"Itu tas siapa, Nduk?" tanyanya saat mendapati tas berukuran cukup besar yang berada di dekat lemari pakaianku.
"Ehm, aku-aku sedang mengumpulkan baju-bajuku yang sudah tak terpakai agar tak membuat sesak lemari," jawabku sedikit panik. Aku tidak mungkin mengatakan jika aku berniat meninggalkan rumah ini.
Kulihat Lyra tertidur pulas di atas ranjang. Aku pun memutuskan keluar dari kamarku untuk mulai membereskan rumah.
"Kamu masak apa, Nduk?" tanya ibu mertuaku saat aku membereskan meja makan yang tadi kutinggalkan begitu saja.
"Opor ayam, Bu."
"Alhamdulillah. Semenjak Fabian naik jabatan kehidupan kalian semakin membaik. Ibu juga senang kalian sekarang punya mobil. Kita tidak akan kepanasan ataupun kehujanan bila bepergian," ujar ibu.
"Alhamdulillah, Bu."
Setelah membersihkan meja makan, aku pun menuju dapur. Meskipun hanya memasak opor ayam, tetap saja ruangan itu terlihat berantakan.
Aku menghidupkan kran air dan mulai mencuci perabot dapur sekaligus piring bekas sarapan kami pagi tadi.
"Gaji Fabian sudah besar sekarang. Kenapa kamu tidak membayar gaji pembantu saja? Paling tidak dia bisa membantumu mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mengurus Lyra." Ibu menarik kursi yang berada di dapur lalu mendudukinya.
"Aku masih sanggup mengurus Lyra dan pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Lagipula ehm…"
"Kenapa, Nduk?"
"Sayang uangnya. Lebih baik kutabung untuk biaya pendidikan Lyra nanti."
Aku membuat alasan yang dirasa masuk akal. Beruntung beliau mengangguk paham.
"Jika Ibu lelah, Ibu bisa beristirahat di kamar tamu. Meski jarang ditempati, aku rajin membersihkannya. Kemarin aku juga baru me loundry bed covernya."
Aku mematikan kran air lalu mengeringkan tanganku dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel.
"Hari ini ibu berencana mengunjungi makam Amira," ucap ibu.
"Apa tidak sebaiknya menunggu mas Fabian pulang? Aku sebenarnya mau saja menemani Ibu. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Lyra sendirian di rumah."
"Tidak apa, Nduk. Jarak dari rumah ini menuju makam tidak begitu jauh. Ibu hanya perlu menaiki taksi tidak lebih dari sepuluh menit."
Entah mengapa rasa khawatir tiba-tiba menyerang. Meski masih terlihat gesit, tetap saja hati ini tidak tenang membiarkan wanita yang begitu kuhormati itu pergi seorang diri.
Amira adalah satu-satunya adik perempuan mas Fabian. Gadis yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dariku itu meninggal dunia dua tahun lalu setelah ditabrak seorang pengendara mobil. Parahnya, pengendara mobil sedan itu justru melarikan diri setelahnya. Namun, Amira masih sempat menyebut delapan angka plat nomor kendaraan itu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya saat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ibu mertuaku pun mencatat plat nomor tersebut di sepotong kertas lalu menyimpannya di dalam dompetnya hingga kini.
"Ibu tunggu mas Fabian pulang saja. Daripada naik taksi," ucapku.
"Tidak apa, Nduk. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ibu. Ibu sudah terbiasa pergi kemanapun sendirian," ujarnya.
Kuakui, ibu mertuaku adalah salah satu wanita hebat. Dari hasil berjualan kue, beliau bisa membiayai sekolah dan kuliah mas Fabian hingga jenjang S1. Bukannya membiarkan beliau tinggal sendirian. Kami sudah berkali-kali mengajak ibu untuk tinggal bersama kami namun beliau selalu menolak dengan alasan tidak akan meninggalkan rumah peninggalan suaminya yang pernah mereka bangun dari nol.
"Hati-hati, Bu," ucapku sesaat setelah meraih tangannya dan menciumnya penuh takdzim. Tidak berselang lama beliau pun meninggalkan rumahku.
Aku baru saja selesai menjemur pakaian dan hendak masuk kembali ke dalam rumah ketika tiba-tiba mobil berwarna putih itu memasuki halaman rumahku. Tentu saja aku hafal betul siapa pemiliknya.
"Baru selesai nyuci, Mbak?"
Aku membalikkan badanku. Kulihat seorang wanita berusia beberapa tahun lebih tua di atasku. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun cukup padat berisi. Rambutnya pirang, yang kuyakini bukan warna asli melainkan hasil dari cat rambut. Pakaiannya cukup tertutup, meskipun dia tidak berhijab sepertiku.
"Apa dia wanita bernama Karmila itu?" tanyaku dalam hati.
"Ini Karmila, yang semalam mas ceritakan padamu," ucap mas Fabian sebelum aku bertanya.
"Boleh kita bicara di dalam, Mbak ehm, …"
"Azzura."
"Biar enak aku panggil Mbak Zura aja ya. Dan Mbak Zura bisa panggil aku Mila."
Kubalas ucapannya dengan senyum kecut di bibir.
Sebagai seorang tuan rumah yang baik, aku pun mempersilahkannya masuk ke dalam ruang tamu.
"Ibu di mana, Dik?" tanya mas Fabian.
"Ke makam," jawabku datar.
Wanita bernama Karmila itu terlihat tengah mengedarkan pandangannya dan mengamati ruang tamu.
"Aku kok gak melihat foto pernikahan kalian di ruangan ini ya?" tanyanya.
Ruang tamu berukuran 6x6 ini mungkin tidak seperti ruang tamu di rumah pada umumnya. Aku hanya menempelkan hiasan kaligrafi berlafadzkan dua kalimat syahadat di salah satu sisi sementara sisi lainnya kubiarkan kosong.
"Foto pernikahan kami ada di album foto. Kami sengaja tidak mencetaknya dalam ukuran besar," jawabku.
"Oh ya, di mana Lyra?" tanyanya lagi.
"Lyra tidur setelah minum obat penurun demam."
"Dia pasti cantik seperti Mbak Zura," ujarnya yang kuyakini hanya sebuah basa-basi.
Sekali lagi kubalas ucapannya dengan senyum kecut di bibir.
"Ehm, Dik. Mas dan Mila akan menikah hari Senin depan," ucap mas Fabian yang sontak membuatku terkesiap.
Rupanya sekuat apapun aku menentang, tak sedikit pun akan merubah keputusannya untuk memberikanku madu.
"Harus berapa kali kukatakan, aku keberatan jika Mas menikah lagi." Aku berdiri lalu menatap mata mas Fabian, tajam dan tegas.
"Agama kita saja memperbolehkan suaminya melakukan poligami lho, Mbak." Mila menimpali.
"Mungkin wanita lain bisa berlapang dada jika dimadu. Tapi tidak denganku. Aku adalah wanita yang memegang teguh kesetiaan. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup," ujarku.
"Jadi, Mbak Zura mau menuntut cerai dari mas Fabian? Memangnya setelah bercerai Mbak mau mau tinggal di mana? Terus, bagaimana dengan Lyra?"
Aku terdiam dan menundukkan kepalaku. Jujur, aku tidak memiliki keluarga ataupun tempat tinggal lain di kota ini. Tapi, aku pun tidak akan ridho jika mas Fabian menikah lagi apalagi jika aku harus hidup satu atap dengan maduku.
"Mila, …"
"Ya, Mbak."
"Sebagai sesama wanita kamu pasti paham bagaimana perasaanku. Tak ada satupun wanita di dunia ini yang mengijinkan jika suaminya ingin menikah lagi."
"Mbak Zura pasti sudah tahu alasan mas Fabian ingin menikahiku. Mas Fabian ingin menjalankan wasiat dari almarhum suamiku," ucap Mila.
"Almarhum suamimu hanya berpesan agar mas Fabian menjagamu. Bukan berarti dia harus menikahimu. Lagipula kamu masih muda. Kenapa kamu mau saja dijadikan istri ke dua?"
"Mbak Zura ingin tahu alasannya?"
Aku menganggukkan kepalaku.
"Aku jatuh cinta pada mas Fabian. Dia pria yang baik, soleh, mapan pula. Jadi tidak ada alasan untuk menolak amanat almarhum suamiku," ungkap Mila.
"Bagaimana dengan ibu, Mas? Ibu pasti tidak akan mengizinkan mas menikah lagi."
"Siapa yang ingin menikah lagi?" tanya ibu yang tiba-tiba muncul di ruang tamu.
Bersambung….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Widya Tamrin Widya
aduuu TDK usah pake musik
2022-11-28
1
Imma Dealova
bukan kak...belum terungkap ini yang nabrak adiknya Fabian...
makasih udah mampir🥰🥰
2022-10-09
0
hìķàwäþî
jgn2 suaminya karmila yg nabrak?
2022-10-09
1