Kakinya melangkah pada sebuah ruangan yang gelap dan pengap. Tak ada suara di dalam sana. Hanya ada sunyi dan sepi. Semakin jauh kakinya melangkah, terasa sangat hampa. Hembusan napasnya bahkan terdengar begitu nyaring.
Pandangannya tertuju pada sebuah rak usang yang berdebu. Sebuah box kardus berukuran tipis menyita perhatiannya. Itu yang sedang ia cari. Di dalam sana ada sebuah kenangan yang tak terlupakan.
Beberapa lembar foto wanita cantik terlihat memudar dimakan oleh waktu.
"Olivia"
Nama wanita pujaannya yang menghilang. Wanita itu menghilang, seakan ditelan bumi. Jejaknya tak dapat dicari. Bahkan uang yang ia miliki seakan tak bisa menembus jejaknya. Benar-benar hilang, seperti sudah direncanakan sebelumnya.
"Henry ...." Namanya dipanggil bersamaan langkah kaki seseorang yang terdengar mendekat. Ternyata Jane, ia sedari tadi mencari putra pertamanya.
"Ibu ...." sahutnya saat mengetahui ibunya datang.
"Sedang apa kamu di sini, Nak?" Ia melihat kedua mata putranya yang teduh. Mengisyaratkan betapa hancurnya perasaan putranya kehilangan Olivia. Jane juga merasakan hal yang sama, ia sudah begitu menyayangi Olivia seperti putrinya sendiri.
"Aku merindukan Olivia, Bu." Jane mengangguk, ia paham itu. Lembaran foto itu ia ambil dari tangan putranya. Fotonya yang tersenyum lebar, begitu menyayat hati. Olivia entah ada di mana sekarang, bahkan keluarganya sudah tak lagi ada di negara ini. Mereka tinggal di negara lain. Bahkan kasus pencarian Olivia sudah dihentikan oleh pihak kepolisian setelah 1 bulan pencarian, itu atas keputusan dari pihak keluarga Olivia.
Tapi pencarian yang dilakukan Henry tidak dihentikan kala itu. Pihak Henry masih mencari Olivia hingga satu tahun lamanya. Dan setelah satu tahun, Henry mencoba mengikhlaskan. Sampai dengan hari ini, genap 10 tahun ia kehilangan Olivia.
"Henry, sebentar lagi kau akan menikah. Brianna gadis yang baik, jaga dia juga sayangi dia. Ibu yakin dia akan menjadi pelangi dalam hidup kamu," tutur Jane.
Henry menatap ibunya dalam-dalam. Rasa sayangnya begitu besar padanya, ia seakan iri dengan Jason dan Zion yang memiliki ibu sepertinya. Walaupun sedari kecil ia tak kekurangan kasih sayang dari orang tua, tapi dalam hatinya selalu merindukan sosok orang tua yang sesungguhnya.
"Ibu, terima kasih. Terima kasih selama ini sudah merawat ku, mendidik ku serta memberikan kasih sayang yang tak terhingga. Aku sangat beruntung diasuh oleh wanita berhati mulia seperti Ibu." Mata Jane berkaca-kaca, hatinya tersentuh mendengar perkataan tulus dari putranya. Ia memeluknya erat, dia tidak pernah membeda-bedakan putranya semua.
.
.
"Henry! Kau harus ke rumah sakit sekarang!" Baru saja mereka keluar dari ruangan itu, suara Chris sudah menyambut mereka.
Chris berjalan tergesa-gesa dengan raut wajahnya yang panik.
"Siapa yang sakit, Yah?" tanyanya dengan heran.
"Ayah dari Brianna. Barusan dilarikan ke rumah sakit karna jantungnya kambuh lagi. Nanti Ayah dan Ibu menyusul. Kau harus segera ke sana temani Brianna."
Mendengar berita Abraham yang dilarikan ke rumah sakit, Henry cukup terkejut. Karna yang ia lihat, Abraham keliatan sehat dengan tubuhnya yang segar. Awal pertemuan mereka tak memperlihatkan bahwa Abraham ternyata memiliki riwayat penyakit.
Henry langsung mengemudikan mobilnya cepat. Ia harus segera sampai di rumah sakit.
Hari sudah memasuki siang, banyak orang yang keluar mungkin saja untuk mencari makan. Cukup lama ia mencari ruangan dimana Abraham dirawat, hingga sosok wanita yang sedang duduk di sebuah bangku panjang mengalihkan perhatiannya.
Brianna duduk sendirian di sana, terlihat ia sedang menyeka air matanya.
"Dimana ayahmu?" Tepat di depan Brianna, Henry bertanya. Brianna mengangkat kepalanya, melihat wajah calon suaminya yang tiba-tiba datang.
"Ada di dalam," jawabnya dan segera menghapus keseluruhan bekas air matanya pada wajah cantiknya. Ia memalingkan wajahnya merasa malu.
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya.
"Ayah tidak mau bertemu aku dulu," jawabnya dan satu bulir air matanya menetes kembali.
Abraham masih kecewa dengan sikap Brianna yang kabur dari rumah. Dia sudah membuat ayahnya kecewa.
Henry melihat Brianna yang menangis, ia merasa kasihan. Juga ia teringat akan rencana pernikahan mereka berdua, ia tahu gadis itu tidak mau menikah tapi jika ia membatalkan pernikahan ini berarti Zion juga tidak jadi menikah. Bisa saja Zion akan membencinya seumur hidup.
"Ayo ikut aku," ajaknya sambil menarik tangannya.
Brianna terkejut dengan sikap Henry yang tiba-tiba menarik tangannya menjauh dari tempatnya duduk. Ia pikir Henry akan masuk ke dalam, tapi ia malah mengajaknya entah kemana.
Di sebuah kantin yang ada di rumah sakit, mereka duduk di sana dan memesan makanan. Karna waktu sudah memasuki jam makan siang.
"Kita bikin perjanjian," ucap Henry serius. Ia menatap Brianna yang masih diselimuti perasaan sedih. Terlihat matanya yang sayu.
"Perjanjian apa?" Ia balik menatap Henry.
"Perjanjian tentang pernikahan kita. Aku tidak mungkin membatalkan pernikahan ini, walaupun sebenarnya aku tidak mau menikah. Tapi ini demi adikku Zion, ia harus segera menikah dengan wanita pilihannya. Jadi aku harus menikah lebih dulu agar adikku bisa menikah. Kau harus setuju tentang pernikahan kita, tapi aku janji tidak akan menyentuhmu apalagi melarang mu untuk melakukan apa pun. Kau bebas seperti saat masih lajang begitu pun aku."
Terdengar menarik perjanjian yang dikatakan Henry. Tapi Brianna masih berpikir untuk menimbang segala sisi positif dan negatifnya. Jika perjanjian yang ditawarkan Henry berjalan sebagaimana mestinya, itu berarti pernikahan mereka hanya untuk status saja.
"Aku setuju," jawabnya lantang.
Tanpa mereka sadari, orang-orang yang di dalam kantin mengarahkan pandangan mereka ke arah Henry dan Brianna.
Henry tersenyum puas. Satu masalah akhirnya selesai, ia sudah mendapatkan solusi terbaik.
"Habiskan, aku mau ke ruangan ayahmu dulu. Aku harus menjenguk calon mertuaku," ucapnya.
Brianna memutar bola matanya jengah. Ia menatap punggung tegap Henry yang berjalan keluar dari kantin. Sosok pria dewasa yang akan menikahinya itu, perlu diakui ia cukup tampan. Bahkan usianya yang sudah memasuki kepala tiga tak terlihat dari wajahnya yang tanpa keriput.
"Anna!" Ia dikagetkan oleh sosok pria yang seumuran dengannya. Pria yang memanggil dirinya lantas duduk persis di sebelahnya.
"Alden, kau di sini?"
Dia adalah Alden, teman sekolahnya dulu. Pria tampan yang pintar di kelas. Anna sering kali menyontek pada Alden. Juga saat ada PR, Alden lah yang selalu membantunya.
"Iya, aku ke sini karna ibuku dirawat di sini," jawabnya dengan wajah lesu.
Brianna turut prihatin, karna yang ia tahu memang sejak dulu ibunya sering sakit-sakitan.
"Kau juga kenapa di sini?" tanyanya balik.
"Ayahku sedang dirawat di sini. Jantungnya kambuh lagi."
Mereka saling berbincang lama di dalam kantin. Alden tak hentinya menatap wajah cantik Brianna. Mereka seakan terhanyut dalam suasana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Anonymous
🥰🥰🥰
2023-07-07
0
Anonymous
lanjut😁
2023-07-07
0
L i l y ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈💦
Masalah pernikahan selesai bagi kedua belah pihak 👌
2022-10-02
1