Maduku, Racunku
Saat ini rumah tanggaku sedang goyah, bagaikan sebuah kapal yang tengah dihantam ombak yang begitu besar. Entah kapal itu akan karam ataukah akan tetap berlayar dengan hantaman yang begitu dahsyat.
BAB 1
"Mas ingin menikahi Karmila, Dik."
Seuntai kalimat itu meluncur dari mulut Fabian. Pria yang telah menikahiku lebih dari sepuluh tahun di sela makan malam kami.
Selera makanku tiba-tiba hilang. Makanan yang baru saja melewati kerongkonganku pun rasanya begitu sulit kutelan. Aku meraih gelas berisi air putih yang berada di hadapanku lalu lantas meneguknya.
"Lelucon macam apa ini?" Meskipun dadaku bergemuruh hebat, rupanya aku masih bisa terkekeh. Pura-pura geli tepatnya.
"Mas serius!" Pria yang paling tampan di mataku itu menatapku tajam.
Entah mengapa Lyra, putri semata wayang kami yang berada di gendonganku tiba-tiba terbangun dan menangis. Kupikir bayi yang bahkan belum mampu mengangkat kepalanya sendiri itu hanya haus. Aku pun membuka dua kancing paling atas dari kemeja yang kupakai dan mencoba memberikannya air susuku. Satu-satunya sumber kehidupan baginya saat ini. Namun, Lyra menolaknya.
"Kita lanjutkan bicara di kamar. Sepertinya Lyra ingin menyusu sambil rebahan."
Aku beranjak dari tempat dudukku lantas melangkahkan kakiku menuju kamar.
Lima belas menit kemudian Lyra terlelap. Aku berharap mas Fabian segera menyusul kami ke dalam kamar. Namun, entah mengapa dia tak kunjung datang. Setelah mengecilkan suhu AC, aku pun keluar dari dalam kamarku dan menghampiri mas Fabian yang belum beranjak dari ruang makan.
Aku heran, biasanya pria itu hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari sepuluh menit untuk mengosongkan isi piringnya. Namun malam ini dia sepertinya dia tak berselera.
"Kenapa makanannya tidak dimakan, Mas?" tanyaku.
Malam itu aku memasak capcay beserta sambal kacangnya. Makanan itulah yang setiap hari wajib tersaji di meja makan saat makan malam. Setelah lebih dari sepuluh tahun menjadi teman hidupnya, tentu saja aku hafal di luar kepala makanan atau apapun yang disukainya ataupun sebaliknya.
Mas Fabian justru meletakkan sendoknya seolah enggan melanjutkan makan malamnya.
"Apa masakanku terlalu asin, Mas?"
Aku berpura-pura penasaran meskipun aku tahu bukan hal itu yang membuatnya hilang selera. Aku memasak masakan itu dengan takaran bumbu yang sama setiap hari. Mustahil rasanya jika masakanku keasinan ataupun kemanisan.
"Dik, …" Mas Fabian menatap lekat mataku. Aku bisa melihat kecemasan di
dalam sorot matanya.
"Ya, Mas."
Aku berharap mas Fabian mengalihkan topik pembicaraan. Tentang pekerjaannya, misalnya. Atau membahas berita politik yang tengah cukup memanas belakangan ini.
"Mas minta izin untuk menikahi Karmila."
Tebakanku kali ini meleset. Mas Fabian ternyata kembali mengajakku membicarakan wanita bernama Karmila yang bahkan baru malam ini kudengar.
"Siapa Karmila, Mas? Mengapa tiba-tiba Mas ingin menikahinya?" tanyaku penuh selidik.
"Karmila adalah seorang janda."
Aku tercengang mendengar jawaban darinya. Bagaimana mungkin suamiku yang kukenal alim dan penyabar itu tiba-tiba meminta izin menikah lagi dengan seorang janda.
Aku mengedipkan mataku berulang agar buliran bening yang mulai merebak di kedua bola mataku tidak tumpah.
"Mas ingin menikahi janda?" tanyaku dengan suara yang mulai bergetar.
Mas Fabian menganggukkan kepalanya.
Aku terdiam dan menundukkan wajahku. Mengapa mas Fabian setega itu padaku? Aku sadar belum bisa menjadi istri yang sempurna baginya. Namun, wanita mana yang akan mengiyakan saat suaminya meminta izin untuk mendua?
"Insyaallah mas akan bersikap adil pada kalian."
Kalimat itu tidak sedikitpun membuatku lega apalagi terhibur. Menurutku hanya nabi saja yang mampu bersikap adil pada istri-istrinya.
"Poligami diperbolehkan dalam agama kita," ujarnya.
Dalil itu rupanya yang menjadi pembenaran keputusannya untuk menikah lagi. Aku tahu mas Fabian cukup paham perihal agama. Sebelum menyelesaikan pendidikannya di universitas Islam, dia pernah mendalami ilmu agama di sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal di kota kelahirannya.
Aku sadar, pengetahuanku tentang agama masih terbilang dangkal. Sebelum menikah dengan mas Fabian, aku hanyalah seorang wanita yang bahkan begitu jauh dari Tuhanku. Semenjak kehancuran bisnis kedua orangtuaku, hidupku tak tentu arah. Ayah mengalami stroke dan meninggal beberapa bulan setelahnya. Sementara ibuku pergi entah kemana. Aku juga tak tahu di mana keberadaan kedua kakak kandungku. Kak Darren dan kak Maureen. Mereka meninggalkan rumah tidak lama setelah ayah kami meninggal.
Agama Islam memang tertera di kartu identitasku. Namun, aku nyaris tidak pernah menjalankan apa yang menjadi perintah Nya. Aku bahkan pernah terjerumus ke dalam lembah hitam.
Mas Fabian dikirim Tuhan untuk menuntunku kembali ke jalan kebenaran. Dari cara berpakaianku yang selalu memperlihatkan bagian yang haram dipandang lawan jenisku, kini aku bisa mengenakan hijab dan pakaian syar'i.
"Kenapa kamu diam saja, Dik?" tanya mas Fabian yang sontak membuyarkan lamunanku.
"Aku tahu agama kita tidak melarang seorang laki-laki memiliki lebih dari seorang istri. Tapi aku minta maaf. Sampai kapanpun aku tidak akan mengizinkan Mas menikah lagi," ujarku.
"Kamu harus tahu, Dik. Mas menikahi Karmila bukan semata karena hasrat ataupun nafsu belaka."
"Lantas?"
"Mas…mas telah melakukan kesalahan besar."
"Kesalahan besar apa, Mas?" Aku kembali menatapnya penuh selidik.
"Tiga bulan yang lalu mobil mas menabrak seorang pria hingga tewas. Pria itu adalah suami Karmila," ungkap mas Fabian.
"Innalilahi!" Aku membungkam mulutku dengan salah satu tanganku.
"Sebelum meninggal, pria itu berwasiat agar mas menjaga istrinya."
Alasan itu tidak sedikitpun merubah keputusanku. Tidak akan ada madu dalam pernikahanku.
"Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak mengizinkan Mas menikah!" tegasku.
"Mas sudah berjanji untuk menjalankan wasiat terakhir suami Karmila."
"Jika Mas ingin tetap menikahi Karmila, lebih baik aku mundur," ujarku.
"Mas mencintaimu, Dik. Juga putri kita, Lyra."
"Jika Mas memang mencintaiku, mas tidak akan pernah menikahi wanita lain!" tegasku.
"Kumohon mengertilah."
Aku beranjak dari tempat dudukku berniat meninggalkan meja makan namun tiba-tiba mas Fabian menarik tanganku.
"Mas belum selesai bicara," ucapnya.
"Mas hanya tinggal memilih, Aku dan Lyra atau Karmila." Aku menepis lembut tangan mas Fabian sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar.
Aku masuk ke dalam kamar dan memeluk Lyra yang tertidur pulas. Buliran hangat yang sedari tadi merebak di bola mataku pun akhirnya tumpah.
Tidak berselang lama pintu berderit. Aku memindahkan posisi tidur malaikat kecilku yang tadinya berasa di dekat dinding kamar, ke bagian tengah. Aku sengaja menjadikannya sekat agar mas Fabian tak menyentuhku sedikit pun malam ini.
"Dik, …" Mas Fabian memanggilku. Entah apa yang mau dibicarakannya lagi. Tapi aku mencoba acuh. Aku membalikkan badanku dan menghadap dinding kamar. Untuk pertama kalinya setelah menikah, kami tidur tanpa ucapan selamat malam ataupun sebuah kecupan lembut di keningku. Kubiarkan buliran hangat itu menetes dan membasahi bantalku.
Hai pembaca setia...Jangan lupa tinggalkan like, komentar, favorit, dan hadiah ya. Sekecil apapun dukungan kalian, akan sangat berarti bagi Author....
Happy reading...🥰🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
ALNAZTRA ILMU
kenapa harus menikah.. tolong saja lah dari.segi kewangan.. bukan harus menikah.. kau bkan nabi
2025-01-19
0
Pisces97
dasar laki² dimana mana. tidak peka seenak jidatnya
mas mau nikah lagi aduh enteng banget 🤣🤣🤣
2022-11-29
0
Cinta Jing Xuan
pliss jangan jadikan alasan dalil itu untuk menduakan cinta dan rumah tangga.
menjaga tidak harus menikahinya bisa saja sebagai sahabat/anggap sodara yg menjaga sampai akhirnya si dia mendapatkan jodohnya lagi.
misal sekarang si janda kmau nikahin trus suatu saat kmu melakukan kesalahn lagi dan diminta buat menjaga istrinya orang lagi trus kamu nikahin lagi??? dan seterusnya lagi dan lagi??
huhh... sedalam apa pengetahuan agamamu? sekaya apa dirimu? seberapa dalam cintamu ke istrimu? sedekat apa dirimu ke anakmu ? kamu mau membagi cinta mereka???
2022-10-30
2