My Devilish Daddy
Sambil duduk termenung di atas kursi roda, di dalam kamar tepatnya di dekat jendela rumah sakit yang cukup terkenal di pusat kota, aku menatap interaksi anak perempuan yang usianya kurang lebih lima tahun mengenakan pakaian rumah sakit seperti aku. Anak itu sedang bermain bersama kedua orangtuanya. Hal itu tentu saja membuatku iri.
Sejak membuka mata aku tidak pernah melihat papaku. Aku tidak tahu wujud dan bentuk makhluk Adam itu seperti apa. Aku merasa hidupku tidak normal. Hidupku tidak sama seperti teman-temanku yang memiliki keluarga lengkap. Memiliki kakek, nenek, papa, mama, paman, bibi, kakak, adik bahkan saudara. Sementara aku ... Aku tidak memiliki siapa-siapa selain mama. Aku tidak memiliki papa, adik, kakak ataupun kakek dan nenek.
Aku penasaran dengan kehidupanku yang tidak lengkap ini. Sepuluh tahun lalu aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu kepada mama. Rasa penasaran yang sudah bersarang sejak lama akhirnya meledak ketika usiaku dua belas tahun. Kata mama kakek dan nenekku meninggal sejak mama masih kecil. Mama adalah anak tunggal kemudian di adopsi oleh paman Robbie yang tak lain adalah adik dari papanya mamaku. Itulah kenapa aku tidak punya sepupu, karena mama adalah anak satu-satunya di keluarga Oliver. Paman Robbie yang sering kusapa kakek itu juga tidak pernah menikah. Entah apa alasannya, yang jelas di keluarga ini hanya ada kakek Robbie Oliver, mamaku yang bernama Abigail Oliver dan aku, Zuri Oliver.
Oliver itu adalah nama keluarga. Karena lahir tanpa papa membuatku harus memakai nama belakang keluarga mamaku. Hal itu juga yang membuatku penasaran dan bertanya kepada mama di mana sebenarnya papaku berada. Saat pertanyaan itu terlontar mama sepertinya terkejut. Namun tak ingin aku bertemu papa, mama akhirnya menceritakan semuanya. Alasannya papaku meninggalkan aku dan mama demi wanita lain. Papaku pergi di saat aku berusia berapa minggu di dalam perut mama. Aku sempat marah kepada mama kenapa tidak menahan papa. Namun alasan mama cukup masuk akal dan membuatku seumur hidup sangat membenci papaku. Aku bersumpah tidak akan pernah menemui lelaki itu sekalipun dia membutuhkanku. Aku tidak akan menganggap lelaki itu papaku dan berdoa agar tidak akan pernah melihatnya. Aku bersyukur tidak pernah tahu wajahnya seperti apa. Namun, kebencianku terhadapnya membuatku menolak setiap kali ada pria yang ingin mendekatiku. Aku benci lelaki dan aku tidak ingin merasakan sakit seperti yang mamaku rasakan.
Lamunanku buyar ketika tangan lembut mama menyentuh bahuku. Dengan wajah pucat, alis berwarna cokelat, rambut pirang yang masih belum rapi aku menatap mamaku yang sudah wangi dan segar.
"Selamat pagi, Sayang," sapa mamaku dengan senyum manis yang selalu membuatku bahagia.
"Pagi, Ma. Mama mau ke kantor?" tanyaku begitu mata cokelatku melihat setelan rapi yang pas di tubuh mama yang seksi. Walaupun sudah memiliki anak, tapi mamaku terlihat seperti wanita-wanita berkelas yang belum menikah. Selisih usia dua puluh tahun membuat orang-orang mengira mama adalah kakakku. Bahkan ada beberapa teman kampusku sering memberi salam kepada mamaku. Mereka ingin mengencani mama tanpa tahu bahwa wanita yang paling mereka kagumi ini adalah mamaku.
"Iya, Sayang. Hari ini mama ada meeting dengan perusahan terkenal dari luar kota. Mereka mau bekerja sama dengan perusahan kita. Kamu tidak apa-apa kan mama tinggal sebentar? Mama janji, setelah meeting mama akan langsung ke sini menemanimu."
Ada sedikit sakit yang terasa dalam hatiku saat mendengar perkataan mama. Di saat anak sedang sakit, mamaku lebih mementingkan pekerjaan dibanding anaknya sendiri. Tapi aku harus mengalah demi kebaikan semua. Toh mama bekerja siang-malam juga demi aku. Kalau tidak seperti itu lalu siapa lagi yang akan bekerja dan menafkahi kebutuhan kami setiap hari. Melihat mama seperti ini membuatku ingin membantu mama. Aku tidak ingin mama terus-terusan bekerja demi memenuhi kebutuhan kami. Aku juga ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhanku sendiri.
"Iya, Ma. Mama hati-hati, ya. Jangan lupa makan. Kalau mama sakit dan aku juga sakit, bagaimana?"
Oh iya, aku lupa memberitahu kalian. Alasan aku masuk rumah sakit dan duduk di kursi roda sekarang ini karena kecelakaan mobil. Lima hari lalu saat pulang dari pesta bersama teman-teman untuk merayakan acara kelulusan, aku minum sampai mabuk dan menabrak pembatas jalan. Untung saja aku tidak apa-apa. Hanya saja tulang di kaki kananku sedikit tergeser akibat benturan yang cukup keras. Aku juga bersyukur tidak ada yang parah dalam insiden itu. Hanya cedera tulang dan beberapa luka ringan di bagian tubuh akibat percikan kaca. Walaupun begitu mama sama sekali tidak marah padaku. Beliau hanya menasehatiku itu pun dengan cara yang tidak biasa di lakukan oleh semua orang tua perempuan.
"Tenang saja, Sayang. Oh iya, mama membawakanmu bubur kesukaanmu, tapi mama minta maaf karena tidak bisa menemanimu sarapan."
Kulihat wajah cantik mamaku penuh penyesalan dan kesedihan. Itu pasti berat baginya. Di satu sisi mama pasti ingin berada di dekat dan merawatku, tapi di satu sisi mama harus bekerja demi memenuhi kebutuhanku. Aku pun tak bisa menuntut. Aku tersenyum kemudian memegang sebelah tangan mamaku.
"Tidak apa-apa, Ma. Kan ada pengasuh di sini. Lagi pula mama kan sudah sering meninggalkanku dengan pengasuh."
Kurasakan pelukan hangat dari tubuh mamaku.
"Maafkan mama, Sayang. Seharusnya mama ada di sini menemanimu sampai kamu sembuh."
Tak ingin larut dalam kesedihan, aku segera tertawa dan berkata, "Aku sudah besar, Ma. Sudah, nanti Mama terlambat, lagi."
Mamaku menyerang wajahku dengan ciumannya hingga meninggalkan beberapa bekas lipstik. Mama tertawa lalu pamit dan pergi meninggalkanku. Aku pun harus ikhlas membiarkan mama pergi, padahal batinku ingin sekali mama menemaniku, memeluk dan mengelus kepalaku di saat aku tidur. Seandainya aku punya papa, mungkin kehidupanku tidak akan seperti ini.
"Non, ayo sarapan dulu. Non harus minum obat setelah ini."
Suara bibi Renata mengejutkanku. Bibi Renata adalah pengasuh yang sudah merawatku sejak usiaku dua tahun. Meskipun sedih karena mama hampir setiap saat meninggalkanku, aku cukup terhibur dan bahagia dengan adanya bibi Renata yang selalu menemaniku ke manapun aku mengajaknya. Bibi Renata sangat baik. Bibi Renata menyayangiku seperti menyayangi putrinya sendiri. Karena tidak menikah, beliau sudah menganggapku seperti cucunya sendiri.
***
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, aku mengajukan permintaan kepada mama yang cukup membuatnya syok. "Aku ingin keluar kota, Ma. Aku ingin mencari suasana baru. Siapa tahu di sana aku bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, toh mama tidak perlu lagi bekerja siang hari malam demi memenuhi kebutuhan kita."
"Sayang, perusahan yang mama kerjakan sekarang itu milik kita. Milik keluarga Oliver. Penghasilan di perusahan itu tidak akan membuat kita miskin. Kamu tidak perlu bekerja. Bersenang-senanglah dulu sebelum kamu siap bergabung dengan mama untuk mengurus perusahan kita."
Bersambung____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
💞 RAP💞
Bersyukur ya dd punya mama yg begitu baik dan sangat sayank meski tiap hari waktu nya sibuk utk kerja, tp semata2 utk kebutuhan anak agar jgn sampe kekurangan
2023-03-20
1