Uang

"Maaah, dodo." Pinta Chika dengan mulut comelnya. Bergegas aku ke dapur dan akan membuatkan dia dot. Namun saat membuka toples susu kulihat tinggal separo. Begitu aku beralih membuka laci penyimpanan, stock susu sudah tidak ada.

"Tinggal ini yang terakhir." Ucapku lirih, dengan takaran sendok seadanya aku membuatkan Chika dodot. Entah bagaimana dengan rasanya, mungkin saja hambar. Chika hanya diam menikmati minumannya tanpa keluhan. Jelas saja, ia belum bisa bicara dengan jelas.

"Yank, susu dede habis. Nanti pulang kalau ada uang belikan sekalian ya." Aku mengirim pesan ke Lana

"Iya." Balasnya singkat

Namun fikiranku kalut, karena Lana sendiri juga tidak punya uang. Sekalipun Lana adalah pimpinan perusahaan, gaji kami selalu saja kurang. Terkadang gaji yang ku dapat tidak setiap bulan ku terima, terkadang dua bulan sekali gajian bahkan pernah empat bulan baru gajian. Sehingga aku harus pakai gaji suami untuk bayar angsuran bank juga bayar kontrakan rumah.

Ckreeeekkk "Assalamualaikum," terdengar pintu terbuka Lana masuk rumah, sembari tersenyum ia menyerahkan kantong plastik berisi sekotak susu untuk anaknya.

"Uang dari mana, yank.?" Tanyaku penasaran

"Tadi aku pinjam sama Andre, nih masih ada lebihan." Jawabnya sambil menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu, mataku berbinar melihat kertas merah itu.

"Alhamdulillah, ada buat beli sayur dan lauk." Ucapku menghampirinya dan memeluknya.

"Iuuuuh, bau. Sana, mandi gih." Ucapku sambil memukul punggungnya pelan

"Entar aja, Chika sayaaaang. Duuh, anak papah yang cantik ini.." ucapnya sambil mencium Chika.

Tak berapa lama ia bermain dengan Chika lantas beralih dengan kekasih setianya lagi, siapa lagi kalau bukan handphone. Pulang kerja bukannya bermain, bercengkrama bersama anak istri. Tapi selalu saja handphone-nya yang diutamakan. Bahkan aku terkadang mencemburui handphonenya yang selalu setia menemani bahkan sampai ke kamar mandi pun selalu bawa handphone. Heran

Saat Lana sedang tertidur perlahan aku buka lemari dan membuka pelan dompetnya yang disimpan diantara lipatan baju. Mataku terbelalak lebar melihat isinya, beberapa lembar uang lima puluh ribuan ada disana. Saat ku hitung kira - kira ada dua puluh lima lembar. Uang apa ini !? Batinku bertanya - tanya. Jika mungkin uang penjualan produk buat apa dia bawa pulang, harusnya langsung diserahkan ke kasir.

Subuh sekali aku bangun, ambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Lana dan Chika masih terlelap, meski sesekali aku bangunkan Lana untuk sholat namun ia tak bergeming sedikitpun. Terkadang itu yang membuat aku sedih, sebagai kepala rumah tangga seharusnya suamilah yang membimbing istrinya untuk lebih baik. Namun jika bukan suami, istri pun tak masalah. Tapi jika sudah sulit seperti ini untuk menyadarkannya aku pun bingung harus berbuat apa. Aku berharap Lana segera mendapat hidayah, supaya dia bisa bertobat.

Jam sudah menunjukkan pukul 06.49 wib. Lana dan Chika masih juga belum bangun. Sarapan sudah siap dan aku sudah menghidangkan di meja makan lengkap dengan teh hangat kesukan suamiku. Perlahan aku membangunkannya, ia tampak ogah - ogahan untuk bangun. Lantas aku pun berbaring diatas tubuhnya.

"Ochhh, bangun ahhh. Kamu itu berat, ihhh bau bawang lagi." Ucapnya protes, namun aku masih tak beranjak, sampai ia berusaha mengangkatku keluar kamar.

"Cuci muka dulu sana, sarapan sudah siap." Ucapku sambil menuangkan teh hangat untuknya.

"Masak apa?" Tanyanya lagi sambil menuju kursi

"Ihhh, kok nggak cuci muka dulu sih. Itu ada sambel ayam suwir sama gurame goreng, sayurnya itu beningan..?"jawabku sambil menuangkan nasi ke piringnya

"Heee, sekalian nanti kan mandi."

Lana tak pernah memuji masakanku, namun yang ku tahu setiap makan selalu habis. Bahkan sering nambah berkali - kali. Mungkin dari situ tanpa harus dijelaskan bahwa masakanku enak, terlihat dari cara makannya yang selalu habis. Mungkin

Sebenarnya aku penasaran dengan uang di dompetnya. Namun aku tak berani membuka mulutku untuk bertanya. Dan kenapa ia hanya memberiku sebesar tiga ratus ribu saja sementara di dompetnya penuh. Apa mungkin Lana sengaja mau menabung sendiri uangnya atau tak ingin di ganggu gugat, atau mungkin. Banyak sekali pertanyaan bermunculan dikepalaku.

"Dompet kamu tebal banget, yank. Uang apa..?" Lana menghentikan sejenak mengunyah makannya dan menatapku.

"Kamu suka banget bongkar barangku, nggak hp, nggak dompet..!!" Lana kesal, aku diam sejenak. Kenapa dia jadi sekesal itu. Aku hanya menelan ludahku dan beranjak dari kursiku menuju kamar.

"Ngambek, ngambek, marah.." ucapnya menyudahi makannya dan mencuci piring. Yang ku suka darinya ya seperti itu, setelah makan ia akan langsung mencuci sendiri piringnya. Ia menyusulku ke kamar, menuju lemari dan meraih dompetnya. Lantas menyerahkan uang itu padaku, ia menyisakan empat lembar untuk pegangannya.

"Disimpan ya, buat kebutuhan dirumah."ucapnya, aku pun tersenyum.

"Dasar wanita, kalo sudah lihat yang biru ato merah - merah aja langsung seneng. Hedeeeh..."

"Uang dari mana yank, bukannya insentif belum keluar.."

"Udah pake aja.."

Meskipun aku penasaran tapi tertutupi dengan uang peganganku ditangan, setidaknya aku tidak khawatir untuk beberapa hari kedepan sampai tiba gajian selanjutnya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!