"Perempuan mana yang kamu maksud?"
"Sudahlah. Mas mengaku saja. Mas tidak pergi ke kantor, tapi di rumah Mila kan? Apa sebenarnya kalian sudah, …"
"Kamu bicara apa? Jangan membuatku bingung."
"Aku yang seharusnya bingung. Kenapa yang menjawab telepon tadi adalah perempuan. Apa dia Mila?"
"Kamu pasti salah dengar. Mas hanya sekali menjawab telepon dari rumah sakit ini. Mungkin kamu salah menekan nomor."
"Pendengaranku Alhamdulillah masih baik. Aku masih bisa membedakan mana suara laki-laki, mana suara perempuan," ujarku.
"Apa kamu tidak percaya lagi padaku?"
Aku diam saat mas Fabian tiba-tiba menatap lekat mataku. Netra kami pun bertemu. Apa ini hanya perasaanku saja? Sorot mata itu kini telah berubah.
"Aku-aku, …"
"Bagaimana keadaan ibu?" tanya mas Fabian.
"Ibu telah selesai dioperasi. Tapi, …"
"Tapi apa?"
"Selain mengalami patah tulang, ibu juga mengalami pecah selaput otak. Ibu mengalami stroke," ungkapku.
Suasana hening sejenak.
"Seandainya Mas tadi tidak terlalu lama memanggil mbok Darmi, mungkin ibu tidak akan terjatuh dari tempat tidur."
"Bagaimana ibu bisa jatuh? Apa kamu tidak benar-benar merawat ibu?"
"Mas! Apa kamu lupa, kita juga punya Lyra yang harus selalu diawasi 24 jam. Ibu jatuh saat aku menyusui Lyra di kamar."
"Jadi, kamu nyalahin aku kenapa ibu bisa jatuh?"
"Bagaimana aku tidak nyalahin Mas. Memanggil mbok Darmi saja dua jam lebih. Mas tadi pasti mengantar Mila ke rumahnya 'kan?"
"Mila lagi, Mila lagi. Aku sudah bilang rumah mbok Darmi jauh. Dan aku langsung pergi ke kantor setelah menjemputnya."
Kutatap lekat mata mas Fabian.
"Mas berubah sekarang," ucapku.
"Aku gak pernah berubah. Kamu lah yang terlalu posesif."
Tiba-tiba aku teringat Lyra. Air susuku di botol itu pasti telah habis. Kutahu, putriku cukup kuat menyusu.
"Aku pulang dulu, Mas. Takut Lyra rewel. Tolong jaga ibu baik-baik."
Mas Fabian tak menanggapi ucapanku. Namun aku tetap harus pulang. Bagaimana pun Lyra masih begitu memerlukanku.
Aku baru saja berlalu dari hadapan mas Fabian. Namun rasa mual itu kembali menyerangku. Mumpung aku di rumah sakit, mungkin sebaiknya aku memeriksakan diriku.
Kulangkahkan kakiku menuju sebuah ruangan bertuliskan dokter spesial penyakit organ dalam. Kurasa dokter di bagian inilah yang menjawab pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Kulihat ruang tunggu di depan ruangan itu terisi penuh oleh pasien. Pasti akan memakan waktu lama jika aku ikut mengantre. Lalu, bagaimana dengan Lyra? Bu Murni akan kewalahan menenangkan Lyra saat dia rewel karena kehausan. Aku pun terpaksa mengurungkan niatku. Aku akan kembali besok.
Aku beranjak meninggalkan tempat itu. Entah siapa yang kurang berhati-hati, aku tersentak kaget saat tiba-tiba aku bertabrakan dengan seorang yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Tepatnya poli kandungan.
"Astaghfirullah! Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja," ucapku.
"Tidak apa-apa, Mbak. Saya juga minta maaf."
Aku meraih buku bergambar ibu hamil yang terjatuh di atas lantai lalu memberikannya pada perempuan tersebut. Di saat itulah netra kami bersitatap.
"Masyaallah, Zura?"
Siapa perempuan ini? Bagaimana mungkin dia tahu namaku?
Kuamati penampilannya. Meskipun tengah berbadan dua, dia masih terlihat cantik dengan pakaian gamis syar'i nya.
"Maaf, Mbak ini siapa ya?" tanyaku.
Demi apapun aku tidak mengenalinya.
"Zura… ini aku…Vania."
Tunggu dulu. Seumur hidupku, aku hanya mengenal satu nama Vania. Dia adalah kawanku saat aku bekerja di sebuah klub malam. Jauh sebelum aku mengenal mas Fabian. Vania yang kukenal adalah seorang gadis yang sering berpakaian terbuka. Dia juga menjadi primadona di tempat klub malam itu. Apa dia Vania kawan lamaku? Kenapa penampilannya sekarang berubah drastis?
"Kamu tidak mengenaliku?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
"Masyaallah. Ini aku Vania yang dulu satu tempat kerja dengan kamu."
Aku hampir tak mempercayai ucapannya. Rupanya Vania yang kini berdiri di hadapanku benar kawan lamaku.
"Ya Allah, Vania?" Kami lantas saling berpelukan. Melepas kerinduan setelah lebih dari sepuluh tahun tidak berkabar dan bersua.
"Bagaimana kabarmu, Zura?" tanyanya.
"Alhamdulillah, Van. Kabarku baik."
"Oh ya, aku sudah mengganti namaku menjadi Fatimah."
"Nama yang indah," ujarku.
"Kamu sudah menikah 'kan Ra?" tanya Fatimah.
"Alhamdulillah. Aku juga sudah memiliki seorang anak. Namanya Lyra, usianya baru dua bulan."
"Penampilan kamu sekarang masyaallah Ra. Suamimu pasti pria alim yang pandai ilmu agama."
"Penampilanmu juga berubah drastis. Maaf jika aku sempat tidak mengenalimu," ucapku.
"Tidak apa. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan seorang pria yang menuntunku kembali ke jalan Nya."
"Berapa bulan usia kandunganmu?" tanyaku sembari mengusap lembut perut Fatimah.
"Alhamdulillah memasuki usia tujuh bulan. Oh ya, siapa yang sakit? Dan di mana Lyra?" tanya Fatimah.
"Ibu mertuaku. Beliau baru saja menjalani operasi patah tulang di punggungnya. Lyra kutitipkan pada tetanggaku. Sekarang mas Fabian yang menjaga ibu," jelasku.
Fatimah mengangguk paham.
"Maaf, aku harus pulang sekarang. Takut Lyra rewel," ucapku.
"Kamu catat nomor ponselmu dulu," ucap
Fatimah sembari menyodorkan ponselnya ke arahku. Aku pun lantas mencatat nomor ponselku di daftar kontaknya.
"Kita sambung lagi nanti lewat WA ya, Ra."
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
"Sayang, sudah periksa nya?"
Aku menoleh ke arah suara itu. Rupanya suami Fatimah baru saja kembali dari toilet. Alangkah terkejutnya aku saat memandang wajah pria itu.
Bersambung…
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, favorit, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Thebel Yanix
apa mantan zhurra ya
2022-08-15
1