka pagi ini akan berkunjung ke rumah besannya.
.
.
Anna terbangun tatkala ia merasa terganggu dengan sinar mentari yang memenuhi kelopak matanya. Sinarnya masuk melalui sela-sela jendela kamar. Matanya ia edarkan ke penjuru ruangan.
Lalu matanya menangkap sosok suaminya yang masih tertidur pulas di atas karpet tebal. Tubuhnya meringkuk seperti kedinginan.
Saat ia menurunkan kakinya dari ranjang, Henry tiba-tiba terbangun. Tak sengaja tangannya yang ia rentangkan menyentuh kedua kakinya. Henry langsung beranjak bangun.
Ia terkejut dan menatap istrinya yang sudah lebih dulu menatapnya dengan tatapan sinis. "Kau sudah bangun?" Henry terkesiap karna tak menyangka Anna bangun lebih dulu.
"Yang kau lihat sekarang apa? Aku masih tidur?" Baru pagi saja, Anna sudah ngegas.
"Ya, ya. Ya sudah, aku dulu yang mandi apa kamu?"
"Kakak duluan saja," jawabnya. Gadis itu berjalan menuju jendela. Ia buka jendela kamar dan seketika udara segar memenuhi ruangan kamarnya. Dihirupnya dalam-dalam udara segar pagi hari.
Tiba-tiba Anna menangkap sebuah mobil yang sangat familiar. Mobil itu memasuki halaman rumah. Dari atas ia bisa melihat dua sosok orang keluar dari mobil itu.
"Ayah, Ibu ...." Anna tak menyangka jika orang tuanya akan datang. Ia langsung menggedor-gedor pintu kamar mandi yang sedang dipakai suaminya.
"Kakak buruan! Aku juga mau mandi!" teriaknya kencang.
Henry yang baru saja melepaskan pakaian merasa kesal. "Aku baru saja masuk! Kau ini tidak sabar sekali!" jawabnya dengan decakan sebal.
"Ayah dan Ibuku datang, Kak!"
Mendengar itu, Henry langsung buru-buru mandi. Ia belum ada persiapan untuk menyambut mertuanya.
"Abraham, kenapa tidak bilang jika mau kesini." Chris terkejut melihat sahabatnya yang tiba-tiba datang ke rumah tanpa memberitahu.
"Iya, Chris. Rencananya kita mau ngasih kejutan buat Anna dan Henry."
"Hm, tidak begitu. Abraham rindu dengan putrinya, Tuan Chris," ucap Shopia dan langsung disenggol lengannya oleh suaminya sendiri.
Chris terkekeh, ia lantas menyuruh keduanya untuk duduk. "Sepertinya mereka belum bangun."
Seorang pelayan ia suruh untuk memanggil mereka berdua. Sembari menunggu Anna dan Henry, mereka di ajak untuk ke meja makan. Karna kebetulan mereka belum makan pagi.
"Aku sudah makan di rumah, Chris. Aku tunggu di sini saja." Abraham menolak untuk makan bersama, karna ia hanya ingin bertemu putrinya saja.
Henry dan Anna berjalan bergandengan menuju Abraham dan Shopia yang menunggunya di ruang tamu. Senyuman Anna merekah sempurna melihat kedua orang tuanya.
"Ayah, Ibu ...." Anna lebih dulu memeluk ibunya, lalu beralih pada ayahnya. Mereka tak segan menciumi putri satu-satunya. Harta yang paling berharga yang mereka miliki.
"Henry ...." Henry berjalan mendekat, ia mencium tangan kedua mertuanya. Ia melihat kasih sayang yang besar untuk Anna. Abraham menarik Henry untuk menjauh. Ada hal yang ingin ia sampaikan pada menantunya.
"Ada apa, Yah?" tanyanya dengan lembut.
"Seperti yang sudah Ayah katakan padamu waktu itu. Ayah benar-benar ingin kau menjaga putri Ayah. Walaupun bukan hak Ayah lagi untuk mengatur Anna, itu sudah menjadi hak mu. Tapi tolong, sayangi Anna sepenuh hatimu." Henry mengangguk patuh, ia tahu bagaimana khawatirnya seorang ayah pada putri satu-satunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
al-del
nanti juga bucin tingkat dewa 🤭
2022-11-22
1
Aulia_ Zahra8944
bagaikan tikus dan kucing lama2 jadi bucin 🤣🤣
2022-10-12
2
L i l y ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈💦
G tau aja Abraham kalau Anna ribut terus dengan Henry😁😁😁
2022-10-11
2