"Jane, Lana akan ke Kota G tanggal 14 sampai tanggal 17, kemungkinan balik tanggal 19." satu pesan dari Kak Fanya, itu artinya Lana akan meninggalkan kami selama semingguan untuk pertama kalinya.
"Ada acara apa kak ?" tanyaku pada Kak Fanya
"Launcing produk baru, Jane. Kamu nggak apa - apa kan ditinggal?"
"Enggak apa - apa, Kak. Buat pengalaman juga sih, pasti nanti akan sering ditinggal gini kaan.."
"Iya juga sih. Lagian nggak lama juga kok.."
"Iya, kak.."
Untuk pertama kalinya sejak kami pindah rumah, Lana meninggalkan kami hanya berdua. Aku pun mengepakkan barang yang akan ia bawa ke sana. Tak lupa peralatan sholat, mungkin hatinya akan terbuka untuk beribadah.
"Sayang, papah pergi dulu ya. Baik - baik sama mamah. Jangan cerewet.." ucap Lana seraya mencium kening anaknya yang masih tidur.
"Aku pamit ya, kamu baik - baik dirumah. Dilihat pintu dan jendela kalo tidur." pinta Lana
"Iya, iya.." jawabku singkat, lantas ia pun mengecup bibirku mesra. Tak ingin rasanya jika harus ditinggal. Tapi ini semua demi tugas yang harus ia emban.
Kak Fanya memilih Lana sebagai pemimpin perusahaan di Kota S. Karena pemimpin sebelumnya telah mengundurkan diri karena tak sanggup akan tuntutan kerjanya yang banyak dan target yang harus dicapai. Banyak yang menentang Kak Fanya, karena memilih Lana. Terlebih Lana adalah adik ipar, itu yang membuat orang - orang dikantor jadi tak respect pada Kak Fanya karena terkesan pilih kasih. Apalagi Lana masih baru dan belum berpengalaman.
Disisi lain, aku sendiri sangat tidak setuju akan pengangkatan itu. Meskipun tak utarakan secara langsung pada Kak Fanya. Aku tahu sekali kemampuan suamiku, bukan tidak mendukung. Lana belum pantas menyandang sebagai pemimpin. Untuk memimpin rumah tangga saja ia belum bisa apalagi untuk perusahaan yang besar. Tapi aku hanya diam, dan hanya melihat apa yang akan Lana lakukan untuk memajukan perusahaan itu.
Aku diterima bekerja di toko bunga, meskipun dengan gaji kecil itu membuatku bisa membayar angsuran bank. Senangnya lagi, aku bisa membawa serta Chika bekerja. Disana juga ada beberapa anak pegawai lain yang juga membawa anaknya, sehingga Chika ada temannya bermain.
Seminggu berlalu, Lana langsung ke Kota A dan menginap dirumah mertua. Sementara aku dan Chika masih di Kota S. Saat akan meletakkan tubuhku dikasur, setelah seharian berjibaku dengan cucian baju dan pel - pelan. Tiba - tiba handphone ku berdering, saat ku lihat dilayar kacanya ternyata dari Kak Fanya.
"Jane, kamu dimana?" Tanya Kak Fanya lewat chatting.
"Di Kota S kak, kenapa ?" aku penasaran
"Kapan kamu bisa ke Kota A, ada banyak hal yang akan aku sampaikan terkait soal Lana.." mataku langsung terbelalak, jantungku berdegup sangat kencang. Segala hal berkaitan dengan Lana selalu saja membuat hatiku tak karuan.
Kak Fanya penasaran akan suatu hal, jika Lana menyembunyikan sesuatu. Sebab saat acara launching berakhir, Lana tak berniat ikut jalan - jalan dengan alasan lelah. Padahala saat acara, Lana sangat antusias sekali membawa rekan - rekannya untuk belanja. Aku pun berusaha berfikir positif, memang kemarin adalah bertepatan dengan gajinya yang baru saja keluar. Sudah pasti bisa buat belanja. Dan Lana belum ada transfer ke rekeningku.
"Jane, bukan Kakak suudzon. Coba kamu cek hp Lana nanti, dan lihat apakah ada app m* chat. Itu app nggak bagus. Dan ada unsur po**o. Sekali lagi Kakak nggak bermaksud.. Karena saat Lana tak ikut jalan - jalan kemaren, Fardan membahas soal itu dan mengaitkan nama Lana."
"Iya, Kak. Terima kasih atas sarannya. Aku akan coba melihatnya nanti."
"Kamu jangan langsung ambil keputusan sekarang ya, ataupun menghubungi Lana. Karena kalau jauh begini, kita tidak akan tau. Dan lagi, apakah Lana itu sering sholat. Aku ajak kemaren, kok bilang nggak bawa sarung!!" aku hanya menelan air liurku yang terasa hambar, bagaimana mungkin Lana berkata seperti itu. Sudah jelas - jelas aku memasukan sarung dan baju koko.
"Kalo dirumah sholat kok, Kak." ucapku berdalih. Meskipun harus aku teriaki dulu dengan berbagai macam ceramah singkat. Bahkan aku sempat memgancam Lana untuk tidak perlu istri menghargai suaminya jika tak pernah beribadah. Salah memang, tapi hanya itu yang bisa membuat suamiku sadar. Dan omelanku seperti emak - emak yang marah sama anaknya, untuk disuruh sholat.
Entah ada angin apa, tetiba Lana menggunakan sarung lengkap dengan koko dan peci.
"Mau kemana?" tanyaku ****.
"Masjid lah sayang, masa mau ke kuburan." jawabnya, sambil mengusap pipiku. Aku pun tersenyum lebar penuh arti. Alhamdulillah, suamiku berubah. Terima kasih ya Allah, ucapku syukur dalam hati sambil menutup pintu.
Ku lihat Chika masih tidur, anak ini sangat manis sekali sih. Pikirku, sambil mencium wajahnya yang imut. Aku pun menatap handphone Lana yang tergeletak diatas kasur. Cepat aku menyambarnya, karena aku tahu paswordnya aku pun perlahan membuka isi chattingnya.
Sejauh ini belum ada yang aneh dengan isi chattingnya, hanya beberapa konsumen yang menanyakan beberapa produk. Iseng - iseng aku membuka galeri foto, melihat perjalanannya di Kota G. Pasti suamiku tak meninggalkan moment seru di kota orang. Karena aku, bahkan siapa pun pasti akan berfoto ditempat - tempat yang belum pernah dikunjungi.
Entah kenapa, mataku tertuju pada berkas foto yang dihapus. Saatku kubuka, betapa aku tak menyangka apa yang suamiku lakukan. Aku hanya menutup mulutku tak menyangka, seraya mengirimkankan beberapa foto yang sudah dihapus ke nomorku. Serta bukti transfer transaksi yang ia lakukan peda dua orang berbeda.
Terdengar pintu rumah dibuka, aku pun sudah siap dengan baskom berisi garam serta pisau ditanganku.
"Assalam...."
Srrrrhhhhh... bruuuukk...
"Apa - apaan kamu hah, kamu mau bunuh aku!!?" ucapnya lantang, saat baru saja ia mau masuk rumah sudah ku siram dengan garam dan ku lempar pisau. Untung saja tak mengenai badannya. Setan sudah merasukiku, dan aku berharap setan itu juga pergi seiring dengan lemparan garamku ke wajahnya.
"Gaji kamu mana? Kamu kirim ke siapa hah. Tega - teganya kamu chatingan sama pela**r dan tidur dengan dia, hah. Kamu punya anak, kamu nggak mikir ke situ. Baji**n, kamu."ucapku geram, Lana tampak membelalakan mata.
Aku buka aplikasi m-bankingnya pun membuatku tak percaya apa yang sudah ia lakukan, dua nama orang yang ia transfer. Bahkan saldo di ATM-nya tinggal delapan puluh sembilan ribu. Ya Allah, gaji dia hampir lima jutaan. Bahkan belum ada transfer ke istrinya.
"Kamu periksa hp aku..?"
"Iya memangnya kenapa, kamu takut ketahuan aku, makanya kamu hapus. Kamu, **** ya!!" sambil memukulnya
"Kita cerai aja, mumpung Chika masih kecil. Mumpung kita nggak punya harta dan rumah. Jadi kamu bisa bebas dengan wanita manapun.."
"Kamu ngomong apa hah, aku nggak tidur sama perempuan itu. Aku nggak tidur.." ucap Lana galak
Braaaak, ia memukul kaca lemari. Ku lihat tangannya berdarah, lantas ia memelukku erat.
Jadi sholat itu hanya menutupi kedoknya setelah melakukan perbuatan tidak senonoh. Menzolimi istri dan anaknya, lantas ia segera bertobat. Sungguh sikap kamu picik, Lana. Aku benci kamu.
"Aku memang chat dia, tapi aku nggak sempat tidur dengannya. Maaf, aku hanya iseng. Aku khilaf, aku khilaf, maafkan aku sayang. Aku sayang kamu dan anak kita.." pintanya lagi sambil terus memelukku, aku berusaha melepaskan pelukannya dan tak kuasa menahan air mataku yang terus keluar dengan derasnya.
"Berapa puluh kali aku maafin kamu, berapa kali kamu sudah menyakiti aku. Aku selalu memaafkan kamu. Dan kamu selalu melakukan hal yang sama. Aku memang bukan wanita yang kamu harapkan dari dulu, karena yang kita lakukan hanya terpaksa. Makanya kamu nggak pernah sedikitpun menghargai aku.." ucapku sambil terisak
"Maafkan aku sayang, ini terakhir kalinya aku menyakitimu. Anak kita, lihat anak kita. Kita bahagiakan dia sama - sama. Aku bener - bener minta maaf, tapi aku berani sumpah aku nggak tidur sama wanita itu.." Lana berusaha meyakinkan aku..
Berat sungguh hati ini untuk menerima kenyataan yang menyakitkan. Terlepas ia bersungguh - sungguh tidak melakukannya atau melakukan, yang hanya difikiranku ini sudah sangat menyakiti. Dan ini yang paling parah. Tak pernah sedikitpun aku merasakan kebahagian yang lama dalam berumah tangga, selalu saja dengan masalah yang sama. Lana selalu saja begitu dan tak pernah berubah sedikitpun penyakit selingkuhnya.
Aku sering bertanya, apa salahku, apa kekuranganku, apa yang membuat ia selalu berpaling dariku. Aku membuatnya nyaman dirumah, aku melayaninya sepenuh hati. Apa karena aku tak cantik seperti wanita lain, tak seksi seperti wanita lain.
"Kamu cantik, kamu baik, kamu istri yang penyabar dan setia. Hanya aku, aku yang salah langkah, aku yang tak mensyukuri apa yang aku miliki saat ini. Aku minta maaf, maaf, mungkin kamu sudah bosan. Tapi aku tak akan seperti ini lagi. Aku janji.." Lana mengiba, dan memelukku.
Dan kekerasan hatiku pun luluh, segampang itukah diriku memaafkan kesalahannya. Lagi dan lagi, perbuatannya seperti itu. Aku tak sanggup, sungguh aku tak sanggup. Namun aku selalu memikirkan nasib anakku yang masih kecil dan bagaimana dengan masa depannya kelak jika tak ada ayahnya disisi kami. Bahkan di hadapan Allah dan penghulu kami telah mengikat janji suci. Tapi jika mengingat perbuatannya itu yang membuatku lagi terluka.
"Gaji kamu kemana ? Kenapa cuma ada delapan puluh sembilan ribu rupiah, hah!! Kemana??" tanyaku marah dengan mata nanar
"Aku nggak tahu, yank. Sungguh. Bahkan aku nggak sadar saldonya tinggal segitu.." Lana berdalih. Aku merasakan keganjalan dihatiku, pasti ada yang Lana sembunyikan.
"Besok kita ke bank, aku mau tanya rekening koran. Kemana saja kamu transfer. Kenapa kamu seperti ini, ya Allah.." lagi - lagi aku terisak, Chika tak sedikitpun terganggu akan pertengkaran kami.
"Aku minta maaf ya, maaaaaf. Iya besok kita ke bank dan menanyakan kemana uang itu." Lana meyakinkanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments