Kulihat ekspresi di wajah Billy tidak puas. Entah apa yang ada dalam pikirannya, jelas aku tidak mau tahu dan tidak mau ikut campur. Kehidupan keluarga Daniel ternyata lebih pahit dari keluargaku. Kehilangan peran ayah dalam keluargaku bagaikan cicak tanpa ekor. Walaupun tidak lengkap, aku dan mama bisa bertahan hidup, bahkan jauh melebihi pandangan orang. Namun, kehilangan peran ibu dalam keluarga Billy pasti lebih menyakitkan dari kehilangan ekor. Meskipun hidup lengkap dan selalu bersama, perhatian yang tidak ada lagi pasti membuat Billy dan om Jacky merasa hampa. Hal ini membuktikan; uang bukan segalanya, walaupun segalanya butuh uang. Melihat perbandingan ini membuatku bersyukur, bersyukur Tuhan memberikanku keluarga yang bahagia walaupun tidak lengkap.
"Zuri, apa kamu ingin melihat mobilnya dulu?"
Pertanyaan Billy mengejutkanku. Sambil tersenyum aku mengangguk kemudian mengikuti langkah Billy dan si manager itu.
"Warna ini spesial untuk tuan Jacky. Sebelumnya beliau memesan warna hitam, namun bos kami mereferensikan warna yang ini sebagai bonusnya," jelas si manager sambil membuka tutup yang membungkus mobil tersebut.
Mataku seketika terbuka lebar. "Vanta black?"
"Benar, vanta black. Ini unit pertama dalam produksi kami menggunakan warna ini."
"Kamu suka?" tanya Billy padaku.
Saking senangnya aku mengangguk sambil meneteskan air mata.
Billy tersenyum. "Aku pikir kamu tidak suka. Baru saja aku ingin menukarnya dengan mobil yang kubeli kemarin."
Aku tertawa. "Sejak dulu aku ingin sekali memodivikasi mobilku dengan warna ini, hanya saja mama belum menghilalkannya karena aku belum bekerja. Sekarang ... Terima kasih banyak, ya. Sumpah, aku sangat bahagia. Ini benar-benar mobil impianku."
"Aku senang kalau kamu menyukainya. Kalau begitu setelah ini kita akan ke mana?"
"Kembali ke kantor. Aku ingin bertemu om Jacky dan berterima kasih kepada beliau."
"Nanti saja. Kita cari restoran dulu untuk makan siang. Aku sudah lapar."
Dengan kebahagiaan yang meluap-luap aku dan Billy menuju restoran terkenal di kota ini. Mobil sport hitam Billy berada di depan, sedangkan aku di belakangnya sambil mengendarai mobil yang warnanya sangat kuimpikan sejak dulu. Tak bisa kuluapkan rasa bahagiaku ini, aku pun teriak dan memutar musik sekuat-kuatnya di dalam mobil.
"Om Jacky, terima kasih banyak. Terima kasih banyam, om Jacky."
Aku terus mengucap syukur dan terima kasih sampai rasa benciku terhadap lelaki pun hilang. Om Jacky sudah membuat kebencianku terhadap kaum Adam terpatahkan. "I love u, om Jacky. I love you. Menjadi asisten saja sudah dibuat senang seperti ini, apalagi menjadi anaknya. Aku pasti akan bahagia jika memiliki papa seperti om Jacky."
Setelah memakan waktu hampir dua puluh menit akhirnya aku dan Billy tiba di sebuah restoran seafood yang ternyata pemiliknya adalah keluarga Daniel. Wow, kaya sekali ya keluarga Daniel. Di mana-mana tempat pasti ada penghasil uang buat keluarga mereka. Kata Billy restoran ini di kelolah langsung oleh neneknya. Setiap hari neneknya pasti ada di restoran ini untuk menjaga dan memantau agar kualitas rasa tetap terjaga. Di samping itu resepnya langsung dibuat oleh sang nenek. Benar juga, sih. Kalau tidak di pantau pasti para koki akan menghasilkan rasa yang berbeda dari resep aslinya. Hmm, itulah misteri dapur: beda tangan, beda rasa. Hehehe
Begitu masuk ke dalam restoran semua pelayan langsung menyambut aku dan Billy. "Selamat datang dan selamat siang, Tuan."
Walaupun mereka hanya menyapa cucu dari sang pemilik, beberapa dari mereka menatapku dengan senyum terbaik. Pasti mereka penasaran, siapa sih wanita cantik yang di ajak Billy. Aku tak peduli dan terus melangkah sejajar dengan Billy.
"Bagaimana kalau kita duduk di sana?" ajak Billy seraya menunjukkan ke meja paling pojok yang view-nya mengarah ke pantai.
"Iya, di sana lebih sejuk sepertinya."
Begitu aku dan Billy duduk sambil berhadapan tiba-tiba sosok lelaki gemuk berkepala plontos mendekat lalu menyapa, "Tuan Billy, senang melihat Anda."
"Sajikan menu terbaik yang ada di sini."
"Siap, Tuan. Minumnya?"
"Nona Zuri, kamu ingin minum apa?"
Aku senang Billy memperlakukanku dengan sopan ketika berada di depan seseorang. Entah apa maksudnya, tapi aku merasa seperti wanita terhormat jika di perlakukan seperti itu.
Setelah memesan minuman yang sama lelaki paruh baya tadi pamit undur diri. Billy kemudian menatapku lalu berkata, "Tadi itu adalah manager di restoran ini. Beliau tangan kanan nenek dan sudah bekerja di sini sejak restoran ini di buka lima belas tahun lalu."
Di lihat dari pengunjungnya yang sangat banyak dan padat membuatku berpikir restoran ini baru saja di buka. Aku jadi penasaran, seperti apa rasa masakan neneknya Billy sampai pengunjung tak bosan-bosannya mengunjungi restoran ini.
"Boleh aku bertanya?"
"Tentu," jawabku sambil tersenyum.
"Selain karena papamu, apalagi yang membuatmu tidak ingin menerima laki-laki dalam kehidupanmu?"
"Tidak ada. Kebencianku terhadap papa-lah satu-satunya alasan aku tidak ingin berpacaran. Kenapa?"
"Hanya ingin tahu saja. Pasti banyak laki-laki yang kecewa karena cintanya ditolak olehmu, ya?"
Aku tertawa. "Benar. Saking kecewanya mereka ingin mengencani mamaku, agar aku bisa cemburu."
Billy terbahak. "Mamamu? Apa mereka sudah gila?"
Aku pun mengambil ponsel kemudian memperlihatkan foto mama kepada Billy. "Coba tebak, siapa wanita cantik di sampingku ini?"
"Apa itu kakakmu?"
Aku terbahak. "Ini mamaku. Kamu orang keseribu yang mengatakan ini kakakku."
"Serius?"
Kutatap wajah tak percaya Billy dan itu membuatku hampir tertawa. "Apa gunanya aku bohong?"
"Memangnya usia mamamu berapa?"
"Tahun ini mama empat puluh lima tahun. Bulan kemarin ulang tahun mama."
"Empat puluh lima? Berarti hanya selisih dua tahun lebih muda dari papa, ya. Papa umur empat puluh tujuh tahun. Mamamu kerja apa?"
"Mamaku pimpinan perusahan."
Billy terkejut. "Kamu anak pimpinan, lalu kenapa kamu bekerja di perusahan orang lain?"
Aku lagi-lagi tertawa melihat ekspresi di wajah Billy. Begitu juga sebaliknya. Aku seperti menemukan kebahagiaan tersendiri sejak berinteraksi dengannya. Mungkin karena sama-sama anak yang terabaikan, makanya kami berdua merasa cocok satu sama lain.
"Justru itu. Sebelum menggantikan posisi mama aku ingin mencari pengalaman dulu. Lagi pula, tidak ada salahnya bukan jika aku merasakan bagaimana menjadi status karyawan di perusahan orang lain?"
Sambil memujiku tiba-tiba menu makan siang kami datang. Beberapa menu yang dihidangkan adalah menu kesukaanku. Aroma dan tampilan membuatku semakin lapar. Tak hanya aku, Billy juga ternyata sudah lapar dan kami berdua pun segera menyantap makan siang sambil di temani musik klasik dan suara deburan ombak.
"Billy! Sejak kapan kamu di sini, Nak? Kenapa tidak beritahu dulu kalau kamu akan datang?"
Wanita yang memiliki rambut cokelat yang di sasak begitu tinggi serta makeup tebal di wajah cantiknya itu ternyata neneknya Billy.
"Billy, apa ini pacarmu?"
"Uhuk! Uhuk!"
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments