Keesokan paginya.
Aku dan mas Fabian duduk berhadapan di meja makan. Tak ada suara selain piring dan sendok yang saling beradu.
"Hari ini mas akan memperkenalkan Karmila padamu, Dik," ucap mas Fabian memecah keheningan.
Kalimat itu tentu saja terdengar begitu menyakitkan bagiku. Setelah obrolan kami semalam dan aku menegaskan jika aku tidak mengizinkannya menikah lagi, rupanya mas Fabian tidak menghiraukan ucapanku. Apakah dia akan tetap menikahi Karmila meski tanpa persetujuanku?
"Mas janji padamu, mas akan bersikap adil pada kalian." Mas Fabian mengulangi ucapannya semalam.
Aku memberanikan diri menatap pria pemilik mata teduh itu.
"Jika Mas ingin tetap menikahi Karmila, lebih baik kita berpisah," ucapku dengan suara bergetar.
"Mas mencintaimu, Dik. Sampai kapanpun mas tidak akan pernah melepaskanmu." Tiba-tiba pria yang telah memberikanku seorang putri itu beranjak dari tempat duduknya. Dia lantas merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya.
Aku dan mas Fabian sudah menikah lebih dari sepuluh tahun. Aku berpikir kehadiran Lyra akan semakin membuat pernikahan kami semakin kuat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dua bulan setelah aku melahirkan malaikat keciku itu, tiba-tiba mas Fabian mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi.
"Mas minta maaf, Dik. Ini mungkin akan melukaimu. Tapi mas harus menjalankan wasiat suami Karmila," ujarnya.
"Aku tidak ingin ada orang ke tiga dalam pernikahan kita," ucapku.
"Jika Mas tetap ingin menikah, aku dan Lyra akan pergi meninggalkan rumah ini," ancamku meskipun aku tak memiliki tempat tinggal lain selain rumah ini.
"Memangnya kamu mau tinggal di mana? Mas tahu kamu tidak memiliki tempat tinggal ataupun keluarga lagi."
"Kami bisa tinggal di manapun. Di jalanan mungkin, atau di bawah kolong jembatan sekalipun." Ada rasa perih saat kalimat itu meluncur dari bibirku.
Mas Fabian mengeratkan pelukannya. Aku tahu, dia mulai menangis.
"Jangan lakukan itu, Dik," ucapnya parau.
"Mas hanya tinggal memilih. Aku dan Lyra atau Karmila!" tegasku.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Lyra dari arah kamarku kami. Aku menepis perlahan tangannya dari tubuhku.
"Lyra bangun," ucapku sembari beranjak dari kursi lalu melangkahkan kakiku menuju kamar. Rupanya mas Fabian menyusulku ke dalam kamar.
"Assalamualaikum, solehah nya ayah," sapanya pada putri kecil kami.
Lyra terkekeh seolah membalas sapaan ayah kandungnya itu.
"Biar mas yang memandikan Lyra," ucap mas Fabian.
"Sudah jam tujuh lewat. Sebaiknya Mas bersiap berangkat ke kantor," ucapku sembari membopong tubuh mungil itu.
"Hari ini mas cuti kerja. Bukankah tadi mas sudah mengatakan ingin mengajak Karmila ke rumah ini?"
"Jadi, Mas akan tetap menikahi wanita itu?" Aku meninggikan volume suaraku dari sebelumnya.
Mas Fabian menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Jika memang itu keputusan Mas. Hari ini juga aku dan Lyra akan meninggalkan rumah ini." Aku membopong tubuh Lyra lalu mengajaknya menuju kamar mandi.
"Berdosa hukumnya seorang suami yang meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya!"
Lagi-lagi mas Fabian menggunakan dalil untuk membenarkan tindakannya.
"Wanita mana yang rela jika suaminya menikah lagi?"
Aku menggendong Lyra dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah memandikannya, akupun kembali ke dalam kamar untuk memakaikannya baju.
"Biar mas saja yang memakaikan bajunya."
Kali ini aku membiarkan saja saat mas Fabian memakaikan baju untuk putri kecil kami. Aku pun bergegas mengambil tas berukuran besar dari dalam lemari dan memindahkan sebagian baju-bajuku dan baju Lyra ke dalam tas tersebut.
"Kamu mau ke mana, Dik?"
"Lebih baik aku pergi dari rumah ini daripada harus bertemu dengan wanita itu."
"Mas tidak mengizinkanmu pergi."
"Maaf, Mas. Kali ini aku harus membantahmu."
Aku menutup resleting tas yang kini telah berisi penuh pakaianku dan pakaian Lyra dan bersiap menggendongnya. Namun, aku tersentak kaget saat tanganku bersentuhan dengan tubuhnya.
"Astaghfirullah! Badan kamu panas sekali, Nak."
Mas Fabian pun lantas menempelkan tangannya di dahi putri kami.
"Sepertinya Lyra demam. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit," ucapnya.
Tanpa membuang waktu lagi mas Fabian bergegas membopong tubuh Lyra. Kami pun beranjak dari kamar dan menuju mobil milik mas Fabian yang terparkir di halaman rumah kami.
Mobil itu belum genap sebulan menjadi kendaraan pribadi mas Fabian. Semenjak jabatannya di kantor naik dari karyawan biasa menjadi manager pemasaran, entah mengapa gaya hidup suamiku pun seolah berubah. Dulunya dia tak pernah keberatan jika setiap hari harus mengendarai sepeda motor bekas milikku yang pernah kupakai beberapa tahun untuk bekerja sebelum aku memutuskan resign dari pekerjaanku karena aku hamil setelah penantian panjang kami.
Aku baru saja membuka handle pintu ketika tiba-tiba seseorang muncul di hadapan kami.
"Kalian mau kemana?" tanyanya.
Wanita berusia lebih dari setengah abad itu bernama Kinanti, beliau adalah ibu mertuaku.
"Lyra demam. Kami ingin membawa Lyra ke rumah sakit, Bu," jawabku.
Meskipun hanya menantu, aku merasa ibu mertuaku memperlakukanku begitu baik selayaknya putri kandungnya sendiri. Apalagi semenjak kehadiran Lyra. Kasih sayang beliau seolah bertambah padaku.
"Ibu ikut kalian," ucapnya.
Aku mengangguk setuju.
Jarak dari rumah kami menuju rumah sakit tidak begitu jauh. Lima belas menit kemudian kami pun tiba di sana.
"Tolong putri kami, Dokter. Dia mendadak panas tinggi," ucap mas Fabian. Aku dapat menangkap kekhawatiran di sorot matanya.
"Mari ikut saya."
Dokter itu pun lantas masuk ke dalam sebuah ruangan. Sementara kami mengikuti di belakangnya.
"Bagaimana keadaan putri kami, Dokter?" tanyaku pada dokter sesaat setelah memeriksa Lyra.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Putri Nyonya hanya mengalami demam biasa. Saya sudah memberinya obat penurun panas. Semoga panasnya segera turun," jelasnya.
"Syukurlah," ucapku dan ibu mertuaku bersamaan.
"Apa cucu saya harus dirawat inap, Dokter?"
"Tidak perlu, Nyonya. Setelah membayar biaya pengobatan, pasien bisa langsung pulang."
Kami pun mengangguk paham.
Setelah membayar biaya berobat, kami pun meninggalkan ruangan tersebut.
Mas Fabian memintaku menggendong Lyra ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
"Pasti wanita itu yang menelponnya," gumamku.
Benar saja. Mas Fabian menjauh beberapa langkah dari kami seolah tak ingin kami mendengar obrolan mereka.
Sesampainya di rumah.
"Hari ini ibu ingin menginap di rumah kalian," ucap ibu.
Tentu saja aku merasa senang. Rasanya mas Fabian tidak akan tidak akan berani mengajak Karmila bertemu dengan ibunya.
"Ibu kangen dengan Lyra," imbuhnya yang kutanggapi dengan senyuman.
Kulihat mas Fabian keluar dari kamar. Dia tampak menelpon seseorang.
"Pasti Karmila," gumamku lagi.
"Mas pergi dulu," ucapnya.
"Sebaiknya kau di rumah saja. Bukankah putrimu sedang kurang sehat?" ucap ibu.
"Ada urusan yang harus segera kuselesaikan, Bu."
Mas Fabian pun lantas meninggalkan rumah.
"Ibu harap hubungan pernikahan kalian semakin erat setelah kehadiran Lyra," ucap ibu mertuaku sesaat setelah mas Fabian berlalu. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan beliau.
Apakah aku harus menceritakan tentang rencana mas Fabian yang ingin menikah lagi? Atau aku harus berpura-pura jika pernikahan kami baik-baik saja?
Bersambung….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Osie
nih ibu mertua hrs tau apa yg dilakukan anak laki nya..ayo jgn ada yg ditutupi
2022-08-10
2