Dewi memutar mata malas, ia amat geram dengan iparnya yang haus kenikmatan dunia.
Pagi harinya, saat Asir akan berangkat kerja ia pun berpamitan pada kekasihnya.
“Aku pergi dulu sayang, rawat anak-anak dengan baik, ku usahakan agar dapat pengasuh hari ini.” Asir mengecup lekat kening Dewi.
“Oke mas, hati-hati di jalan ya.” Dewi mencium punggung tangan iparnya.
Setelah itu, Asir masuk mobil dan berangkat ke kantor dengan Darman, supir baru di rumahnya.
“Hum... akhirnya, si kampret itu pergi juga, sebaiknya aku periksa 2 tikus nakal itu dulu.” kemudian Dewi beranjak menuju kamar keponakannya.
Sesampainya ia, Dewi membuka pintu kamar yang telah ia kunci semalaman.
Retek!
Krieeett!!
Ketika pintu telah terbuka lebar, Dewi melihat Emir menitihkan air mata tanpa henti. Netra putra sulung Fi dan Asir menatap nanar ke sang adik yang terbaring di ranjang penuh keringat.
“Kenapa kau menangis?” tanya Dewi, seraya mendekat ke ranjang keponakannya.
Mendengar suara sang tante, Emir yang takut menyeka air matanya, sebab ia masih ingat akan larangan sang tante yang tak mengizinkan mereka untuk menangis.
“Andri panas tante.” ucap Andri seraya menahan air matanya agar tak mengalir di hadapan Dewi.
“Bodoh!” pluk! Dewi memukul kepala Emir karena kesal. “Kenapa kau tak memberitahu tante atau Art?” lalu Dewi meletakkan tangannya ke kening Andri.
“Tolol banget kau!” Dewi mencubit tipis perut Emir. “Hal sepenting ini kau hanya diam tak memberitahu siapapun? Apa otak mu sehat?” Dewi memarahi keponakannya karena membuat kerjaan baru padanya.
“Maaf tante, karena pintunya tak bisa di buka, aku jadi enggak bisa keluar untuk kasih tahu tante atau papa.” Emir menyeka air matanya sebelum jatuh ke pipinya.
“Kaukan bisa teriak, untuk apa tuhan memberi mu mulut sebesar ini!” Dewi meremas bibir keponakannya. “Ambilkan termometer!”
Emir yang serba salah di mata adik ibunya hanya diam, tak bisa berkata apapun, apa lagi melawan.
Si kecil Emir mengambil termometer Infrared Digital, dari laci lemari bajunya dan sang adik. Setelah itu ia memberikannya pada Dewi.
“Ini tante!”
Lalu Dewi mengambil kasar termometer tersebut dari tangan Emir. Kemudian Dewi mengarahkan sensor termometer ke kening Andri yang tiduran tanpa membuka mata.
*****!
“Sial!” Dewi mengumpat, sebab suhu tubuh Emir mencapai 38 derajat celcius.
“Emir, ambilkan kotak obat!” titah Dewi.
Lalu Emir mengambil kotak obat yang ada dalam bufet kamarnya.
“Ini tante.” Emir memberikan kotak obat tersebut pada Dewi.
Dewi pun menerimanya, selanjutnya Dewi mengambil Paracetamol dengan dosis 500 mg. Emir yang curiga sang tante akan memberikan obat Dewasa itu pada adiknya langsung menegur Dewi.
“Tante, kata mama itu untuk orang tua, buat ade dan aku, minum Paracetamol sirup.” Emir menunjukkan botol sirup penurun panas yang ia maksud.
“Diam kau, sama-sama Paracetamol, jadi fungsinya sama saja bodoh!” Dewi yang ingin
Andri cepat sembuh memberi obat khusus untuk orang dewasa.
Karena bentuk pil sangat besar, Dewi pun berinisiatif untuk menghancurkan pil tersebut terlebih dahulu. Setelah itu ia masukkan ke dalam tabung suntik, tak lupa ia tambahkan air ke dalamnya, selanjutnya Dewi mencabut jarum suntik, agar tak mengenai bagian mulut Andri nantinya.
“Pakai ini biar cepat, dan pastinya langsung sampai ke perutnya.” kemudian Dewi membuka mulut keponakanya yang masih menutup mata. Selanjutnya Dewi memasukkan tabung suntik itu sambil ke pangkal lidah Andri.
Srutt!!
Dewi menekan plunger suntik, agar obat yang telah tercampur dengan air keluar dan masuk ke perut keponakannya.
Dewi merasa lega, setelah menyelesaikan tugasnya.
“Beruntung, Andri kalau sakit tidak menangis, tidur yang nyenyak ya Ndri.” Dewi yang tak memiliki pengalaman merawat anak kecil salah mengira, ternyata lelapnya Andri bukan karena ngantuk, melainkan kehilangan kesadaran yang di sebabkan step atau biasa disebut kejang demam.
“Tapi tante, Andri enggak biasanya begini, tidurnya terlalu lama.” Emir merasa janggal dengan perubahan tidur sang adik.
“Wajar Emir! Orang Dewasa saja bangun dan tidurnya itu tidak tentu! Kau masih kecil sok pintar banget, mengatakan ini dan itu pada ku! Sudah, sebaiknya kau mandi dan makan sendiri!” Dewi yang ingin melanjutkan tidurnya yang tertunda, berniat untuk segera kembali ke kamar iparnya.
“Tante...” Emir memanggil Dewi.
“Apa lagi bawel?!” pekik Dewi.
“Kenapa tante selalu dekat dengan papa ku?”
Mendengar pertanyaan kurang berbobot dari Emir, membuat Dewi tertawa getir.
“Jangankan dengan papa mu, aku juga dekat dengan kekayaan ku, hahaha!!” tawa Dewi kian melengking. Kemudian ia keluar dari kamar keponakannya.
Pukul 15:00, Dewi yang baru bangun dari tidurnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu, ia pergi ke kamar keponakannya.
“Apa Andri sudah bangun?” tanya Dewi pada Emir yang duduk di sebelah adiknya yang masih berbaring.
“Belum tante, kita bawa ke rumah sakit saja ya tante, aku takut adik sakit parah.” perasaan Emir sungguh tak tenang, sebab adiknya belum bangun sejak menutup mata mulai tadi malam.
“Ya Tuhan, kau jangan lebay Mir! Adik mu hanya demam biasa, kalau ke rumah sakit, dokter juga akan memberi obat yang sama, kau itu kecil-kecil sudah kelihatan watak borosnya.” Dewi mengkritik sifat keponakannya.
Emir menundukkan kepalanya, kemudian ia merebahkan tubuhnya di sebelah sang adik.
“Ade, cepat sembuh ya, abang enggak punya teman kalau ade sakit.” Emir pun memeluk Sang adik. Kemudian Emir membenamkan wajahnya ke bahu Andri, agar sang tante tak melihat ia meneteskan air mata kesedihannya.
“Ehm, apa kau sudah makan?” tanya Dewi, sebab ia takut jika Emir menyusul sakit.
“Belum tante,” sahut Emir, seraya menyeka air matanya dengan tangan baju adiknya.
“Kenapa? Harusnya kau makan, atau kau sengaja ya? Agar aku kesusahan?” Dewi memelototi keponakannya.
“Lauknya pedas tante, aku enggak bisa makan,” ucap Emir.
“Minta saja makanan lain pada Art! Otak mu jalan sedikit Emir!” Dewi semakin di buat stres oleh keponakannya.
“Iya tante.” karena tak ingin mendengar tantenya marah-marah, Emir beranjak ke dapur.
Sesampainya ia, Emir memegang ujung baju Wina.
“Bi, tolong masak bubur untuk ku.” Emir meminta tolong pada Art yang baru ia kenal.
Lalu Wina yang sedang mencuci piring di wastafel melirik tajam pada Emir yang ada di sebelahnya.
“Apa tuan muda yang terhormat tak melihat
apa yang sedang saya kerjakan saat ini?” Wina meniru sikap keji Dewi pada kedua tuan mudanya.
“Tapi aku lapar, dan tentu juga menyuruh ku untuk segera makan.”
Wina yang mendapat pemaksaan dari Emir menarih kasar piring yang ada di tangannya ke wastafel.
“Tangan ku hanya ada dua tuan muda! Aku tak bisa mengerjakan semuanya sekaligus, kalau tuan muda ingin bubur, masak saja sendiri, lagi pula, kalau benar-benar lapar, pasti tuan muda makan apa saja yang ada, termasuk batu rebus!”
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Qorie Izraini
ayah, tantedan majikan sama saja kelakuan ny
semoga cepatdapat karma yg setimpal dsn lebih menyakit ksn
2022-11-14
3
Uthie
kejam banget ini... kaya di sinetron azab... 😨
2022-07-08
2
Lestari
pembantu sama majikan sama jahtnya
2022-07-06
0