Kemunculan ibu yang mendadak tentu saja mengejutkan kami. Bukankah Ibu ke makam? Kenapa sudah kembali?
"Zura bilang Ibu ke makam. Apa Ibu tidak jadi ke sana?" tanya mas Fabian.
"Kepala ibu mendadak pusing," jawabnya.
"Siapa wanita ini?" tanya ibu saat mendapati seorang wanita asing yang duduk di sofa ruang tamu.
"Ehm, dia-dia, …"
"Nama saya Karmila, Bu. Saya ca-ca- …"
"Karmila ini rekan kerjaku, Bu," potong mas Fabian.
Benar dugaanku. Mas Fabian belum ingin berterus-terang perihal keinginannya untuk menikah lagi. Apakah dia memang berniat menyembunyikan pernikahannya dengan Karmila?
Kurasa hal ini cukup beralasan. Ibu mertuaku sempat mengalami serangan jantung ketika mendapat kabar ayah mertuaku meninggal dunia akibat terjatuh di tempat kerjanya. Mungkin mas Fabian khawatir ibu mengalami hal yang sama jika mendengar kabar yang mengagetkannya.
"Oh." Ibu mengangguk paham.
"Kalau Ibu pusing, sebaiknya Ibu beristirahat."
Apa-apaan ini? Berani sekali Mila memanggil ibu mertuaku dengan sebutan ibu.
Aku berniat menemani ibu masuk ke dalam kamar. Namun tanpa diduga Mila beranjak dari tempat duduknya dan menggandeng tangan ibu lantas mengajaknya masuk ke dalam kamar.
"Aku sudah memberi obat sakit kepala untuk ibu. Kebetulan aku masih menyimpannya di dalam tasku," ucap Mila sesaat setelah keluar dari kamar tamu.
Setelah mengatakan jika dirinya telah jatuh cinta pada mas Fabian, kini dia berusaha mengambil hati ibu. Begitu, ya? Aku ikuti permainanmu, Mila.
"Mas lapar nggak?" tanya Mila dengan nada manja. Aku ingin muntah rasanya.
"Kebetulan pagi tadi aku hanya sarapan sedikit," jawab mas Fabian.
"Aku masakin buat Mas, ya?"
Tanpa anggukan kepala dari suamiku, wanita berwajah glowing itu tiba-tiba saja menerobos masuk ke ruang makan.
"Tunggu!" sergahku.
"Kenapa, Mbak?" tanyanya sok polos.
"Kamu itu tamu di rumah ini. Jadi jangan seenaknya masuk tanpa seizin tuan rumah."
"Tidak lama lagi aku akan menikah dengan mas Fabian. Rumah ini akan menjadi rumahku juga."
Deg! Kalimat itu seolah membuat jantungku berhenti berdetak. Apa aku siap jika aku harus benar-benar berbagi suami dengan Mila?
"Kenapa diam saja, Mbak?" tanyanya membuatku tersentak kaget.
"Kamu tidak perlu repot-repot memasak. Gulai ayam yang tadi kumasak masih tersisa cukup banyak. Aku hanya tinggal menghangatkannya saja," ujarku.
"Apa Mbak nggak tahu, masakan bersantan yang dihangatkan itu kurang baik bagi kesehatan karena mengandung kolesterol yang cukup tinggi."
Tiba-tiba Mila berceramah layaknya seorang praktisi kesehatan.
"Aku masak lagi aja deh. Gak apa-apa kan Mas?" tanyanya. Kulihat mas Fabian mengangguk setuju.
Ingin sekali rasanya menarik tangannya agar tak memasuki bagian favorit dari rumahku ini. Tapi aku terpaksa mengurungkan niatku ketika tiba-tiba terdengar suara tangisan Lyra. Setelah tertidur cukup lama, rupanya putri kecilku terbangun.
"Cantik banget dedek Lyra."
Aku hampir terperanjat saat kudengar suara itu di belakangku. Berani sekali dia memasuki kamar ini.
"Ngapain kamu di sini? Bukannya tadi pingin masak?" tanyaku.
"Aku mendengar suara Lyra menangis. Jadi aku belok ke sini."
"Hai, Lyra cantik," sapanya.
"Bukan begitu cara menyapanya," protesku.
Tiba-tiba tangis putriku mereda. Dia terkekeh saat Mila menutup wajahnya lalu membukanya kembali lebih tepatnya bermain ci luk ba.
"Panggil aku Ma…ma…" ucapnya.
Darah ini mendidih saat kudengar kalimat itu meluncur dari bibir Mila.
"Jangan ngajari anakku yang enggak-enggak!" bentakku.
"Loh kenapa, Mbak? Kalau aku sudah menikah dengan mas Fabian, secara tidak langsung aku akan menjadi ibu sambung Lyra. Bukan begitu, Mas?"
Aku menoleh kearah pintu. Rupanya mas Fabian telah berdiri di sana. Mas Fabian tak menggeleng, tak juga mengangguk.
Aku mengangkat tubuh Lyra dari ranjang lalu memangkunya dan bersiap memberikan ASI untuknya.
"Dih, baru punya anak satu aja kok udah kendor gitu?" ucap Mila saat melihat Lyra mulai menyesap daging kenyal di bagian dadaku itu.
Aku membuang nafas. Belum menikah dengan mas Fabian saja sudah membuatku kesal begini. Bagaimana kalau nanti aku benar-benar harus tinggal satu atap dengannya?
Merasa tidak nyaman dengan ucapannya, aku pun menutup bagian dadaku dengan hijabku.
"Ayo Mas, bantuin aku memasak di dapur," rengeknya lagi-lagi dengan suara manja yang dibuat-buat.
"Maaf, ada beberapa pekerjaan kantor yang harus segera kuselesaikan." Aku tersenyum senang saat mas Fabian menolak ajakannya.
"Ayolah, sebentar saja. Aku gak berani di dapur sendirian."
"Mila ini manja atau sengaja ingin menarik perhatian mas Fabian sih sebenarnya?" gerutuku sebal.
Entah mengapa hatiku tiba-tiba terasa panas saat melihat mereka berjalan beriringan menuju dapur. Bagaimana jika mereka bermesraan di dapur? Atau bahkan…
Sungguh, saat ini aku tengah berusaha menepis pikiran buruk tentang mereka.
Aku memandang wajah Lyra lalu kutempelkan punggung tanganku di dahinya. Alhamdulillah, panasnya sudah turun.
Tiba-tiba terdengar suara cekikikan dari arah dapur. Suara siapa lagi jika bukan suara mas Fabian dan Mila?
Astaghfirullah. Baru segini saja kepalaku rasanya mau meledak. Lalu, bagaimana jika aku harus melihat kemesraan mereka di depan mata?
Aku mengambil selendang lalu menggendong Lyra. Tidak tahan lagi rasanya mendengar suara itu. Aku pun beranjak dari kamar dan berjalan perlahan menuju dapur.
Aku tahu sekarang apa yang membuat mereka tertawa cekikikan.
Kulihat Karmila tengah mencuci terong.
"Mas, lebih besar terong ini atau punyamu?" guraunya.
"Kan kamu sudah tahu, Dek,"
Mas Fabian terkekeh.
Apa yang kudengar barusan? Apa maksud mas ucapan mas Fabian jika Mila sudah tahu 'terong' miliknya?
Apakah mereka… Astaghfirullah.
Aku mencoba mengatur degup jantungku yang tidak beraturan.
"Mbak Zura, …"
Rupanya Mila menyadari kehadiranku. Keduanya pun lekas menjaga jarak.
"Ma-ma-af. Aku harus ke ruang kerjaku." Mas Fabian beranjak dari meja dapur dan berjalan menuju ruang kerjanya.
"Mas Fabian suka sambal terong gak Mbak?" tanya Mila.
Sebenarnya aku enggan menjawab pertanyaan itu. Tapi tidak ada gunanya juga aku berbohong. Aku pun akhirnya menganggukkan kepala.
"Pedasnya sedikit atau banyak, Mbak?" tanyanya lagi.
"Fabian dari kecil tidak menyukai makan yang terlalu pedas," ucap ibu yang tiba-tiba muncul di ruang dapur.
"Ibu sudah bangun?" tanyaku.
"Setelah minum obat dari nak Mila, kepala ibu mendingan. Ibu sekarang merasa lapar."
"Kebetulan aku sedang memasak. Aku hanya tinggal membuat sambalnya."
Kulihat Mila baru saja meniriskan terong yang baru saja digorengnya.
"Ibu makan masakan Azzura saja."
Senyum tersungging di bibirku saat mendengar kalimat itu. Ibu lebih memilih masakanku daripada masakan Mila.
"Biar aku hangatkan lagi gulai ayamnya," ucapku.
"Sini Lyra sama nenek," ucap ibu sembari mengambil alih Lyra dari gendonganku.
Ibu beranjak dari ruang dapur. Ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara empat mata dengan Mila. Apa sebenarnya maksud obrolan yang tadi sempat kudengar di ruangan ini.
"Mila, …"
"Ya, Mbak."
Mila meletakkan bawang yang tengah dikupasnya lalu mengalihkan pandangannya padaku.
"Sejauh apa hubunganmu dengan mas Fabian?" tanyaku penuh selidik.
Bersambung...
Ditunggu dukungannya ya…. Pembaca setiaku..
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
rupanya hubungan nya sdh saling lihat lihat an kepunyaan masing masing
2022-08-18
1
RATNA RACHMAN
bikin kesel nih dua orang
2022-08-17
1