Episode 18

...Love Rain...

Keesokan harinya aku absen ke kampus soalnya kesleoku masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan. Deva Devi datang kerumah untuk melihat keadaanku. Dan yang membuatku kesal dengan mereka, bukannya menengokku dulu malah kedapur cari makanan. Begitulah mereka sudah ku anggap seperti saudara sendiri, orang tuaku juga sudah akrab dengan mereka.

"Ca! Kok bisa si sampe gitu... makanya kalo jalan jangan mikirin kak Fikri, jadi gitu kan"

"Hey!... kamu tu ya Vi sotoi, siapa yang mikirin kak Fikri, kalau kamu mungkin iya .. hem" kata ku membantah dengan senyum dan menggelengkan kepala ku, melihat tingkah Devi.

"Ca, tadi kita ketemu kak Fikri Dia nanyain kamu"

"Ooh gitu" jawabku santai sambil meneruskan melihat majalahku.

"Dia nanyain kamu" tambah Devi dengan nada yang sepertinya kesal.

"Eem..." Gimana lagi memang hanya seperti itu. Jawabku dengan ekspresi datar, "ya mau"

"Ach Ecca!... santai amat si jawabnya harusnya kan kamu kaget, gembira, seneng, loncat-loncat" jawab Deva dengan gaya alaynya sambil makan cupcake buatan ibuku.

ooOoo

Aku adalah aku, aku adalah ceria yang bersembunyi di balik sepi. Aku adalah cahaya yang bersembunyi didalam redup, aku adalah amarah yang bersembunyi di bawah tentram. Aku adalah aku yang mencintaimu yang selalu hatimu tutupi.

Faktanya orang-orang yang mendasarkan penghargaan terhadap diri mereka sendiri pada ambisi untuk selalu benar, menghalangi diri mereka sendiri untuk bisa belajar dari kesalahan itu. Ternyata benar adanya bahwa setiap orang selalu pergi, agar tahu bagaimana rasanya pulang kepada pelukan yang jarang sekali kita anggap.

Ku pandangi langit, serdadu di logika mulai meradang, menuntut agar bahagia di kembalikan. Dalam kericuhan yang amat mendalam di dalam diriku.

Kalau saja aku mampu sudah aku kejar langkahmu agar kita berjalan berdampingan. Kalau saja aku mampu, sudah ku hiasi hari-hari mu dengan penuh senyuman. Kalau saja aku mampu, sudah ku pastikan aku pantas untuk kau sandingkan.

Kalau saja aku mampu, sudah aku balikkan waktu agar saat itu tak jadi mengenalmu. Kalau saja aku mampu, sudah ku arungi hariku tanpa harus memikirkan mu. Kalau saja aku mampu, sudah ku tarik jiwaku yang ingin berada di sebelah mu. Kalau saja aku mampu, sudah ku minta hatiku untuk berhenti merasakan mu.

"Hhhh... kenapa harus segitunya... itukan kalian... hhh, ya mungkin kebetulan aja tanya gitu, secara biasanya akukan bareng kalian... ya kan?"

"Ya iya si tapikan, sorot matanya saat mengucap namamu tu seperti ada sesuatu yang tersimpan " dengan gaya ekspresi dramatis Devi.

"Hemmm, mulai dech.. dari pada ngomongin yang gak jelas temenin aku jalan yok, biyar kakiku nggak kaku biar besok bisa masuk, bosen dirumah.." pintaku dibarengi dengan uluran tangan Deva Devi yang siap mengawal dan menuntunku.

Masih cukup sulit kakiku untuk berjalan sendiri. Kami keluar rumah menuju taman depan rumahku.

"Hey! Masih sakit? Harusnya buat istirahat dulu" suara yang mengejutkan kami, serentak kami menoleh kearah suara itu. David yang ternyata tinggal tepat didepan rumahku, nggak tau dari kapan soalnya aku baru liat dia kemaren, mungkin karna aku kurang peka jadi gak tau juga.

Ada dua hal yang begitu setia menjadi pendamping dalam hidup, perkenalkan dia bernama tawa dan air mata. Kita tidak akan pernah tahu keadaan seperti apa yang akan kita tempuh dalam hari-hari kedepan. Kita juga tidak akan pernah tahu pertemuan seperti apa yang akan membuat kita bahagia atau malah sebaliknya.

Detik-detik yang selalu berjalan adalah parade dalam mensyukuri anugerah Tuhan. Karena pada hakikatnya, telah menempuh kehidupan saja adalah anugerah terbesar yang sudah juta terima. Keadaan juga memiliki pasang surutnya, kebahagiaan dan kesedihan akan berputar pada porosnya.

"Hey! Masih si, tapi harus di buat jalan biar cepet pulih kalau nggak gini.. kapan sembuhnya" jawabku dengan ekspresi tersenyum, dan melihat Deva Devi yang melongo keheranan melihat David dan aku mengobrol.

"Oh iya, kenalin ini Deva dan Devi temenku" ucapku membuyarkan lamunan mereka.

"Oh hay! David" dengan menyalami tangan Deva dan Devi

"Ok, kalo gitu aku mau keliling dulu cari-cari objek, ati-ati ya Ca cepet sembuh... daaa" melambaikan tangannya.

"Ya, amin... ati-ati juga ya daa" balasku, David beranjak pergi dan aku meneruskan menggerakkan kakiku.

"Ecca!! Gantengggggg B.G.T., kamu kok nggak bilang si ada pangeran seganteng itu disini, tau gitu tiap hari aku kesini terus" ekspresi dan bahasa alay Deva Devi muncul.

Kau pancarkan kebahagiaanmu dari mata air yang tersembunyi. Seperti ketika laut pasang di bawah tatapan lembut sang matahari mendatangkan kegembiraan yang tak terlukiskan. Sepasang lima jari yang terkembang ke empat penjuru samudra saat menghantarkan puja kepada yang maha kuasa. Ia yang memberi kita segala kenikmatan. Ia yang kepadanya kita berpulang.

Menjamah pusat rindu yang gaib, mencumbui perasaan  garib yang sebelumnya tiada dikenal. Waktu yang memetakan segala ingatan purba atas raga kita yang fana, telah tumbuh menjadi kenangan baka atas lebatnya hutan rimba belantara dan sebuah sendang kecil di tengah tengah pulau terpencil yang dikelilingi oleh lembah yang permai dan perbukitan perak yang dulu sekali sering engkau jelajahi.

Gunung gunung yang menjulang tinggi di kejauhan seakan menantang untuk ditaklukkan. Langit biru terhampar di atas padang gundul terbentang jauh hingga ke semenanjung yang sebelumnya tak pernah dijamah. Semua yang dulu cuma bagian dari lintasan sejarah, namun kini selamanya telah jadi pengingat akan dirimu. Semua yang dulu pernah mengungkapkan seluruh jejak petilasan dan penaklukanmu. Bentang alam dari seluruh kekayaan yang kini engkau simpan dalam perbendaharaanmu pribadi. Alam liar dari horizon pikiran dan khazanah perasaan yang nyaris tak terselami.

Tidak ada lagi rahasia yang engkau tutupi dari mata kami, selain daripada ceruk ceruk terdalam dari palung palung yang tersembunyi di balik mimpi mimpimu. Sungguh, tiada lagi kebahagiaan yang mampu mewakili perasaan kami saat ini, karena engkau telah mengijinkan kami untuk menjadi saksi mata; hasrat dari hasratmu, kerinduan dari kerinduanmu, cinta dari cintamu.

Bagaimana kami mampu membalas kebaikan hatimu yang sungguh tiada terkira? Sebab hanya tulus kata dari apa yang tak terucap namun telah puas kami saksikan, akan menggenapi seluruh janji dari semua yang telah engkau beri namun tak akan pernah kami miliki. Akan tetapi, sudah cukuplah itu semua bagi kami, karena engkau telah mengijinkan kami mengagumi keelokan panorama dari apa yang selama ini engkau simpan rapat rapat sebagai harta pusaka yang hanya bisa dinikmati oleh sang raja.

ooOoo

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!