"Mas dari mana saja?" tanyaku penuh selidik.
"Maaf, Dek. Mas ketiduran musholla."
Musholla yang dimaksud adalah sebuah ruangan kecil berukuran 2mx 2m yang kami gunakan untuk sholat.
"Kalau kamu dari mana?" tanyaku pada Mila.
"Aku merasa kepanasan di dalam kamar. Aku baru saja minum di dapur."
Alasan mereka cukup masuk akal. Walaupun aku tak pernah tahu apakah mereka berkata jujur ataupun hanya membodohiku saja.
"Kamu sudah shalat isya'?" tanya mas Fabian padaku.
Aku menggeleng pelan.
"Ini aku terbangun karena ingat belum shalat isya'. Tadi ketiduran waktu ngelonin Lyra," jawabku.
"Lain kali shalat isya' dulu, baru tidur," ucap mas Fabian.
"Aku ketiduran, Mas. Tidak sengaja tidur."
"Mbak Zura ini senang sekali membantah, ya?" ucap Mila ketus.
Aku hanya menatapnya tak lebih dari tiga detik sebelum akhirnya berlalu dari hadapannya. Aku enggan berdebat dengan wanita yang tidak mau mengalah ini.
"Aku shalat isya' dulu," ucapku sembari berlalu dari hadapannya. Sementara mas Fabian berjalan menuju kamar.
Lima belas menit kemudian aku telah selesai shalat isya'. Aku pun hendak kembali ke kamarku. Namun langkahku terhenti saat melintasi kamar tamu. Kudengar suara rintihan kesakitan dari dalam sana. Tidak salah lagi, itu suara ibu mertuaku. Tanpa mengetuk pintu aku masuk begitu saja ke dalam kamar itu.
"Astaghfirullah. Ibu kenapa?" tanyaku.
"Sakit, Nduk," rintih ibu.
Aku tidak bisa berbuat banyak selain memijit bagian punggung ibu sebisaku.
"Sabar ya, Bu. Besok mbok Jum akan datang ke sini untuk memijit ibu," ucapku.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada Mila yang tampak tertidur pulas di sisi ibu mertuaku. Bagaimana mungkin dia bisa tidur dengan nyenyak sementara ibu yang tidur satu ranjang dengannya merintih kesakitan.
Aku terus memijit punggung ibu. Kuabaikan rasa letih dan kantuk yang sedari tadi menyerangku hingga tak kusadari aku mulai ketiduran di sisi tempat tidurnya.
Aku merasa duduk sendirian di bawah pohon rindang. Dari sana kudengar suara gemericik air dari sungai kecil yang berada tidak jauh dari tempat itu. Aku menutup kedua mataku saat tiba-tiba sebuah sinar muncul begitu menyilaukan.
"Azzura, putriku."
Meskipun wajahnya masih begitu samar, aku mengenal betul suara bariton itu.
"Ayah? Apa itu Ayah?" tanyaku.
Sosok yang kupanggil ayah itu pun lantas duduk di atas rerumputan. Bagaikan anak kecil aku menghampiri pria berbaju putih itu lalu menyandarkan kepalaku di pangkuannya. Tanpa sebab yang jelas tangisku tiba-tiba pecah.
"Kuatkan hatimu, Nak. Kamu akan menghadapi ujian yang berat," ucapnya sembari membelai rambut panjangku.
"Apa aku bisa melewati ujian itu, Yah?" Aku mendongakkan wajahku dan menatap wajah beliau. Namun, ayah hanya tersenyum. Bahkan aku merasa sosok itu perlahan beranjak dari sisiku hingga akhirnya pergi dan benar-benar menghilang.
"Ayah! Jangan pergi!"
Dengan sekuat tenaga yang kumiliki aku berlari mengejar sosok itu namun kakiku justru tersandung dan jatuh tersungkur.
Aku terperanjat saat tiba-tiba seseorang mengguncang tubuhku. Astaghfirullah, rupanya aku baru saja bermimpi almarhum ayah.
"Mbak Zura kenapa teriak gitu? Aku jadi kaget," gerutu Mira. Rupanya dia yang membangunkanku.
"Maaf," jawabku singkat.
Aku mengalihkan pandanganku pada ibu. Alhamdulillah, beliau sudah tertidur pulas.
"Kenapa Mbak Zura ada di kamar ini?" tanyanya.
"Tadi ibu kesakitan, jadi aku masuk ke sini."
"Mbak Zura jangan mengada-ada. Dari tadi ibu mertua Mbak anteng-anteng aja. Mbak pasti ingin memeriksa mas Fabian di kamar ini atau nggak 'kan?"
"Tentu saja kamu nggak dengar ibu kesakitan lha wong kamu tidur nyenyak," ucapku yang sontak membuatnya diam.
Tanpa berkata lagi aku beranjak meninggalkan kamar itu dan kembali menuju kamarku. Sungguh, mimpi yang beberapa saat lalu membuatku takut.
Apa maksud ayah mengatakan jika aku akan menghadapi ujian yang begitu berat? Apa ini berkaitan dengan rumah tanggaku?
"Kamu dari mana saja, Dek?" tanya mas Fabian. Rupanya dia terbangun lantaran suara derit pintu.
"Aku dari kamar tamu. Tadi ibu kesakitan."
Aku menaiki ranjang lalu kubaringkan tubuhku di sisi Lyra. Aku membekap mulutku dengan salah satu tanganku. Entah mengapa rasa mual tiba-tiba menyerangku.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya mas Fabian.
"Mungkin aku masuk angin karena akhir-akhir ini sering begadang," jawabku.
Apalagi alasan aku mual-mual jika bukan karena masuk angin? Hamil? Rasanya tidak. Sebulan belakangan ini aku rutin menelan pil penunda kehamilan.
"Apa perlu mas kerokin?" tanya mas Fabian.
"Tidak usah, Mas. Aku pakai minyak kayu putih biar mendingan."
Kulihat mas Fabian menarik kembali selimutnya. Aku pun membenahi selimut Lyra yang sedikit tersingkap.
"Tadi aku mimpi buruk, Mas," ucapku.
Mas Fabian tak menyahut.
"Almarhum ayah mengatakan jika aku akan menghadapi ujian berat. Aku takut ini berkaitan dengan rumah tangga kita."
Aku menoleh ke arah mas Fabian.
Ah, sia-sia saja aku bicara tadi. Mas Fabian sudah kembali berkelana di alam mimpinya.
Tiba-tiba rasa kantuk menyerangku. Kupejamkan mataku yang mulai terasa berat. Tidak lama kemudian akupun terlelap.
Rasanya baru sebentar saja aku tidur, aku terbangun lantaran mendengar tangisan Lyra. Aku mengucap syukur, pagi ini suhu tubuhnya kembali normal. Tidak lama kemudian suara adzan pun mulai berkumandang.
"Mas, bangun. Sudah subuh," ucapku sembari menyusui Lyra dengan memangkunya.
Selama lebih dari sepuluh tahun menjadi imamku, Mas Fabian tidak pernah susah saat kubangunkan untuk shalat subuh. Dia pun menyingkap selimutnya dan beranjak dari ranjang.
"Mas cari apa?" tanyaku saat mendapatinya mencari sesuatu yang tergantung di balik pintu.
"Handuk."
"Aku mencucinya siang kemarin. Mas pakai saja handuk lainnya," ucapku.
Mas Fabian pun lantas membuka lemari pakaian kami dan mengambil handuk dari dalam sana. Sudah menjadi kebiasaannya, mandi sebelum shalat subuh.
"Assalamualaikum, Solehah nya ayah," sapanya pada Lyra yang baru saja kenyang menyusu. Putri kecil kami itu pun tersenyum seolah membalas sapaan ayahnya.
Mas Fabian keluar dari kamar ini dan melangkah menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur. Saat ini kami memang belum memiliki kamar mandi ataupun toilet di dalam kamar.
Kubaringkan Lyra di atas tempat tidur. Setelah semalam popoknya pasti penuh dengan pipisnya. Aku pun menggantinya dengan popok baru.
Sekitar sepuluh menit kemudian mas Fabian kembali dari kamar mandi. Namun,
aku keheranan saat mendapati rambut mas Fabian basah.
Loh? Setelah bertahun-tahun hidup bersama tentu saja aku hafal betul. Tidak biasanya Mas Fabian mandi keramas subuh-subuh begini jika kami tidak melakukan hubungan suami istri.
Astaghfirullah! Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa semalam mas Fabian dan Mila benar-benar…"
Bersambung….
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
ALNAZTRA ILMU
apa lagi bercucuk tanamlah
2025-01-19
0
Suhaetieteetie
tau agama tapi zinah ampun dah,sabar azura klau perlu tinggalin aja jngn lemah
2022-08-10
0
Thebel Yanix
aq ikut menahan emosi bacanya thor.... kesel rasanya
2022-08-10
1