"Maaf, Mbok. Kalau saya boleh tahu, bagaimana ciri-ciri perempuan yang bersama suami saya?" tanyaku penasaran.
"Kulitnya putih dan rambutnya agak merah. Dia memakai baju warna kuning," jawab mbok Darmi.
Tidak salah lagi, perempuan yang dimaksud mbok Darmi pastilah Karmila.
"Mbok Darmi diantar mas Fabian pakai mobil 'kan?" tanyaku lagi.
"Nggak, Mbak. Saya naik angkutan umum. Nak Bian sudah memberi ongkos memijit sekaligus biaya transport buat saya."
Sekarang jelas sudah. Mbok Darmi terlambat datang ke rumah ini karena mas Fabian lebih memilih mengantarkan Mila dan membiarkan mbok Darmi naik angkutan umum. Tega kamu, Mas.
"Jadi perempuan itu siapa, Mbak?" tanya mbok Darmi. Sepertinya beliau begitu penasaran dengan Mila.
"Dia-dia adik saya, Mbok," jawabku.
Saat ini ai memang merasa kesal pada mas Fabian. Tapi aku tak ingin mengumbar aib suamiku pada siapapun. Bukankah istri adalah pakaian suami? Begitupun sebaliknya.
"Mari ikut saya, Mbok."
Aku menutup pintu depan lalu mengajak mbok Darmi masuk ke dalam kamar tamu.
"Ibu Kinanti kenapa?" tanya mbok Darmi.
"Ibu saya jatuh dan mengeluh sakit pada bagian punggungnya," jelasku.
Perlahan tangan mbok Darmi mulai meraba bagian punggung ibu. Namun, beliau justru mengatakan sesuatu yang begitu mengejutkan.
"Maaf, Bu. Saya tidak bisa memijit ibu Kinanti."
"Loh? Kenapa, Mbok?"
"Setelah saya periksa bagian tulang punggungnya, saya rasa tulang punggung beliau patah. Saya tidak mau mengambil resiko sebab keahlian saya bukan memijit patah tulang," jelasnya.
"Astaghfirullah!" seruku.
"Mungkin lebih baik Mbak Zura membawa ibu Kinanti ke rumah sakit. Ini saya kembalikan."
Mbok Darmi mengambil dua lembar uang pecahan seratus ribu dari dalam lipatan kain jariknya lalu memberikannya padaku.
"Apa ini, Mbok?"
"Uang itu dari nak Fabian. Saya kembalikan lagi karena saya batal memijit."
"Tidak apa-apa, Mbok. Ambil saja uang itu. Anggap saja rejeki untuk keluarga Mbok."
"Tapi, Mbak, …"
"Ambil saja, itu rejeki Mbok."
Aku menyelipkan uang itu di tangan kanannya.
"Matur nuwun*, Mbak Azzura. Semoga keluarga Mbak selalu bahagia dan dimurahkan rejekinya."
*Terima kasih dalam bahasa jawa
Bahagia? Apakah setelah hari ini keluargaku akan baik-baik saja?
"Saya permisi dulu, Mbak. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam salam. Hati-hati, Mbok."
Mbok Darmi beranjak dari kamar tamu. Aku pun lantas mengantarkannya hingga teras.
"Ibu harus secepatnya dibawa ke dokter," ucapku. Tiba-tiba ibu meraih tanganku dan menatap lekat mataku. Beliau menggelengkan kepalanya yang kuyakini adalah sebuah isyarat jika dia melarangku membawanya ke rumah sakit.
"Tidak apa, Bu. Aku ingin Ibu lekas sembuh."
Raut wajahku berubah panik saat tiba-tiba ibu memegangi punggungnya. Beliau terlihat begitu kesakitan.
"Punggung Ibu sakit lagi?" tanyaku.
Beliau menganggukkan kepala.
Aku tidak boleh menunda lagi. Ibu harus dibawa ke rumah sakit sekarang.
Aku beranjak dari kamar tamu dan melangkah menuju kamarku. Lekas kuambil ponselku dan kuhubungi nomor mas Fabian. Nada sambung memang terdengar, namun dia mengabaikan panggilanku. Aku terus mencoba menghubunginya hingga tiba-tiba ponselku mati. Belakangan ini ponselku sering mati mendadak. Kurasa ponselku sudah mulai rusak. Pun aku belum berpikir sama sekali untuk membeli ponsel baru. Masih banyak keperluan yang lebih penting daripada membeli gawai.
Aku bergegas menghubungkan pengisi daya pada soket ponselku. Kutunggu beberapa saat hingga ponselku kembali menyala. Kucoba lagi menghubungi nomor suamiku. Alhamdulillah, kali ini dia menjawab panggilanku.
[Assalamu'alaikum, Mas. Ibu…Ibu…kesakitan. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit]
[Waalaikumsalam. Mas lagi rapat. Nanti mas hubungi lagi]
Klik. Panggilan terputus.
Astaghfirullah. Apakah pekerjaanmu lebih penting dari ibu, Mas?
Tiba-tiba kudengar Lyra menangis. Sepertinya aku sudah terlalu lama meninggalkannya. Akupun bergegas mengambil kain dan menggendongnya.
Aku harus segera mencari bantuan agar ibu lekas dibawa ke rumah sakit.
Aku melangkah keluar dari rumahku. Rumah pertama yang kutuju adalah rumah pak Hasan yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahku.
"Assalamu'alaikum, Pak Hasan," sapaku dari depan pintu yang terbuka cukup lebar itu.
"Waalaikumsalam. Eh, Mbak Zura. Ada apa, Mbak?" Kelihatannya kok kebingungan begitu."
Wanita paruh baya itu bernama bu Murni. Beliau adalah istri pak Hasan.
"Saya-saya ingin minta tolong, Bu."
"Minta tolong apa, Mbak?"
"Apa pak Hasan masih di rumah, Bu? Ibu saya harus segera dibawa ke rumah sakit. Dari tadi kesakitan," jelasku.
"Sayang sekali, bapak baru sepuluh menit yang lalu berangkat mengajar," ucap Bu Murni yang sontak membuatku semakin kebingungan. Setahuku di komplek perumahan ini hanya ada beberapa orang yang memiliki mobil. Salah satunya pak Hasan.
"Coba Mbak Zura ke rumah pak Burhan saja. Semoga beliau ada di rumah. Sini Lyra biar sama saya dulu."
"Maaf, merepotkan."
"Nggak kok Mbak. Kebetulan saya sudah selesai memasak dan beres-beres," ucap bu Murni sembari mengambil alih Lyra dari gendonganku.
"Saya titip Lyra ya, Bu."
Aku beranjak dari tempat itu dan bergegas menuju rumah pak Burhan yang cukup disegani di lingkungan tempat tinggalku.
Aku bernafas lega karena aku melihat beliau tengah membersihkan mobil di halaman rumahnya.
"Assalamu'alaikum, Pak Burhan," sapaku.
"Waalaikumsalam. Mbak Zura. Ada apa pagi-pagi begini ke rumah saya?"
"Ehm… saya-saya ingin meminta tolong. Ibu saya dari tadi kesakitan. Saya harus segera membawa beliau ke rumah sakit. Satpap sudah mencoba menghubungi mas Bian tapi sepertinya dia sedang sibuk," jelasku.
"Jadi dari kemarin ibu Kinanti belum dibawa berobat?" Pria berjambang itu menggeleng heran.
"Mas Fabian Ingin ibu dipijit dulu. Tapi, setelah tukang pijit mengatakan jika beliau tidak berani memijit lantaran tulang belakang ibu patah. Tadi ibu sempat terjatuh dari tempat tidur," jelasku.
"Ehm, bagaimana ya? Hari ini saya harus pergi ke undangan pernikahan saudara saya." Kulihat raut wajah pak Burhan begitu kebingungan.
"Sudah selesai, Pak. Cuci mobilnya?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Dia terlihat mengenakan gamis lengkap dengan hijab berwarna senada. Beberapa buah gelang emas berukuran besar pun tampak melingkar di pergelangan tangannya.
"Eh, Mbak Zura," sapa wanita bernama bu Arum itu. Aku mengangguk sopan.
"Ibu berangkat sendirian gak apa-apa ya?" tanya pak Burhan.
"Loh. Kenapa, Pak?" Bu Arum balik bertanya.
"Mbak Zura datang ke sini untuk meminta bantuan bapak. Ibu Kinanti sakit dan harus segera dibawa ke rumah sakit."
"Jadi, Bapak lebih memilih mengantar ibu Kinanti daripada menghadiri akad nikah keponakan ibu?"
"Bukan begitu, Bu. Bapak minta pengertian Ibu. Ini urusan keselamatan bu Kinanti. Jangan sampai hal yang buruk terjadi lantaran beliau terlambat mendapatkan pertolongan. Setelah mengantar ibu Kinanti ke rumah sakit, bapak pasti akan menyusul Ibu ke sana," ucap pak Burhan.
"Memangnya kemana suami Mbak Zura?" tanya Bu Arum.
"Suami saya sudah berangkat ke kantor, Bu. Saya sudah mencoba menghubunginya tapi mas Bian sedang rapat."
"Apa Mbak Zura yakin mas Bian benar-benar di kantor?" tanya bu Arum.
"Maksud Ibu apa ya?" tanyaku. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang.
Bersambung….
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, favorit, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
ronadi haqqi
minta cerai saja
2023-02-06
0
Suhaetieteetie
gregetan bngt sama biian kenapa bukan bawa ibuny kerumah sakit nanti dah g ada nyesel g ya anakny
2022-08-14
0
mbok Darmi
suami macam bian kl aku udah kutendang mending cerai dr pd dibodohi dan di selingkuhi ogah bgt, kak author hbs ini bikin bian menyesal dan kena batunya jgn cuma zura aja yg menderita
2022-08-13
5