Bahagia Setelah Berpisah Denganmu
"Lho, Rin, kamu sudah mau berangkat?"
Ibu mertua menghadangku di depan pintu, matanya menatap tajam dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Iya, Bu," jawabku singkat, malas meladeninya pagi-pagi begini. Pasti bakalan ngomel lagi.
"Pekerjaan rumah belum selesai kamu udah mau berangkat aja?"
Tuh, kan, bener dia ngomel lagi. Padahal kan tinggal bersih-bersih rumah sama jemur cucian aja. Mau minta tolong juga percuma, orangnya pasti nggak bakalan mau.
"Tinggal nyapu sama jemur cucian, kan, Bu. Nanti biar dikerjakan Mas Ilham."
"Gimana bisa kamu nyuruh lakimu mengerjakan tugas rumah! Itu kan tugasmu sebagi istri, makanya kalau bangun yang pagi biar semua pekerjaan beres sebelum kamu berangkat."
Aku yang sudah akan naik motor jadi dibuat geram dengan tingkah ibu mertuaku ini. Apa salahnya, sih, kalau meminta tolong sama suami, toh orangnya juga seharian nggak ngapa-ngapain di rumah. Jadi, wajar dong aku minta dia buat bantuin pekerjaan rumah.
"Ya, kalau gitu ibu aja tolong yang kerjakan, ya. Rani udah kesiangan, Bu, sudah di telpon terus sama si Bos."
Iya, ponselku sedari tadi berdering dan saat kulihat di layar ada nama bos ku disana. Aku sedikit heran karena tidak biasanya bosku itu menghubungi secara langsung, biasanya dia akan meminta tolong sekretarisnya. Mau diangkat pun sudah keduluan kena omel Ibu mertua.
"Kamu, tuh, makin lama makin ngelunjak, ya! Perempuan itu dimana-mana ya harus dahulukan pekerjaan rumah sebelum mengerjakan yang lainnya."
"Ada apa, sih, ribut-ribut?"
Akhirnya Mas Ilham bangun juga, mungkin telinganya udah risih mendengar ibunya ngomel-ngomel terus.
"Kasih tahu itu istrimu, Ham, suruh bangun lebih pagi biar kerjaan rumah beres sebelum dia berangkat kerja."
Ibu masih saja mengomel meski beliau sudah berlalu dari hadapanku. Kenapa setiap hari selalu aku yang disalahkan, padahal hampir setiap hari aku bangun jam setengah empat. Mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri seperti menyapu dan mengepel rumah.
Bahkan saat memasak pun aku juga masih harus menyambi dengan mencuci pakaian. Untungnya ada mesin cuci, kalau tidak bagaimana?
"Jam berapa, sih, ini? Kamu kok udah buru-buru gini?"
Mas Ilham malah duduk di kursi teras, is mengangkat satu kakinya dan terlihat belum sepenuhnya sadar sambil sesekali menguap.
"Udah jam tujuh, Mas, aku ada briefing di kantor pagi ini. Tuh liat orang kantor udah nelpon terus."
Aku menunjukkan ponsel yang kebetulan sedang berdering itu ke wajah Mas Ilham. Ada nama Septi, teman sekantorku disana.
"Iya, Hallo."
"Iya…iya gue berangkat sekarang."
Wajahku cemas, Septi bilang bos sudah nungguin aku sambil marah-marah? Ada masalah apa? Gegas aku menaiki motor yang terparkir di teras rumah.
"Kamu, tuh, jadi suami yang tegas gitu lho Ham, istri salah itu harusnya ditegur bukan dibiarin aja."
Masih kudengar omelan ibu yang tetap menyalahkanku. Biar aja, lah pekerjaanku lebih penting.
Namaku Rani Handayani aku menikah dengan Mas Ilham dua tahun yang lalu. Waktu itu aku mengenal Mas Ilham sebagai pribadi yang baik. Kami berpacaran hanya empat bulan dan dia langsung melamarku. Katanya sudah kadung cinta mati sama aku.
Setelah menikah kami memilih tinggal di rumah pemberian orang tuaku. Tahun-tahun pertama pernikahan kami sangat bahagia. Mas Ilham memperlakukanku bak ratu, ia bahkan tak segan membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah.
Aku sendiri bekerja di sebuah perusahaan distributor makanan, posisiku di sana sebagai staf keuangan dengan gaji yang cukup lumayan. Mas Ilham sendiri awalnya bekerja sebagai sales supervisor di sebuah dealer mobil. Namun, sudah di phk sejak setahun yang lalu karena ada pengurangan karyawan.
Mas Ilham belum bekerja lagi, dengan alasan belum ada panggilan. Aku cuma diam, mungkin memang belum rejeki suamiku. Enam bulan lalu Mas Ilham meminta aku agar menampung ibunya di rumah ini. Alasannya, karena ibu tinggal sendirian di kampung.
Mas Ilham merupakan anak tunggal, ayahnya sudah meninggal ketika dia masih duduk di bangku SMU. Sebagai istri yang baik tentu saja aku menyetujui rencana suamiku. Toh, orang tuaku juga sudah meninggal. Ibu meninggal sebulan setelah aku menikah sedangkan ayah menyusulnya seratus hari kemudian.
Bagaimanapun juga ibu mertua sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri. Namun, sayangnya beliau malah menganggapku sebagai babu, bukan menantu. Setiap hari aku harus melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, katanya itu sudah kewajibanku sebagi istri.
Aku melajukan motor matic menuju ke kantor, sejak tadi ponsel di saku jaket tak berhenti berdering. Setibanya di kantor aku sudah melihat mobil Pak Alvin, bosku sudah terparkir di sana. Tumben, biasanya Pak Alvin akan datang sekitar pukul sembilan atau sepuluh.
Memasuki ruangan aku disambut tatapan nelangsa dari Mira, rekan kerjaku. Apalagi saat melihatku dia kemudian menggerakkan tangannya melintang di depan leher. Aku yang bingung dengan sikapnya lalu mendekati dan berniat untuk bertanya apa maksudnya.
Namun, langkahku harus terhenti saat pintu ruang kerja Pak Alvin terbuka dan sosoknya menyembul dari balik pintu.
"Rani, ke ruangan saya sekarang."
Suaranya begitu dingin, membuat bulu kudukku berdiri. Kesalahan apa yang sudah aku perbuat hingga bosku terlihat marah seperti ini.
Setelah meletakkan tas di meja, aku segera memasuki ruangan Pak Alvin. Hawa dingin sudah menyambutku begitu memasuki ruangan. Bukan karena suhu dari alat pendingin, bukan. Namun, hawa dingin dari aura yang terpancar di wajah Pak Alvin.
Lelaki itu menatapku tajam dari mulai aku memasuki ruangannya hingga aku berdiri di depan mejanya.
"Duduk!" Perintahnya datar.
"I-iya, Pak."
"Sudah berapa lama kamu kerja di perusahaan ini?"
Aku seketika mendongak, berpikir sejenak kemudian menjawab pertanyaan pria ini.
"E-empat tahun, Pak," jawabku gugup.
"Sudah empat tahun, kan, harusnya kemampuanmu sudah sangat baik, tetapi kenapa kamu bisa seceroboh ini?"
Aku terkejut ketika sebuah map mendarat di meja tepat di depanku.
"Baca itu! Periksa! Cari tahu kesalahanmu dimana!?"
Pak Alvi terlihat sangat murka, tanpa berkata apapun lagi aku meraih map berwarna biru tersebut kemudian membacanya. Laporan keuangan yang sudah ku susun dan kuberikan pada Pak Alvin waktu itu. Ada satu baris yang dilingkari dengan tinta warna merah, dan setelah kuamati dengan seksama ternyata ada kesalahan penulisan angka pada laporanku.
Pantas saja Pak Alvin terlihat marah, ternyata aku sudah melakukan kesalahan saat membuat laporan itu.
"Ma-maaf, Pak, ini kesalahan saya." Aku mengakui kelalaian yang sudah aku lakukan.
"Sekarang cepat kamu revisi laporan ini, saya tunggu hari ini juga. Sekarang kamu boleh keluar, dan satu lagi kalau ada masalah tolong bersikaplah profesional."
Aku tertegun, bagaimana Pak Alvin tahu kalau akhir-akhir ini aku sedang ada masalah? Apa sikapku begitu kentara ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
maulana ya_manna
mamir thor
2022-10-26
0
Uthie
Mampir.. setelah lihat info judul ini dari cerita sebelah 👍🤗
2022-09-02
0