Brianna merasa malu, ternyata ia sudah salah paham dengan Henry. Pria dewasa yang tingginya melebihi tinggi ayahnya itu menatapnya dengan dingin. Ia menghapus air matanya cepat.
Tepat di depan Henry, ia bertolak pinggang. "Kau sungguh tak melakukan apa pun malam itu?" tanyanya memastikan.
"Kau ingin aku melakukan apa? Jika perlu, aku bisa melakukannya sekarang!" Henry berjalan mendekat. Mengikis jarak antara mereka. Anna merasakan dadanya yang berdegup kencang. Tak pernah ia merasakan seperti ini sebelumnya. Bersama seorang pria dengan jarak yang sangat dekat. Berbeda saat di club, karna itu ada pengaruh alkohol.
"Anda mau apa?" teriak Anna membuat Henry menutup telinganya merasa sakit.
Pria itu menggelengkan kepalanya. "Dengar ya gadis kecil .... Kau ini bukan tipeku. Jadi jangan mengira aku akan melakukan hal yang diluar dugaan terhadapmu."
Anna menyunggingkan senyumannya. "Sudahlah lupakan. Aku ingin bertanya denganmu, kenapa kau tampak tak terkejut saat orang tua kita berbicara kita akan segera menikah? Apa kau setuju akan hal itu?"
Henry menghendikan bahunya. Merasa acuh dengan rencana orang tuanya itu. "Adikku mau menikah. Tapi karena aku belum menikah, dia tidak boleh menikah lebih dulu. Aku menyetujui pernikahan ini hanya untuk membuat adikku tidak kecewa karna pernikahannya harus batal."
Henry dan Zion memang sering bertengkar. Tapi jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Henry sangat menyayangi Zion. Dia mengingat betapa Zion sangat marah padanya waktu itu karena ayah melarangnya untuk menikah lebih dulu. Setidaknya apa yang dia lakukan sekarang akan membuatnya bahagia.
"Hanya karena itu? Kau mengorbankan pernikahan ini hanya untuk keinginan adikmu? Hey! Di sini ada seorang gadis yang sangat keberatan dengan pernikahan ini! Apa kau tidak tahu?" serunya sambil melotot.
"Kau keberatan?" Henry tertawa kecil. "Itu kesalahanmu! Kenapa kau selama ini hanya membuat susah kedua orang tuamu. Jadi—"
"Anna ...." panggilan lembut dari seorang wanita. Anna menoleh dan mendapati ibunya yang berdiri di belakangnya. "Sudah malam, ayo kita pulang. Henry, lain waktu lagi ya kalian mengobrolnya. Jika kau mau, kau bisa main ke rumah."
Henry mengangguk dan tersenyum. "Dengar ya, akan ku pastikan pernikahan ini tidak akan pernah ada!" ucapnya tepat di telinga Henry.
Pria itu hanya menanggapi dengan senyuman mengejek.
Di dalam mobil Brianna beberapa kali melayangkan protes pada ayahnya.
"Tidak ada kata membantah! Kau ini sudah membuat Ayah marah sekali! Turuti permintaan Ayah kali ini jika kau tak mau Ayah buang di jalanan!"
Anna menangis sesaat mobilnya sampai di rumah. Ia turun dan berlari menuju kamar.
"Kenapa berkata seperti itu tadi? Harusnya kau bisa membujuknya jangan mengancamnya!" Shopia merasa tidak terima dengan perkataan yang dilontarkan suaminya tadi.
"Sudahlah. Dia itu kalau dibilangin lembut dan kasar sama saja! Tidak ada berubahnya!"
Anna menangis di dalam kamar. Ia benar-benar kacau malam ini. Rasanya ia ingin pergi saja dari rumah.
.
.
.
.
Abraham dan Shopia sudah duduk di meja makan. Mereka sedang menunggu putrinya untuk sarapan bersama.
"Tuan, Nyonya. Sepertinya nona Anna belum bangun. Sedari tadi saya mencoba membangunkannya tapi tidak ada jawaban."
Abraham saling pandang dengan istrinya, jika Anna belum bangun rasanya tidak mungkin. Ia bergegas naik ke atas disusul oleh istrinya.
"Anna! Buka Anna!" Pintunya dikunci, dengan terpaksa Abraham membukanya dengan cara didobrak. Karna sedari tadi tidak ada jawaban dari dalam.
Betapa terkejutnya Abraham mendapati kamar putrinya yang berantakan. Selimut berada di lantai, bantal-bantal berserakan, sprei terlihat kusut juga pintu lemari yang terbuka. Juga meja rias yang berantakan.
Pandangan mereka tertuju pada lemari yang isinya sebagian kosong, juga sebuah koper yang tidak ada di tempat.
"Anna kabur?" Abraham memegangi dadanya. Napasnya terasa berat.
"Sayang, kau kenapa?" Shopia panik melihat suaminya tiba-tiba merasakan sakit, ia lantas berteriak memanggil seluruh pelayan.
.
.
.
.
Di tempat lain, di dalam kamar dengan cat serba pink itu kedua gadis cantik masih bergumul dengan selimut tebalnya yang juga berwarna pink.
Salah satu dari mereka terlihat mengerjab. Tangannya ia bentangkan hingga tak sengaja memukul orang di sebelahnya.
"Hey!" Gadis disebelahnya terbangun karna tubuhnya berasa dipukul.
"Eh, maaf. Maaf Anna." Marissa cengengesan, ia lupa jika mereka tidur bersama.
Anna berdecak sebal, lalu ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi. Terlalu siang baginya, karna ia tidak biasanya bangun jam segini. Mungkin karna semalam ia susah tidur.
"Kau tidak masuk kuliah?" tanya Anna.
Temannya itu menggeleng, lalu memilih berbaring lagi melanjutkan mimpi indahnya.
"Kenapa tidur lagi, Marissa! Ayo bangun." Anna menarik tangannya, mencoba membangunkan temannya. Ia sudah merasa lapar, tidak mungkin dia berjalan sendirian ke dapur mencari makan tanpa ada tuan rumah yang menemani. "Marissa! Aku lapar!" rengeknya.
"Tinggal ke dapur saja, Anna," jawabnya.
Percuma saja membangunkan temannya yang suka tidur itu. Anna km lantas duduk melamun. Pandangannya kosong ke arah depan. Sesaat pikiran tentang menikah dengan pria asing itu kembali muncul diingatan nya.
Drrtttt .... Drrtttt ....
Terdengar ponsel bergetar. Ia menangkap sebuah ponsel di atas nakas. Ternyata ponsel Marissa yang berbunyi. Anna iseng mengecek siapa yang menelpon Marissa pagi ini.
Matanya membulat tatkala melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel temannya itu.
"Bibi Shopia."
Itu nama ibunya Anna. "Ibu menelpon Marissa pasti ingin menanyakan keberadaan aku." Anna tak menghiraukan panggilan dari ibunya itu, ia memilih membersihkan tubuhnya saja di kamar mandi.
Disaat Anna sedang bermain bersama busa sabun di dalam bath up, suara gedoran pintu kamar mandinya terdengar sangat berisik. Juga bersamaan namanya yang dipanggil. Itu suara Marissa, ia memanggil Anna untuk cepat keluar.
"Anna! Ayah kamu masuk rumah sakit."
DEG.
Seketika jantungnya mencelos hebat mendengar kabar buruk itu. Ia segera memakai baju dan mengambil tas lalu berlari keluar kamar. Marissa menyuruh sopirnya untuk mengantarkan Anna ke rumah sakit. Sedangkan dirinya nanti akan menyusul setelah mandi.
Di dalam mobil Anna menangis, lagi-lagi gadis itu menangis. Akhir-akhir ini ia memang suka sekali menangis.
Mobil melaju pesat dan sampai juga di depan rumah sakit. Tak lupa ia mengatakan terima kasih pada sopir Marissa dan berlari masuk ke dalam. Di depan resepsionis ia bertanya dimana ruang rawat ayahnya berada.
"Anna ...." Shopia terlihat berdiri di depan sebuah ruangan. Matanya sembab juga wajahnya yang kusut. Ia memeluk putrinya dan kembali menangis.
"Di mana ayah, Bu?"
Shopie masih terisak. "Masih ditangani oleh dokter. Tadi jantung ayahmu kambuh lagi."
Anna merasa bersalah, ini pasti karna dirinya yang telah kabur dari rumah.
"Maafkan Anna, Yah."
Anna menuntun ibunya untuk duduk bersama sembari menunggu hasil dari pemeriksaan dokter.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Makanya jangan maksa, Umur 20 tahun itu anak2 masih ingin bersenang masih remaja, masih mencari jati dirinya,masih mau bermain2 , Malah di suruh menikah segala,
2023-08-09
0
Anonymous
smoga membawa hidayah
2023-07-07
0
Nia Kurniawati
jadi NK yg nurut dong na kasihn ayah kan jadinya
2023-04-21
0