Bab 3

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, pukul tiga pagi bersamaan dengan bunyi ayam yang berkokok. Setelah membersihkan muka aku melangkah menuju dapur kemudian membuka lemari es. Memeriksa iso di dalamnya sebelum memutuskan untuk memasak.

Kulihat hanya ada sisa telur semalam, sayur sawi dan wortel juga sepapan tempe. Aku menghela napas berat, mesti belanja dulu ini, padahal niat bangun awal agar pekerjaan rumah cepat beres malah batal. Soalnya kalau harus belanja dulu harus nunggu jam empat pagi dulu baru bisa belanja. Sebab, warung yang jual sayuran bukanya mulai jam empat pagi.

Akhirnya aku merebus air untuk membuat kopi lebih dulu, kemudian memasukkan cucian kotor ke dalam mesin cuci. Setelah itu menyapu seluruh rumah. Tepat jam empat lebih kima belas menit aku keluar untuk membeli sayuran di warung tak jauh dari rumah.

"Bu, beli ayam sekilo, udang seperempat sama ikan tongkol satu, ya." ucapku pada Mbak Ita, penjual sayuran sambil tangan memilih sayur yang ingin aku masak.

"Siap, Mbak Rina. Eh, Mbak, kemarin ibu mertua sampean ambil ayam sekilo sama daging sekilo, katanya nanti Mbak Rina yang bayar."

Aku menghentikan gerakanku memilih sayur dan terong karena terkejut mendengar ucapan Mbak Ita barusan.

"Ambil apa, Mbak? Daging sama ayam?"

Seingatku dua bahan ini nggak ada di kulkas, lalu lari kemana bahan-bahan tersebut. Apa habis mereka makan begitu saja, pantas saja sepulang kerja kemarin cucian kotor menumpuk di wastafel.

"Iya, katanya Mbak Rina nggak ngasih ibu uang belanja, ya beberapa hari ini?"

"Masa, sih, kok nggak kasihan ya sama mertuanya. Mbak Rina, meski suami masih nganggur tapi sudah kewajiban kita, kan sebagai istri ikut membantu keuangan. Jangan malah dibiarin aja nggak dikasih makan, dzolim itu namanya, Mbak."

Tiba-tiba Bu Jaenab sudah berada dibsampingku dan ikut nimbrung pembicaraan kami. Sejak kapan aku mengabaikan makan suami dan mertuaku. Mau menjelaskan pun juga percuma mereka pasti nggak akan percaya.

"Memang belanjaan ibu kemarin berapa, Mbak, biar saya bayar sekalian."

Aku urung membeli sayuran dan memilih menyudahi belanja, malas kalau harus meladeni tukang ghibah satu ini.

"Totalnya dua ratus lima puluh ribu, Mbak."

Aku segera mengeluarkan uang dari dompet dan memberikannya pada Mbak Ita, setelah itu lekas-lekas membawa belanjaan dan pulang.

Sepanjang perjalanan aku tak henti berpikir, kenapa ibu mertua sampai harus berhutang di warung, bahkan menjelek-jelekkan diriku seolah aku menantu yang pelit. Padahal setiap apa yang ibu mau aku berusaha menuruti.

Aku sampai di rumah dengan wajah dongkol, saat melewati kamar aku mendengar kasak kusuk dari dalam kamarku.

"Sebentar, Bu, Ilham belum nemu dimana Rani menyembunyikan surat rumah ini."

Aku mendengar suara Mas Ilham bicara soal surat rumah, dan saat aku mencoba untuk mengintip terlihat Mas Ilham mengeluarkan semua pakaian yang ada di lemari.

"Cari bener-bener, buruan keburu istrimu pulang."

Ibu juga terlihat membantu Mas Ilham mengeluarkan pakaian, sambil tangannya merogoh seperti mencari sesuatu. Mereka sepertinya tidak menyadari kalau aku sedang mengintip dari balik pintu. Aku mengendap kembali ke pintu depan yang sejak tadi belum kututup lagi, lalu pura-pura menutup pintu.

Terlihat ibu keluar dari kamarku dengan tergopoh-gopoh.

"Eh, Rani kamu baru pulang belanja?"

Terdengar suara ibu gemetar, mungkin terkejut mendengar aku yang tiba-tiba pulang.

"Iya, Bu. Kok Ibu keluar dari kamar Rani? Ada apa?"

"Oh, i-itu tadi ibu mau bangunin Ilham karena, karena kompor di dapur nggak bisa nyala, iya itu."

Kulihat ibu bicara sambil memilin ujung bajunya, kentara sekali kalau sedang gugup.

"Teruss, Mas Ilhamnya sudah bangun, Bu."

Aku berniat untuk melihat Mas Ilham di kamar, tetapi tanganku keburu dicekal oleh ibu.

"Jangan masuk, anu, itu biarin aja nggak usah ganggu Ilham. Mungkin sekarang kompornya sudah bisa nyala. Ayo, kita lihat."

Ibu menyeretku agar mengikutinya ke dapur, aku tahu beliau melakukan ini agar aku tidak tahu kalau kondisi lemariku yang berantakan karena ulah mereka tadi.

Saat di dapur ibu langsung memutar kenop kompor dan hasilnya kompor tadi langsung menyala.

"Oalah, lha kok sekarang bisa nyala, ya. Lha tadi itu kenapa?"

Aku tahu ini hanya alasan ibu saja, sebab tidak ada masalah sama sekali dengan kompor ini.

"Ada apa, sih?"

Kulihat Mas Ilham keluar sambil mengucek matanya, aku bisa melihat kalau dia pura-pura baru bangun tidur.

"Ini, lho Ham tadi ibu mau masak air kompornya nggak nyala-nyala. Ibu bagunin kamu tapi nggak bangun-bangun padahal sudah ibu goyang sama gelitikin pinggang kamu. Ternyata sekarang kompornya sudah bisa nyala."

"Oh, kirain ada apa, kok sudah rame pagi-pagi. Ya sudah, Ran, buatin aku kopi.'

Mas Ilham kemudian terlihat menuju ruang depan, aku pun segera membuatkannya kopi. Meski dalam hati bertanya-tanya apa yang coba mereka sembunyikan. Dan kenapa mereka harus mencari surat rumah ini. Apa jangan-jangan mereka mau menjualnya.

"Sini, Ran, kamu belanja apa biar ibu bantu masak."

Ibu terihat membuka kresek belanjaan yang tadi aku bawa dan memgeluarkan isinya.

"Kita bikin ayam kecap aja, ya, Ran."

Ibu kemudian meletakkan ayam yang kubeli tadi ke wadah baskom, setelah itu mencucinya. Heran saja, selama beberapa bulan tinggal disini baru hari ini Ibu mau membantuku masak.

Aku membiarkan saja, mumpung ibu lagi mU bantu. Lumayan, kan, menghemat tenagaku.

"Kalau gitu Rani mandi dulu, ya, Bu.

"Iya, kamu mandi aja biar hari ini ibu yag masak."

Aneh, aku semakin merasa curiga. Begitu cepat perubahan yang terjadi pada sifat ibu. Boro-boro masak, aku belum menyelesaikan pekerjaan rumah saja ibu selalu mengomel saat akan berangkat kerja.

Aku lantas menuju kamar, tidak ada pakaian berserakan di kasur. Saat kubuka lemari pun kondisinya sudah tertata lagi meski tidak rapi. Dan itu menunjukkan kalau tadi ibi sengaja mencegahku masuk agar Mas Ilham bisa membereskan pakaian.

Untungnya almarhum papa dulu pernah membuatkan aku tempat rahasia untuk meyimpan berkas penting dan barang berharga. Tempatnya di bagian bawah ranjang kamarku, disana ada satu ruangan berbentuk persegi. Untuk membukanya ada tombol yang tertutup kayu, letaknya di balik ranjangku. Untuk menjangkau tombol ini aku hanya perlu merogohkan tanganku ke kolong ranjang dan menekan sedikit kayu penutupnya.

Dimana letak tombol tersebut hanya aku dan almarhum papa yang tahu. Mengetahui kejadian Mas Ilham yang mengobrak-abrik lemari pakaian hanya untuk mencari surat rumah ini, membuat aku bersyukur ayah membuatkan tempat rahasia untukku. Karena, meski mereka mencari sampai jungkir balik pun mereka tidak akan bisa menemukannya.

Meski begitu aku harus bersikap waspada, bukan tidak mungkin suatu saat nanti mereka akan menemukan tempat rahasia ini. Untuk itu aku harus cepat-cepat mengamankan surat dan barang-barang berharga yang kusimpan disana. Aku harus memindahkannya ke suatu tempat.

Terpopuler

Comments

Suprihatin

Suprihatin

seru ceritany

2023-09-02

0

⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️

⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️

harus selalu waspada ya Ran ...
udah langsung ketauan yak, kalo suami dan mertua kamu tuh jahat ... 😡

2023-04-26

1

blecky

blecky

sip bner RAN...jgan smpai u di ceraikan stlah rmh mnjdi milik Ilham...u kudu cerdas

2022-09-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!