“Dia laki-laki normal, kau harus jaga martabat mu sebagai perempuan. Jangan pernah kau ulangi lagi. Sebaiknya sekarang kau pulang, jangan datang kemari lagi, sebelum kau menyesali perbuatan mu!”
“Tapi kak...” Dewi sungguh tak terima dengan keputusan kakaknya.
“Jangan banyak bicara, kau perlu merenungi segala yang kau lakukan!” pekik Fi.
Krieett...
Netra kakak beradik itu pun beralih ke suara pintu yang baru terbuka.
Ternyata itu adalah Asir. Suami yang tak bisa menjaga perasaan istrinya.
“Untuk apa kau menghukum Dewi, Fi? Dia hanya belajar dengan ku, otak mu jangan terlalu kotor, aku hanya kasihan pada Dewi yang telah ku anggap adik kandung ku sendiri, tolong kau jangan berprasangka buruk pada ku atau dia, aku menyayanginya, karena dia adalah saudari mu, ku tahu, kau dan Dewi kurang kasih sayang dari ibu kandung dan ayah kalian, aku hanya ingin jadi mas yang baik untuknya, apa itu salah?” pernyataan Asir membuat Fi makin murka.
Namun ia tak ingin berdebat panjang dengan suaminya.
“Pokoknya, Dewi tak boleh kesini, sebelum menyesali segala perbuatannya, titik!” keputusan mutlak Fi membuat Asir dan Dewi tak bisa berbuat apapun.
Dewi yang marah menghentakkan kuat kakinya ke lantai, seraya keluar dari kamar keponakannya.
“Kau benar-benar keterlaluan! Tak bisa memaklumi adik mu yang kurang kasih sayang!” bukannya mengambil hati Fi, Asir justru memarahi istrinya. Dan yang paling parah, suaminya lebih memilih untuk mengejar Dewi.
Fi mengelus dada karena kecewa, namun ia harus tetap kuat, demi sang buah hati. Sebab jika ia stres maka air susunya akan berkurang.
Setelah hari itu, Dewi tak datang ke kediaman kakaknya selama 1 bulan lamanya.
Hingga di suatu hari, Fi yang baru pulang dari klinik masuk ke dalam kamar Emir.
Ia yang lelah duduk di atas ranjang yang di sediakan untuknya dan suami jika ingin tidur disana menemani Emir sebelum terlelap.
“Eh, apa ini?” Seprei biru muda tanpa motif yang baru di cuci menyisakan darah segar yang entah milik siapa.
“Apa aku datang bulan?” Fi pun berinisiatif untuk mengecek celananya. “Bersih.” gumamnya.
Krieett... Pandangan Fi pun beralih ke pintu kamar mandi yang baru terbuka.
“Kau?” Fi mengernyitkan dahinya.
“Kakak...” Fi melihat wajah adiknya yang mendadak pucat. “Sejak kapan kakak pulang?” tanya Dewi dengan langkah terpingkal menuju Fi.
“Apa ini bekas darah mu?” Fi menunjuk ke arah seprei.
“I-iya kak, aku tak sadar kalau aku haid, dan saat di kamar mandi aku malah terpleset, hehehe.” Fi sempat ragu. Namun karena suaminya sudah berangkat kerja sebelum ia pergi ke klinik, membuat ke khawatirannya sedikit berkurang.
“Oh, aku titip Emir,” ucap Fi.
“Kakak mau kemana?” tanya Dewi.
“Ke dapur, aku mau makan.” setelah itu Fi keluar kamar, dan melangkahkan kakinya menuju dapur.
Sesampainya Fi, ia pun di sapa oleh Winda, Art senior di rumahnya.
“Tuan sudah berangkat nyah?” tanya Winda.
“Bukannya tadi pagi kau lihat sendiri dia pergi?” jawab Fi, karena saat Asir berpamitan di teras padanya, Winda juga ada disana.
“Tuan kembali lagi saat nyonya sudah pergi ke klinik,” ujar Winda.
Deg!
“Apa?” netra Fi membelalak.
“Lalu, sejak kapan Dewi ada di rumah?” tanya Fi penasaran. Sebab ia takut kecurigaannya benar.
“Memangnya nona Dewi kesini ya nyah?” ternyata Winda tak tahu, jika Dewi datang ke rumah itu.
“Ya, dia ada di kamar Emir,” ucap Fi.
“Mungkin baru datang nyah, karena saya tak melihat kalau nona Dewi disini sejak tadi.” pernyataan sembarang dari Winda membuat hati Fi sedikit tenang.
Dan kecurigaannya pun perlahan pupus, sebab Dewi sudah tak pernah menginjakkan kaki lagi di rumahnya. Dan Asir pun perlahan mulai baik lagi padanya. Terbukti dengan dirinya mengandung anak kedua.
Namun ada yang berbeda dari Asir di mata Fi, sang suami makin menjauh darinya, sejak kehamilan keduanya. Sampai saat ia melahirkan, Asri tak mau satu ranjang lagi dengannya.
“Aku takut kau tak nyaman, dan aku lelah di kantor, suara Andri juga sangat bising, aku tak bisa tidur jadinya.” alasan itulah yang membuat Asir memilih tidur di kamar tamu.
Flash Back Off
“Hiks... ternyata kecurigaan ku selama ini benar, hiks... Wi, kurang baik apa aku pada mu, kau adik ku satu-satunya, tapi kau tega menghancurkan rumah tangga ku.” Fi menangis dalam dinginnya ruang rumah sakit yang ia tempati.
Saat ia masih dalam dukanya, tiba-tiba Yuri datang menjenguknya.
Krieett... wanita tua dan rentan itu masuk dengan memegang pinggangnya yang masih terasa sakit akibat ulah anak sambung dan menantunya.
Fi menoleh ke sang ibu yang begitu menyayanginya.
Dan Yuri pun duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Fi.
“Jangan menangis lagi nak, hapus air mata mu, semua sudah terjadi, perbanyakan sabar, Allah tidak tidur.” meski Yuri menguatkan putrinya, ia sendiri menangis sesungukan pada penderiataan Fi, putri yang menyayanginya selama ini.
“Bu... hiks... maafkan aku, harusnya aku mendengar apa kata ibu dulu, ternyata dia memang laki-laki tak benar, hiks...” air mata Fi dan Yuri terus bercucuran. Mereka adalah dua wanita yang berhasil Dewi runtuhkan hati dan kepercayaannya.
“Tidak nak, ibu yang harus minta maaf, saat itu kau masih muda, belum bisa mengambil keputusan dengan benar, tapi ibu... yang sudah tua ini, tak menguatkan mu untuk tak menerima Asir, hiks... maafkan ibu mu yang tak berguna ini. Hanya karena harta, ibu mengizinkan mu menikah dengannya, dan ibu juga gagal mendidik Dewi, ibu yang salah Fi.” tangisan Yuri semakin pecah, saat mengingat kebodohannya.
Tangisan keduanya baru mereda, saat Alisyah sang ibu mertua masuk ke dalam ruangan.
“Apa ada yang mati disini?” ucapnya seraya menatap tajam ke arah Fi.
“Bu...” suara redup Fi membuat ibu mertuanya semakin pusing.
“Silahkan duduk bu.” karena hanya ada satu kursi di sebelah ranjang Fi. Yuri bangkit dan memberi tempat duduk pada besannya.
Alisyah tanpa basa basi duduk di kursi yang di berikan Yuri.
“Apa ku bilang, adik mu itu tak beres! Sejak awal ku suruh kau menyekolahkannya keluar kota, tapi kau malah menolak! Sekarang lihat! Rumah tangga mu hancur berantakan! Kau itu hanya wajahnya saja yang cantik, eh! Bukan, sekarang kau jelek, otak mu juga bodoh! Coba kau berkaca, dan lihat seberapa buruk wajah mu!” kata-kata pedas Alisyah begitu menusuk telinga besannya.
“Maaf bu.” ucap Fi dengan penuh penyesalan dalam hatinya, sebab ia tak mendengar semua nasehat yang mertuanya katakan selama ini.
“Hanya maaf yang bisa kau katakan pada ku! Aku sudah muak dengan kebaikan hatimu yang berlebihan, karena itulah penyebab kau di rendahkan oleh suami dan juga adik mu, kalau sudah begini kau mau apa? Hah? Bisa apa ku?! Aku tak bisa membantu mu, karena dari awal aku sudah mengingatkan mu!”
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Alanna Th
alisyah sptnya baik n tegas. smoga bisa bantu fi bangkit dari ktrpurukn 🙏😱😫😱😵😥💔💔
2023-06-05
0
Juan Sastra
mulut mertuanya asal jeplak namun niatnya baik ..
2023-02-22
0
Risky Titi sarlinda
di sini fi juga salah tidak memperhatika penampilan tapi ya kalau suami kasi uang juga buat jaga penampilan hub pusing juga
2022-07-31
0