“ Siapa kamu sebenarnya?? ”
Suara gemerincing itu lenyap seketika berbarengan dengan jatuhnya semua guguran daun berwarna coklat keemasan dari pepohonan disekitarnya. Yang dimana, sedari tadi dedaunan itu terbang mengikuti alunan suara gemerincing dari bunga putih kecil itu.
Tatapan Aksara tidak lepas sedikitpun dari sosok Laras yang kini tengah benar-benar menatap dirinya. Kepakan sayap dari tulang dibelakang punggungnya sempat membuat Laras mundur beberapa langkah karena kaget. Berdiam diri dihadapannya, Aksara memperhatikan lagi sosok gadis itu. Bola mata itu bukan lagi berwarna hitam seperti biasa. Tatapan mata itu seakan mati. Tatapan itu terlihat jelas, tapi mata, tubuh dan hati itu sangatlah kosong.
“ Apa kamu jiwa yang tersesat??? ” Aksara kembali bertanya.
Tubuh Laras tetap tidak bergeming. Dalam tatapan matanya yang kosongterlintas banyak jiwa-jiwa manusia yang menatap kosong seperti tatapan yang diterimanya kini.
Tangan Aksara perlahan meraih masuk kedalam tatapan itu. Satu, dua tangan digapainya. Dan dua jiwa yang tersesat keluar dari tubuh Laras. Jiwa seorang wanita berusia kurang lebih berusia 27 tahunan dan seorang lagi adalah sosok laki-laki tua berambut uban yang putih sempurna. Mereka saling menatap lalu melihat Aksara dengan senyuman.
Aksara meratap heran. Meliha satu dari dua buku tua bersampul hitam yang berada didekatnya, kini terbuka dan menunjukan siapa kedua jiwa yang kini masih terdiam didepannya dengan penuh keiklhasan itu. Dirinya melihat tubuh Laras yang kini terjatuh pingsan dibawah kakinya. " Inikah alasannya? " Aksara bergumam. Dia mengalihkan pandangannya dari Laras kepada kedua jiwa yang hilang dihadapannya.
“ Santhi Nugroho, 27 th, guru Taman Kanak-kanak Satya Pancasila. Dan…. ” Aksara menoleh kearah bapak tua disamping perempuan itu. “ Darma Aji? Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak Satya Pancasila. ”
Sang bapak mengangguk sembari tersenyum ramah. Dan sang wanita terlihat tidak begitu senang. Ada penyesalan, kekesalan darinya, tapi juga terlihat begitu pasrah.
Aksara melanjutkan catatan yang ada didalam buku tua itu.
“ Kecelakaan bus beruntun. 15 Januari 20….05. ” Aksara terhenyak. Kematian mereka terjadi 15 tahun yang lalu....
“ Kecelakaan bus itu sungguh sial! ” ujar wanita bernama Santhi itu. “ Bahkan setelah itu, kamipun masih harus terkurung dalam tubuh gadis yang tidak mengetahui apapun tentang dirinya ini. ” nada kekesalan itu sempat memuncak dan langsung mereda ketika sang kepala sekolah menahan tangan sang wanita yang hendak menyentuh Laras yang tengah pingsan dibawah kaki Aksara.
" Bagaimana semua ini bisa terjadi pada anda? " tanya Aksara pada sosok jiwa sang kepala sekolah.
“ 15 Tahun silam, saat tersadar dengan kecelakaan yang menimpa bus yang kami gunakan untuk berdarmawisata, kami sudah terkurung bersama jiwa gadis ini. ” jelas sang kepala sekolah. “ Kami sadar jika kami sebenarnya telah meninggal dari pengelihatan gadis ini diusianya yang baru 2 tahun. ”
Dia kala itu bayi perempuan itu digendong oleh seorang petugas kesehatan. Dialah satu-satunya korban selamat dari dalam bus yang hancur. Dia tidak menangis. Hanya diam dalam gendongan petugas itu. Dalam pandangan mata yang sangat bening, kami merekam satu persatu tubuh kami yang dikeluarkan dari badan bus yang ringsek. Kantong demi kantong jenasah dengan tubuh dan wajah kami diturunkan dan dimasukkan masing-masing kedalam ambulance. Saat itulah kami menyadari kematian itu.
“ Dan sejak saat itu, entah kenapa kami bisa berada dalam tubuh dan jiwa dari gadis ini. Kami tidak pernah bisa keluar atau bahkan melakukan apapun. Kami sampai saat ini hanya mampu melihat apa yang dia lihat. Dan mendengar apa yang dia dengar. ”
“ Tidak hanya kami berdua, sepertinya, semua jiwa penumpang bus juga terkurung didalam jiwa gadis bodoh ini. ” tukas sang wanita. “ Kenapa hanya dia yang harus selamat!! ” protesnya kemudian.
“ Tapi.... bagaimana kalian bisa keluar dari tubuhnya hari ini?? ” Aksara menatap lekat sosok sang kepala sekolah.
“ Saya tidak begitu ingat. Sekilas saya hanya melihat cahaya yang menyilaukan dan suara gemerincing sebuah lonceng. ” jawab sang kepala sekolah. “... lalu saya sudah berada disini. ”
Aksara hanya manggut-manggut kecil.
“ 15 tahun... ” ujar Aksara. “ Ini pertama kalinya aku melihat hal yang seperti ini. ”
Jiwa-jiwa dari seorang yang meninggal karena bukan takdir kematiannya, biasanya hanya akan terkurung dan terombang-ambing dalam kisaran ruang dan waktu dimana ia mengalami kematian itu. Tapi, mereka berdua berbeda... Bahkan kalau memang benar yang dikatakan perempuan tadi, itu artinya ini bukanlah hal yang akan berakhir hari ini.
Aksara menatap lekat-lekat bapak tua dan wanita yang kini berdiri dihadapannya. Dengan mengenakan atasan putih berkerah dan celana jeans tua yang cukup nyentrik oleh sang kepala sekolah. Sementara sang wanita mengenakan baju putih bermotif dengan celana kain hitam yang sedikit membentuk kaki jenjangnya.
...mereka adalah jiwa-jiwa yang terus melihat pusaran waktu yang berjalan. Ikut berkembang
bersama sang penjaga jiwa. Tapi...
Aksara kembali melihat sosok Laras yang pingsan dibawah kakinya.
Dia adalah seorang anak manusia... yang masih hidup. Dan selama ini, belum pernah ada sosok manusia
yang mampu dan bisa memegang amanat dari sebuah buku kematian.
Termenung. Sang kepala sekolah melihat kebingungan pada mata Aksara.
“ Kemanakah anak akan membawa kami pergi? ” tanya sang kepala sekolah membuyarkan konsentrasi Aksara pada sosok Laras.
“ Saya? ” dia menunjuk dirinya sendiri dengan ling lung.
“ Kami terus saja melihat dan mengalami banyak hal bersama gadis bodoh ini. Tapi tidak ada hal apapun yang bisa kami lakukan untuk membantunya. Jadi segera tunjukan, kami harus kemana? ” sang wanita yang sedari tadi mengatai Laras akhirnya menunjukan kepedulian yang selama ini ditutupinya. “ Bukankah anda bertugas mengantar kami?! ” tatapnya yakin setelah melihat sayap Aksara yang lebih mirip tulang belulang dibelakang punggungnya.
“ Akh! ” Aksara merapikan jas depannya. Berdiri dengan tegap dan tersenyum ramah lalu memperkenalkan dirinya dengan sopan. “ Saya Aksara. Silahkan mengikuti jalanan setapak ini sampai dipintu ujung jalanan ini. ”
Sang kepala sekolah dan wanita itu menyimak dengan senyum ramahnya. Aksara sejenak diam. Dia melihat kearah buku tua bersampul hitam yang ia bawa bersamanya. Ini pertama kalinya buku bersampul hitam ini terbuka.
Aksara kembali menyimak ketika angin berhembus perlahan. Suara gemerincing kembali terdengar disepanjang jalanan setapak batu bata merah tersebut. Diujung jalan terdapat cahaya jingga yang cukup indah untuk dinikmati oleh mereka yang masih berdiri ditengah-tengah jalan setapak batu bata merah tersebut.
Cahaya jingga itu membawa dan menuntun mereka yang tersesat kembali kejalan yang seharusnya. Diujung sana, entah pintu macam apa yang menanti mereka. Tidak pernah Aksara ingin mengetahuinya. Dia hanya bertugas untuk mengantarkan mereka pada jalan yang mereka dapatkan dari cerita kehidupannya masing-masing. Dan kalaupun ada dua jiwa yang berjalan kearah yang sama, tidak pasti bahwa pintu yang terbuka untuk mereka adalah pintu yang sama.
Aksara melihat kedua orang itu sampai diujung cahaya. Memperhatikan dengan tatapan yang terlihat cukup tenang karena pintu yang terbuka tidaklah sekelam yang terbayangkan dipandangannya. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, sang kepala sekolah membalik badannya dan kembali tersenyum ramah pada Aksara yang masih tidak melepaskan tatapannya sedikitpun dari dua jiwa tersesat yang diantarkannya itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments