Episode 15

...Diksi & Paradoks...

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati.

Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?

Jarak terkadang membuatnya menjadi asing, membuat seseorang tak percaya akan kekuatan cinta. Silangit yang sama kamu berada, namun belum kamu temukan satu sosok pilihan-Nya.

Bagiku hidup hanya selalu hitam dan putih, kebahagiaan akan selalu berbanding lurus dengan kesedihan. Kita hanya menunggu waktunya bergiliran bukan?

Begitupun dengan kesunyian.

Hari ini terasa ramai, mungkin esok kita akan berdialog lagi dengan kesendirian.

Meski dalam keramaian aku masih merasa kesepian, entah kenapa sunyi sepi ku rasa tanpa seseorang yang bisa menemani ku di kesendirian ini, tak terasa sudah semakin jauh aku berjalan sendiri.

ooOoo

Memang tak bisa di sangkal sosok kak Fikri yang baik, tampan, soleh, sopan pula. Jadi wajar kalau banyak gadis-gadis mengidolakannya. Aku beranjak berdiri karna acara sudah selesai. Tapi Deva dan Devi masih melongo memandangi kak Fikri sambil senyum-senyum sendiri.

"Hey! Plok! " ucapku sambil menepuk tanganku dihadapan mereka dan mengagetkan mereka.

"Ahh...kamu Ca ganggu orang aja" jawab Devi dengan nada kesal dan melanjutkan posenya.

"Hey kalian liat donk udah sepi acaranya udah selesai sayang...ayo pulang udah soreni" aku berjalan meninggalkan mereka dan mereka mengikutiku.

"Ca, kamu kenapa si?" tanya Deva

"Kenapa? Kenapa apanya?" aku heran dengan pertanyaannya

"Ya, kenapa? Gak kayak cewek lain yang kalau di deketin kak Fikri tu gugup, terpesona, kagum, gak bisa ngomong... kamu malah biyasa aja... apa jangan-jangan.."

"Jangan-jangan apa!" sautku memotong kalimat Devi.

"Jangan-jangan kamu gak suka sama cowok ya?" Kata Devi yang mengagetkanku

"Hey, kalian ni ngaco dech kalo aku gak suka cowok kenapa aku nggak macarin kalian aja" Jawabku santai, menaikan sebelah alisku menggoda mereka.

Beberapa perasaan tak ingin diabadikan. Mereka hanya ingin dititipkan dan dilepaskan di waktu yang baik. Bukan, bukan karena kata sementara itu menyenangkan, hakikatnya, yang singkat tak akan pernah sepadan.

Bukan juga karena kata selamanya terdengar mustahil, sejatinya taka ada yang bisa terjadi di bumi, kalau kau bertanya kenapa, sebenarnya aku juga tidak tahu.

"hiii, Deva aja ni aku gak mau" ekspresi alay devi muncul

"hhh, nggak becanda, memang kak Fikri patut untuk dikagumi tapi bukan berarti harus terlalu mengaguminya, dan aku lebih mengagumi Allah karna dia yang menciptakan mahluk yang kalian kagumi itu.. ya nggak!"

"ya!... Bu Ustad" jawab serentak mereka

"yap! Anak pinter" di barengi dengan tawa lepas kami.

Sampai di komplek rumah, aku berhenti sebentar untuk duduk di tepi danau yang tak jauh dari rumahku. Untuk menikmati sepoy-sepoy angin sore dan melihat sang surya tenggelam. Aku pejamkan mataku, menghadapkan wajahku ke arah langit menikmati sejuknya angin meniup-niup tubuhku dengan membawa harumnya bunga-bunga dan aroma air yang khas. karena telalu lelap dalam pesona itu, sampai-sampai lupa waktu.

Aku bukan perasaan. Aku hanya berada di tubuh seorang perempuan yang tiap langkahnya berhadapan dengan perasaan. Dan sejujurnya tak enak, membosankan, mudah senang, mudah kecewa, mudah sedih, tapi juga mudah memaafkan.

Kadang ingin sekali aku hidup di dalam pikirannya, iya dia seorang laki-laki yang dari tadi cuma mendengar dan cuma membaca.

Ku lihat jam di tanganku ternyata sudah hampir jam lima sore. Aku segera bangun dan terhenti pandanganku melihat seseorang yang berada di sebrang danau, tepatnya di depanku. Laki-laki yang sedang asik dengan kameranya. Aku berbalik dan melangkah pulang.

"tok...tok.tok.... asalamualaikum"

"walaikum salam" suara ibuku, membukakan pintu dan ku raih tangannya kemudian ku cium punggung tangannya.

"cepat mandi, kita solat magrib bareng, setelah itu makan"

"ya, buk" jawabku sambil berjalan kekamar.

Ku letakkan tas ku kemudian mengambil handuk bergegas mandi. Beginilah keseharianku dengan keluargaku, selalu mewajibkan untuk sholat berjamaah dan makan bersama. Setelah makan aku iseng-iseng membuka facebook untuk sekedar melihat-lihat updetan anak-anak.

Ada pesan inbox dari kak Fikri yang baru saja dikirim.

"asalamualaikum Ca?"

"walaikumsalam kak"

"gimana tadi seminarnya paham?"

"insyaallah paham kak"

"alhamdulillah, Ca boleh minta no hp kamu? Buat kalau-kalau nanti ada info biar bisa bagi-bagi.. hehehe" hal yang membuatku kaget dan senyum-senyum sendiri.

" hhh... iya kak, 089765554xx"

"ok! Makasi ya.. udah malem tidur jangan malem-malem tidurnya gak baik buat kesehatan... ok see you ca!"

"hhh ya sma" kak, ok see you too!"

Hal yang selalu membuat hati bimbang adalah ketika kamu memilih mencintai seseorang, tetapi tidak pernah memiliki keberanian lebih untuk mengungkapkannya. Perasaan itu seperti rasa sakit yang bertahun-tahun tidak menemukan obatnya, jika saja kamu berani mengatakannya mungkin kamu tidak terbunuh mati oleh perasaan mu sendiri. Memang, sebagai seseorang yang pertama kali jatuh cinta, perasaan takut itu selalu ada. Membuat hati mu bimbang tidak siang tidak malam selalu terbayang-bayang, bagi ku aku lebih suka mencintai dalam diam, sebab tak akan ku temukan kata katakutan dalam mencinta.

Hal yang masih membuatku bingung dan ada rasa bahagia, kak Fikri minta nomor hp ku. Hal yang mungkin didambakan kebanyakan wanita. Mungkin kalau Deva dan Devi yang mengalaminya bahagia mereka akan serasa dapat uang miliyaran rupiah dengan bahasa alay mereka. Karna sudah malam dan sudah mulai menguap aku memutuskan untuk tidur.

ooOoo

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!