Waktu terus berjalan, Elana kini sudah duduk di bangku sekolah kelas dua belas semester akhir. Dia kini semakin giat belajar untuk mendapatkan beasiswa yang pernah di ucapkan oleh ibu Sinta.
"Kamu mau berangkat El?" tanya Mourin.
"Iya ma, sekarang lagi ada belajar tambahan di sekolah. Jadi pulang juga sore terus ma, mama ngga apa-apa kan di tinggal El sampai sore?" tanya Elana.
"Ya ngga apa-apa, yang penting kamu belajar ngga keluyuran kemana-mana." jawab Mourin.
"Aku ngga punya waktu untuk pergi keluyuran ma, siapa juga yang mau ajak aku keluyuran." ucap Elana.
Mourin diam, dia menatap Elana yang masih memakaikan sepatunya.
Karena dia, Elana tidak punya teman di sekolahnya. Karena dia juga Elana jadi di ejek sejak masuk sekolah dan sejak kecil. Mourin menghela nafas panjang, lalu membantu Elana mengikat tali sepatunya.
Elana memandang Mourin, dia salah bicara pada mamanya itu.
"Maaf ma, aku tidak suka pergi jalan-jalan aja. Mending belajar di perpustakaan atau pergi ke toko buku." ucap Elana.
"Mama yang harus minta maaf, El. Karena mama kamu jadi tidak punya teman sampai sekarang. Maafkan mama." kata Mourin lirih.
Elana diam, dia melihat kembali Mourin bersedih lalu memeluknya.
"Sudah ma, jangan di sesali lagi. Mama sudah mendapatkan balasannya kok. El tidak mempermasalahkan semua yang sudah terjadi pada El, ma. Semua sudah takdir Tuhan." ucap Elana dengan bijaknya.
Dan tangis Mourin pecah kembali, dia terisak kuat sampai batuknya kambuh lagi.
"Mama masih batuk?"
"Ngga, karena mama menangis jadinya batuk." kilah Mourin.
Dan Mourun pun berhenti menangis, setiap waktu selalu saja ada keharuan dan kesedihan yang mereka alami. Mourin yang selalu merasa bersalah, dan Elana yang kasihan dengan keadaan ibunya. Setelah lulus sekolah, Elana berjanji akan menjaga ibunya hingga sembuh.
Tinggal tiga bulan lagi, dia memasuki ujian nasional. Dan dia ingin medapatkan beasiswa untuk masuk ke perguruan tinggi di kota itu saja, agar bisa mengawasi dan menjaga Mourin. Cita-citanya untuk kuliah di luar negeri dia pupuskan. Biar nanti setelah lulus sarjana dan ingin meneruskan ke S2, akan mencari sponsor untuk membiayainya pergi ke luar negeri.
_
Seperti biasa Elana sedang berada di perpustakaan, dia membaca beberapa buku untuk menghadapi ujian nasional nanti yang hanya tinggal sati bulan lagi.
Dia semakin giat belajar, karena mengejar beasiswa yang di berikan bagi siapa saja yang berprestasi di sekolah Harapan di mana Elana menuntut ilmu.
"Tidak pantas anak seorang narapidana mendapatkan beasiswa. Gue yakin dia tidak akan mendapatkannya tahun ini, dan aku yang pasti mendapatkannya." kata salah satu siswa yang sama berada di perpustakaan dan berada satu meja juga dengan Elana.
Dia duduk dengab teman-temannya, sedangkan Elana duduk agak jauh. Dia sengaja duduk menjauh agar mata yang mengarah padanya tidak terlalu banyak yang menatapnya sinis.
"Dia juga butuh uang untuk belajar, makanya setiap pulang sekolah bantu mencuci piring di ibu kantin. Hahaha.." kata temannya.
Sontak saja ucapannya itu membuat semua yang ada di perpustakaan melihat ke arah Elana dan tertawa sinis juga.
Elana diam, dia tidak menggubris ucapan sindiran siswa-siswa itu.
Kembali sindiran pedas di ucapkan oleh siswa yang tadi dan di sahuti oleh teman lainnya.
"Mana bisa dia mendapat beasiswa di sini, dia kan miskin. Tapi memang sih miskin juga berhak dapat bantuan, tapi bukan beasiswa. Hahaha.."
"Mana ada anak narapidana itu berprestasi." ucap teman lainnya.
Mungkin mereka bukan siswa satu kelas dengan Elana, tapi kelas lain yang tahu setiap hari Elana ada di perpustakaan membaca buku pelajaran atau ensiklopedia.
"Anak-anak, jangan berisik di perpustakaan. Di sini tempat orang belajar, bukan orang ngerumpi." hardik penjaga perpustakaan itu.
Kemudian anak-anak tadi keluar dari perpustakaan, dan sebelum keluar mereka kembali mengatakan kalau Elana adalah gadis aneh. Dan tawa mereka kembali pecah, Elana hanya diam saja menatap kepergian mereka.
_
"Mana bisa pak di alihkan, kan kasihan Elana yang bekerja keras tapi malah orang lain yang mendapatkan beasiswa." kata ibu Sinta pada kepala sekolah.
"Tapi pak Darmawan meminta untuk anaknya, anaknya itu merasa bangga kalau mendapatkan beasiswa itu, kalau jatuh ke Elana donaturnya akan di tarik. Ibu tahu sendiri donatur sekolah yang paling besar itu dari pak Darmawan. Jika Elana yang dapat, saya sebagai kepala sekolah merasa tidak enak. Apa lagi Elana ini siapa? Dia cuma anak seorang narapidana, tidak ada yang membanggakan dia jika dapat beasiswa." kata kepala sekolah seoalah menyepelekan Elana.
"Tapi Elana prestasi di kelasnya bagus, setiap ujian semester selalu nilanya bagus dan juara pertama terus. Tidakkah bapak mempertimbangkan itu, setidaknya Elana masuk ke jajaran siswa yang mendapatkan beasiswa." kata ibu Sinta lagi.
Guru-guru di ruangan itu hanya diam, hanya ibu Sinta yang ngotot untuk mempertahankan Elana mendapatkan beasiswa. Karena dia wali kelas Elana.
"Keputusan saya sudah bulat bu Sinta, maaf. Saya lebih mempertimbangkan donasi yang masuk ke sekolah, bisa ibu bayangkan jika donatur itu mencabut donasinya. Apa lagi oak Darmawan yang setiap tahun menyumbang sebesar sepuluh miliar untuk kebutuhan sekolah kita. Apa ibu ingin jika donasi di cabut, semua guru gajinya di kurangi? Mengorbankan satu orang siswa itu lebih baik dari pada mengorbankan nasib guru-guru di sekolah kita. Jadi ibu Sinta mengertilah dengan keputusan saya." kata kepala sekolah lagi, menutup perdebatannya dengan ibu Sinta.
Dan kini ibu Sinta tidak busa berkutik, dia diam. Memang benar, tapi setidaknya di kasih hadiah apa pun itu sebagai penghargaan dia telah berprestasi di sekolah.
Dan ibu Sinta tetap tidak sependapat dan tidak suka dengan perkataan kepala sekolah, namun demikian dia bisa apa jika kepala sekolahnya saja mendukung orang yang lebih berkuasa dari pada siswa berprestasi. Namun, apa daya dia tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana caranya membantu Elana, tapi pikirannya buntu.
Setelah rapat antara guru dan kepala sekolah, semua membubarkan diri dan keluar dari ruang rapat. Banyak guru yang berbisik tentang Elana juga keputusan kepala sekolah. Terlebih lagi ibu Sinta yang ngotot membela Elana.
Mereka berpikir secara realisitis, jika donasi di cabut. Maka gaji guru-guru akan berkurang, dan mereka tidak mau itu terjadi. Lebih baik mendukung pendapat dan keputusan kepala sekolah, mereka berpikir hanya seorang Elana. Tidak ada yang marah atau mengancam. Jadi lebih baik sependapat dengan kepala sekolah saja.
Mereka pikir, siswa yang berprestasi bukan hanya Elana. Masih ada lagi yang berprestasi.
Dan ibu Sinta hanya menunggu ujian nasional untuk bulan depan, dia tetap mendukung Elana untuk giat belajar dan terus berprestasi meski tidak ada penghargaan dari sekolah.
"Maafkan ibu, Elana. Ibu sudah berusaha mempertahankan dan memperjuangkanmu di rapat tadi. Ibu salah telah mengatakan pada kamu lebih dulu, jika dia juara kelas dan juara umum akan mendapatkan beasiswa." gumam ibu Sinta yang melihat Elana dari jauh yang sedang melayani siswa yang membeli makanan di kantin.
_
_
_
❤❤❤❤❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Farra
Anak donatur yang punya banyak uang mau beasiswa juga ya.. Aneh gak udah banyak uang masih mau beasiswa. Mending di kasih pada yang kurang mampu tp prestasi bagus
2022-04-20
0
NandhiniAnak Babeh
iiih ko gtu sih kepsek 🙄🙄
2022-04-06
1
Zully
lanjut
2022-04-04
0