Awan gelap menutupi langit malam ketika buku bersampul hitam yang masih dibawa Laras menyeruak diantara buku pelajaran yang dikeluarkannya dari dalam tas. Melirik sejenak kearah sampingnya, kembali dimasukannya buku itu kedalam tas sekolahnya. Tangan itu masih memegang erat buku bersampul hitam tersebut dan merasa sangat enggan untuk melewatkan isinya. Dari dalam tas, dikeluarkannya lagi buku itu dan dipandanginya dengan tatapan menerawang. Antara berani atau tidaknya dia membuka buku pribadi seseorang. Setidaknya itulah yang ada dibenak Laras. Sopan atau tidaknya jika dia membaca beberapa halaman isibuku tersebut.
“ Tapi gue penasaran? ” gumam Laras yang meletakkan dagunya disamping buku bersampul hitam itu. Dia terus melihat kearah buku itu dengan merebahkan kepalanya menghadap buku tua seukuran buku-buku novel umum yang tebalnya kira-kira mencapai 400 sampai 500 halaman tersebut. Dia menepuk sampul bukunya beberapa kali dan berharap setelah tepukan yang kesekian dilakukannya, halaman buku tua itu akan terbuka sendiri.
Tepukan pertama, halaman buku masih tidak terbuka. Tepukan kedua, ketiga, bahkan keempatpun hasilnya masih sama. Sampai entah tepukan yang keberapa, hanya terbuka sedikit dan itupun dalam waktu yang terbilang sangat cepat dan singkat untuk buku itu menutup kembali. Dia bangkit. Memandang buku itu lekat-lekat dengan sedikit jengkel bercampur rasa penasaran yang amat tinggi.
Angin tiba-tiba berhembus masuk dari jendela kamarnya. Memberi hawa dingin yang tidak biasa untuk Laras. Bermaksud menutup jendela kamarnya yang tiba-tiba terbuka oleh hembusan angin, Laras terdiam saat melihat keatas mejanya. Dari tempatnya berdiri untuk menutup jendela kamarnya, Laras melihat dari kejauhan. Angin yang berhembus masuk membuka satu halaman dari buku tua bersampul hitam tersebut.
“ Kematian itu selalu bergandengan erat dengan satu cerita kehidupan. Kematian dan satu cerita kehidupan itu merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Karena alasan kita terlahir dan hidup didunia adalah proses awal sebuah kematian itu sendiri. "
Membaca halaman buku tersebut, Laras menyimak setiap kalimat yang ada. Ada hawa tidak biasa yang ia rasakan ketika membaca halaman buku yang terbuka tersebut.
“ Salah! Salah! Nggak seharusnya gue baca catatan pribadi orang lain! ” gerutu Laras yang tiba-tiba merasa bersalah dengan kelancangannya.Sempat termenung, Laras menutup buku bersampul hitam tersebut. Kini dia tengah terdiam dengan merebahkan diri ditempat tidurnya.
“ Gue benci kematian. ” gumamnya.
Bukan tanpa alasan Laras mengatakan hal semacam itu, karena siapapun pasti membenci sebuah kematian. Baik kematian orang lain atau mungkin kematian orang-orang terdekatnya. Sejak kecil Laras sudah bisa melihat berbagai bayangan kematian dari orang-orang disekitarnya. Semua itu terjadi begitu alami bagi Laras. Dan memasuki usianya yang ke 10 tahun, dirinya menyadari hal itu dengan sangat baik.
Dia yang hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya tinggal bersama kakek dan neneknya. Sejak kecil dirinya terbiasa harus mengurus keperluannya sendiri dan diberi pengertian dengan sangat baik oleh sang nenek. Bahkan untuk kelebihan yang dimilikinya ini pun Laras mendapat bimbingan dari sang nenek.
“ Garis kematian manusia tidak ada yang bisa menentukan, semua sudah di tuliskannya dengan sedemikian rupa. ” ujar sang nenek disatu masa kecilnya. “ Nenek bersyukur kamu bisa selamat dari kecelakaan yang merenggut nyawa orang tuamu, dan kemampuanmu yang sekarang mungkin bertentangan dengan takdir. Kamu tidak bisa melawan hal itu, kamu hanya harus menerimanya. ”
Mengingat itu, tiba-tiba bayangan demi bayangan kematian yang tanpa sengaja pernah ia lihat dari orang-orang yang sekitarnya, melintas dibenaknya begitu saja. Ada begitu banyak kegelapan dan hawa yang tidak menentu dari bayang kematian yang pernah dilihatnya. Tapi berbeda dengan bayang kematian yang dilihatnya dari sosok Aksara pagi ini.
“ Kenapa harus begitu gelap? ” Laras menaikan kedua tangannya seakan-akan ia dapat menyentuh langit-langit yang ada dikamarnya. “ Haruskan aku melihatnya sekali lagi? ”
Laras kembali melirik kearah buku tua bersampul hitam milik Aksara tersebut.
***
Semua jiwa yang harusnya tinggal kini tengah bergantung pada sosok bermata bening itu. Sosok kecil yang tidak mungkin akan mengingat hari ini. Hari dimana jiwa-jiwa yang harusnya tinggal telah menggantungkan kehidupan mereka pada sosok mungil yang tertawa riang dalam suasana keharuan. ”
Tiga hari absen, sosok Aksara masih menjadi misteri dibenak Laras semenjak hilangnya ia secara tiba-tiba dari pandangan Laras dipagi itu. Untuk hari ini, absenpun sudah berjalan. Tapi ada yang janggal pada absen tersebut. Dimana pada saat absen kelas, nama Aksara tidak masuk kedalam daftar absen. Anehnya, teman sekelas selain Laras sama sekali tidak menyadari hal tersebut.
Laras yang menyimpan baik-baik buku tua bersampul hitam itu akhirnya mengeluarkan buku tersebut dari dalam tasnya. Meletakannya diatas meja dengan rasa penasaran yang masih tersisa, Laras kini tengah berusaha membuka halaman depan dari buku bersampul hitam tersebut. Dia membuka buku itu dengan sedikit keragu-raguan. Menghela nafas panjang, ia membuka halaman pertama dengan perasaan was-was.
Berisi sebuah foto hitam putih dari sosok anak perempuan kecil dengan berbingkai warna hitam keemasan. Sosok anak perempuan difoto yang mungkin tengah memasuki usia dua tahun itu terlihat mengenakan bandana dengan bentuk bunga menyerupai lonceng seperti pada ikat rambutnya. Dengan warna foto tua, hitam putih, foto itu memberi kesan tersendiri untuk Laras. Dibawah foto itupun tertera dua tanda petik. Awal dan akhir. Berspasi cukup panjang yang mungkin diperuntukan menuliskan sebuah nama.
Membuka halaman berikutnya, buku hitam itu menarik perhatian sosok Eren yang tengah duduk santai diatas meja didepan Laras. Baru membuka dan melihat sedikit kalimat pertama halaman kedua buku bersampul hitam itu, Eren
mengambil bukunya tanpa seijin Laras yang baru akan mencoba menghilangkan rasa penasarannya pada kelanjutan isi dari buku tua bersampul hitam milik Aksara tersebut.
“ Buku tua yah! ” Buku tua itu sudah berpindah dengan cepat ketangan Eren.
“ Eren! Bisa tolong balikin buku itu nggak? ” merasa kecolongan,Laras berkata tegas dan berdiri dari duduknya.
Sejenak apa yang dilakukan Laras menjadi perhatian teman-temannya yang lain dikarenakan sejak awal masuk SMA, Laras lebih dikenal sebagai sosok yang pendiam dan menghindari kontak dengan seisi sekolah terlebih teman-teman sekelasnya.
“ Buku ini! ” Eren menyodorkan buku hitam itu didepan Laras. Begitu tangan Laras berusaha meraih buku tersebut, ditariknya buku itu tinggi-tinggi dari jangkauan tangan Laras. “ Nggak semudah itu, loper Koran. ” Eren mendekatkan wajahnya. Lalu berpaling cuek dan membuka buku tua bersampul hitam tersebut dengan santainya.
“ Eren! Itu buku milik orang lain. Jangan baca sembarangan! ”
Laras berusaha kembali mengambil buku itu dari tangan kanan Eren. Tapi tangan kiri milik si pemuda langsung menempel dan menahan dahi Laras dengan cukup kaut. Laras berkelit dari tangan Eren itu dan mencoba mencari celah lain untuk bisa meraih buku bersampul hitam yang direbut Eren dari tangannya. Tapi hasilnya tetap sama. Tubuhnya tertahan lagi oleh tangan Eren yang ternyata lebih besar dan lebar dari tangan mungilnya.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments