"Lha niki... rencang kula, Satria, sanjang... mangke menawi mbalik badan, pemandanganipun kirang sae..."
DUARR!
Seisi kelas langsung heboh. Tawa yang tadinya ditahan kini meledak, para siswa berusaha menutup mulut mereka agar tidak terlalu keras. Hanya bangku Febby dan Ani yang tetap tenang.
Wajah Pak Guntur yang tadinya sudah merah, kini warnanya nyaris ungu. Kumis tebalnya sedikit bergetar.
"Oalah, Gusti! Bocah kok kakean polah!" semprot Pak Guntur dengan logat Jawa yang semakin kental. "Wis salah, isih wani-wanine ngenyek! Ora ono tata kramane babar blas!"
Tawa di kelas langsung reda, berganti dengan keheningan yang tegang. Semua orang tahu, Pak Guntur sudah masuk mode amarah level tertinggi.
Satria, yang tidak mengerti sepatah kata pun, menoleh ke penerjemah pribadinya. "Artinya apaan, Bay?"
Bayu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. "Gawat, Sat. Intinya, katanya kita kurang ajar, nggak punya sopan santun, udah salah banyak tingkah."
Bukannya takut, Satria justru menyeringai. Ia kembali menghadap Pak Guntur dengan percaya diri.
"Pak," katanya dengan nada yang terdengar aneh di telinga seisi kelas. "Abdi mah hoyongna tetep mayun ka payun, meh tiasa ningal Neng Febby!"
Hening total.
Para siswa yang mengerti Bahasa Sunda menahan napas karena kaget. Yang tidak mengerti hanya bisa menatap bingung, termasuk Febby dan Ani.
"Feb? Satria ngomong apa? Kok dia bawa-bawa nama kamu?" bisik Ani panik. Tentu saja dia takut Satria bawa-bawa Febby ke dalam masalahnya.
“Aku juga nggak tahu, An,” jawab Febby sambil mengernyit. Garis alisnya yang nyambung membuat ekspresi bingungnya terlihat seperti tanda kurung buka-tutup.
Di sisi lain, Pak Guntur melongo, tidak paham bahasa apa yang baru saja digunakan muridnya itu.
Setelah beberapa detik yang canggung, tatapan Pak Guntur beralih ke Bayu, menuntut penjelasan.
Bayu menggelengkan kepalanya dengan panik. "Saya nggak ikut-ikutan, Pak."
Pak Guntur kembali menatap Satria yang masih memasang senyum tanpa dosa. Akhirnya, ia menghela napas, mencoba menurunkan tensinya.
"Satria. Bicara pakai Bahasa Indonesia saja," kata Pak Guntur, kali ini dengan nada yang lebih datar.
"Nah, gitu dong, Pak." Satria menjentikkan jarinya. "Makanya, Pak, saya juga nggak bisa Bahasa Jawa. Jangan bicara pakai Bahasa Jawa terus, dong. Kasihan kan siswa lain yang bukan asli Jawa, jadi nggak paham."
Itu adalah kalimat terakhir yang bisa ditoleransi oleh kesabaran Pak Guntur. Kini wajahnya kembali merah padam.
"Cukup! Sekarang kalian semua, lari keliling lapangan lima kali!"
Ziko, Adit, Bagas, dan terutama Bayu, langsung terkejut.
"Lho?! Kok semua, Pak?!" protes Ziko.
"Kan tadi hukumannya cuma berdiri di depan kelas, Pak?!"
"Iya, Pak! Kok jadi ganti?!"
"Tidak ada protes! Semuanya lari kelilingi lapangan sepuluh kali! Cepat laksanakan!"
Dengan langkah gontai dan wajah masam, kecuali Satria yang masih cengengesan, mereka berlima berjalan keluar kelas. Koridor terasa sepi karena pelajaran sudah dimulai.
Baru saja mereka akan menuruni tangga, dari arah berlawanan muncul sosok siswa yang tingginya sama dengan Satria. Tapi ia tidak sendiri. Di belakangnya, tiga orang siswi dari kelas lain mengekor dengan manja.
"Annas, nanti istirahat temenin kita ke kantin, ya?"
"Iya, Nas. Katanya ada menu baru, lho."
"Annasku jangan capek-capek ya ngurus OSIS-nya..."
Siswa itu tidak menggubris mereka sama sekali. Ia hanya terus berjalan lurus dengan wajah dingin, melewati Satria dan teman-temannya tanpa melirik sedikit pun.
Setelah rombongan itu lewat, Bagas berdecih pelan.
"Cih, caper banget jadi cowok."
"Sok ganteng," timpal Adit sinis.
Satria hanya tersenyum miring, matanya masih menatap ke arah tangga tempat Annas menghilang.
"Biarin aja kali."
"Lho? Kok malah santai, Sat?" tanya Bayu, heran.
Satria menepuk bahu Bayu, senyumnya kini berubah menjadi seringai penuh percaya diri.
"Dia 'kan bukan saingan gue."
-BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments