"Mbak ini bicara apa?"
Karmila terkekeh meskipun aku dapat menangkap kebingungan di raut wajahnya.
"Aku mendengar obrolan kalian tadi."
"Obrolan yang mana, Mbak?" Kami tidak membicarakan apapun di ruangan ini," bantah Mila.
"Apa maksud kalian bercanda dengan kata terong?"
Kulihat mata Mila membulat. Pun dia menutupi kebingungannya dengan kembali terkekeh.
"Owalah, itu toh. Aku dan mas Fabian hanya bercanda, Mbak. Jangan dimasukkan ke hati."
Mila kembali terkekeh. Ia lantas mengambil kembali pisaunya dan kembali mengupas bawang putih yang akan digunakannya untuk membuat sambal.
"Mila! Aku serius!"
Saking kesalnya melihat Mila yang sedari tadi cengengesan, tidak sadar salah satu tanganku menggebrak meja dapur hingga terdengar oleh ibu mertuaku yang berada di ruang tengah.
"Astaghfirullah! Suara apa itu?"
Ibu kini telah berdiri di tengah pintu dapur dengan tatapan heran.
"Ti-ti-tidak apa, Bu. Panci penggorengannya tadi nyaris terjatuh. Aku mencoba menahannya," jawabku sebisanya.
"Nak Mila sudah menikah?" tanya ibu.
Mila menggelengkan kepalanya.
"Sudah lama juga bekerja di kantor MM?"
Tentu saja Mila kebingungan menjawab pertanyaan itu.
"Mila lebih dulu bekerja di kantor, Bu," ucap mas Fabian yang tiba-tiba saja muncul di ruang dapur.
"Nak Mila ini pintar merawat tubuh, dia juga rajin. Sungguh beruntung pria yang menjadi suaminya kelak."
Seandainya ibu tahu, wanita yang disanjungnya ini adalah calon istri ke dua mas Fabian. Apa ibu mau menerimanya?
"I-i-iya, Bu."
"Mana makanannya? Aku sudah lapar," ucap mas Fabian.
Jadi, mas Fabian lebih memilih sambal terong buatan Mila dibandingkan opor ayam buatanku yang dia bilang tidak ada tandingannya itu?
"Ehm, sebentar lagi selesai, Mas. Aku hanya tinggal mengulek sambalnya."
Dengan lincah Mila mulai menghaluskan campuran tomat, cabai, dan duo bawang di dalam cobek. Tak lupa dia juga menambahkan terasi di dalamnya.
Beberapa saat kemudian masakan Mila pun siap. Dia lantas menghidangkan masakannya di atas meja makan.
"Bagaimana masakanku, Mas?" tanya Mila sesaat setelah mas Fabian memasukkan sesendok makanan itu ke dalam mulutnya.
Mas Fabian tak berkata apapun selain mengacungkan jari jempol kirinya. Sementara kanan tangannya ia gunakan untuk menyantap makanan. Dia tampak brgitu lahap menikmati santap siangnya.
Sejak awal menikah mas Fabian memang lebih sering makan menggunakan tangan langsung dibandingkan menggunakan sendok. Sunnah nabi katanya.
Selezat itukah masakan Mila? Hingga mas Fabian tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari piringnya.
"Mbak mau coba juga?" Mila mengangkat mangkuk berisi terong goreng hendak menyodorkan ke arahku. Tentu saja aku menolaknya.
"Aku tidak suka sambal," ucapku.
"Kamu selalu bilang masakan Zura tiada duanya. Kenapa kamu memuji masakan nak Mila?" protes ibu.
"Ehm… maksudku masakan mereka berdua lezat."
Tiba-tiba Lyra yang berada di gendonganku menangis.
"Mungkin Lyra haus, Nduk," ucap Ibu.
"Lyra baru saja menyusu kok Bu."
"Sini biar kugendong. Mungkin dia bosan."
Bosan? Tahu apa kamu tentang mengasuh anak kecil? Menikah saja belum.
Meskipun agak keberatan, aku membiarkan Mila mengambil alih Lyra dari gendonganku. Tanpa kuduga, putri kecilku pun terdiam.
"Bener kan? Dia pasti dia bosan digendong ibunya.."
"Sepertinya Lyra nyaman di gendongan nak Mila," ujar ibu.
"Aku memang menyukai anak kecil, Bu."
Kamu jangan ke Ge eR an deh. Pasti hanya kebetulan saja Lyra diam saja kamu menggendongnya. Astaghfirullah. Semenjak kedatangan Mila di rumah ini, aku tak henti menggerutu dan berpikiran buruk tentangnya. Ampuni aku, ya Allah.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari langit. Cuaca yang tadinya cerah kini berubah mendung.
"Sepertinya mau hujan. Biar ibu angkat jemuranmu." Ibu beranjak dari tempat duduknya namun, Mila melarangnya. Aku paham betul, dia pasti sedang berusaha mengambil hati ibu mertuaku.
"Ibu duduk di sini saja, biar aku yang mengangkat jemuran mbak Zura," ucapnya. Dia lantas mengembalikan Lyra padaku.
"Mas! Mas Fabian! Bantuin dong. Aku kerepotan bawa jemuran sebanyak ini!" teriak Mira dari arah halaman rumah.
Manja banget dia. Waktu jemurannya basah saja aku nggak mengeluh tuh mengangkatnya.
Mas Fabian pun hendak beranjak meninggalkan meja makan. Kali ini aku yang menahannya. Aku justru memindahkan Lyra ke dalam pangkuannya dan keluar menghampiri Mila.
"Mana mas Fabian? Kok Mbak yang keluar?" protesnya saat melihatku tiba-tiba berdiri di hadapannya.
Aku enggan menanggapi ucapannya. Yang kulakukan aku justru mengambil alih keranjang berisi pakaian kering dari tangannya lalu membawanya masuk ke dalam rumah.
"Ngangkat segini saja gak kuat!"
Meskipun pelan, aku yakin Mila mendengarnya.
"Aku pulang sekarang saja. Sebentar lagi pasti hujan."
Sumpah demi apapun ini yang kuinginkan sedari tadi.
"Kamu bisa naik taksi 'kan?" tanyaku.
"Gak bisa gitu dong. Tadi kan aku datang bareng mas Fabian. Aku juga harus pulang diantar dia."
"Biar diantar Fabian aja, Nduk. Kasihan kalau dia lagi nunggu taksi tiba-tiba hujan." Ibu menimpali.
Baru saja kata hujan meluncur dari mulut ibu, tiba-tiba hujan turun begitu deras.
"Nak Mila tunggu sampai hujannya reda dulu," ucap ibu.
Aku sudah merasa lega ketika Mila pamit akan pulang. Kenapa tiba-tiba harus turun hujan? Apa tidak bisa nanti saja hujannya, Tuhan? Bagaimana jika hujan tidak reda hingga sore hari. Atau bahkan sampai malam?
"Lyra sudah tidur. Mas tidurkan dia di kamar dulu," ucap mas Fabian. Dia meninggalkan meja makan lalu masuk ke dalam kamar kami.
"Aku ke kamar dulu," ucapku pada ibu.
Kupikir ini adalah kesempatan untuk bicara empat mata perihal obrolannya dengan Mila di dapur tadi.
Aku sedikit kecewa. Sesampainya di kamar aku mendapati mas Fabian sudah terlelap di samping Lyra.
Diam-diam aku mengamati wajahnya.
Pria yang tak hanya tampan. Dia penyayang, penyabar, juga pekerja keras. Setelah masa-masa sulit yang telah berhasil kami lalui sepuluh tahun belakangan, mengapa kini aku merasa kapal ini mulai goyah?
Tanpa kusadari buliran hangat itu tiba-tiba menetes dari sudut mataku.
"Kamu kenapa, Dek?"
Aku tersentak kaget. Rupanya mas Fabian tidak benar-benar tidur. Lekas kuseka air mataku sebelum mas Fabian melihatnya.
"Aku-aku gak bisa, Mas. Aku gak bisa."
"Apanya yang gak bisa?"
"Aku gak bisa berbagi cinta dengan Mila."
Buliran bening itu kini mengalir deras membasahi pipiku.
"Dek, mengertilah. Mas melakukan ini bukan semata karena nafsu. Mas menjalankan amanat dari seseorang. Kamu tahu kan? Amanat adalah tanggung jawab?"
"Apa Mas dan Mila pernah melakukan sesuatu yang dilarang agama?" tanyaku penuh selidik.
"Apa maksudmu, Dek?"
Kulihat kedua alis mas Fabian bertaut.
"Aku tidak sengaja mendengar obrolan kalian saat di dapur tadi."
"Owalah. Kami cuma bercanda kok. Jangan dimasukkan ke hati."
Jawaban itu persis dengan yang kudengar dari mulut Mila.
"Jadi, kenapa Mas bilang Mila sudah tahu terong ehm, …"
"Mas hanya bercanda. Maksud mas, kita kan sudah punya Lyra, jadi dia pasti tahu apa yang mas maksud."
Meskipun alasan itu cukup masuk akal, tetap saja aku tidak suka mas Fabian dan Mila membicarakan benda itu.
"Sini, mas kelonin. Di luar hujan deras. Pasti anget kalau kita, …"
"Maaf, Mas. Bukannya aku menolak. Aku gak enak sama ibu jika sore-sore begini kita berduaan di dalam kamar."
Aku tahu mas Fabian kecewa berat. Dia membalikkan badannya lalu memeluk tubuh mungil Lyra yang masih terlelap.
Aku memandang ke arah luar.
Ternyata kekhawatiranku benar terjadi. Sudah hampir Maghrib, namun hujan tak kunjung reda. Apakah Mila harus menginap di rumah ini karena tertahan oleh hujan?
Bersambung…
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Imma Dealova
makasih kakak udah mampir.. Ditunggu kejutannya ya🥰
2022-08-18
1
Hanipah Fitri
cerita seperti ini memang menguras emosi tapi aku suka membacanya, karna ngeri ngeri sedap
2022-08-18
1