Episode 6

...Arti Sahabat...

"Kamu kenapa Ca ngeliatinnya sampai sebegitunya?" Tanya Devi.

"Ah, enggak!" Jawabku sembari melanjutkan mengerjakan tugas.

Kemudian kak Fikri duduk di samping ku, aku berkilah dan mencoba menjaga jarak dengannya. Nampaknya kak Fikri merasa sadar dan mencoba sedikit menjaga jarak dariku.

"Kalian berdua kayak lagi marahan?" Tanya Devi.

"HuUuuSTtt!!" Jawab Deva.

Lalu aku dan kak Fikri saling memandang satu sama lain...

"Ehhhmmm!!" Ujar Devi.

"Huammm!!" Seru Deva.

Nampaknya sedari tadi aku dan kak Fikri jadi gugup sendiri, tetapi meski begitu saat memandang kak Fikri hati ku kenapa jadi sakit.

"Apa dia merasakan hal yang sama?" Tanyaku dalam benakku.

ooOoo

Cinta adalah candu jangan menggebu nanti jadi babu kekal di dalam semu, cinta itu anugrah jangan terlalu marah nanti luka parah nikmati dengan pasrah, cinta juga bisa mendewasakan pergi untuk menyabarkan menjatuhkan untuk menguatkan pelangi setelah hujan. Hujan air mata, ada yang dihempaskan awan sebelum cerah menggeser hitam merata di langit, ada yang harus kau buang sebelum senyum mengasingkan duka yang sakit.

Matahari bersinar di ufuk timur berikan sinarnya yang terang sembari menunggu datangnya sang fajar menyingsing, aku tak tahan melihat cahaya terang yang begitu besar nan indah namun tak pelak cahyanya memberikan tanda tanya terhadap perasaan ku yang berkecamuk antara kebimbangan dan juga ketidak pastian yang membuat aku tak percaya akan indahnya cinta, naluri ku bertanya ada apakah gerangan dengan misteri yang selalu saja timbul dalam kehidupanku yang membuat aku tak mampu melalui setiap proses dalam kehidupanku.

Sang waktu berjalan tak pelak kau tak memberikan aku waktu untuk sejenak melupakan egoku, aku tahu semua hal yang aku lakukan dengan sadar ataupun tidak mungkin menyakiti hatimu, bukan sang waktu yang salah bukan kita pula yang harus menafikan setiap hal yang telah terjadi. Lihatlah aku yang disini melawan getirnya hidupku sendiri tanpamu aku lemah melawan pahit getirnya hidupku sendiri. Aku sadar setiap jam menit detik gak akan mudah mengucapkan kata maaf meski demikian egoku masih membuat aku merasa takut. Aku sendiri melawan getir pahitnya mentari bersama dengan sinarnya yang selalu menjagaku dalam setiap keluh kesah yang aku lalui, meski ku sadar sang fajar tak semudah itu menyingsingkan setiap hal yang membuat aku sadar.

"Kenapa kok diem aja?" Tanya kak Fikri saat kami hendak pulang.

"Ah enggak kenapa-kenapa kok!" Jawabku.

Sebenarnya aku masih merasa canggung, kak Fikri masih bersikap baik pada ku padahal aku juga masih merasa bingung dan bimbang dengan perasaan ku sendiri. Di satu sisi aku seperti kehilangan sosok lelaki yang ku cintai yaitu David tapi disisi lain aku masih ingin dekat dengan kak Fikri.

Melihatnya di kerubuti cewek-cewek kenapa membuat aku cemburu, padahal aku bukan siapa-siapanya dan aku juga tak berhak atas dirinya.

"Udah dulu ya!!" Ujar kak Fikri.

"Ia kak Fikri, makasih udah bantuin kita ya!" Ujar duo Dev.

"Siap! Kalian gak usah sungkan kalau ada tugas lagi tanya sama aku ajah!" Ujar kak Fikri lalu kemudian masuk ke dalam mobilnya.

Sedari tadi aku hanya diam saja...

"Kalian bener nih gak mau bareng sama aku?" Tanyanya lagi.

"Ah, enggak kak kita gak enak dari tadi ngerepotin kakak terus!" Ujar Devi.

"Ia kak, jalan aja duluan kita bisa naik angkot kok!" Ujar Deva.

"Hmm, yasudah aku balik duluan ya Assalamualaikum!" Seru kak Fikri.

"Waalaikum salam" jawab duo Dev.

"Kamu kenapa sih Ca, lagi sariawan ya?" Tanya Devi.

"Hmmm!!" Ujar Deva sembari menyenggol tangan Devi.

"Eh enggak jadi deh!" Ujar Deva.

Sedari tadi saat di perpustakaan dan hingga perjalanan pulang, rasanya lidahku keluh dan kaku rasanya aku malas untuk berbicara.

"Udah ya aku balik dulu, Assalamualaikum!" Seru ku.

"Waalaikum salam!" Jawab Duo Dev.

Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis?

Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana?

Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah.

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati.

Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?.

"Kamu perhatiin deh, kok sekarang Ecca jadi berubah ya?" Tanya Devi.

"Ya mungkin dia lagi males ngomong kali!" Jawab Deva.

"Ya enggak begitu juga kali" ujar Devi.

"Apa dia masih kepikiran David kali ya?" Tanya Deva

"Hmmm, mudah-mudahan enggak ya, soalnya kasian Ecca!" Jawab Devi.

"Tapi jujur aku suka ngeliat dia pakai jilbab!" Ujar Deva.

"Besok aku juga mau pake jilbab ah!" Ujar Deva.

"Ehhmm, dasar!" Seru Devi.

ooOoo

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!