Bulan demi bulan terlewati. Maryam menatap Nia dengan cemas, di salah satu rumah sakit. Menunggu proses pembukaan yang sudah memasuki pembukaan delapan.
Disana ada Ummi-nya Nia juga. Sementara Ummi Salma sedang di masjid melakukan sholat Sunnah.
Wanita yang sedari tadi sudah meronta, menangis kesakitan memanggil-manggil nama Akhri. Sebab Bang Akhri sedang tidak di sisi mereka. Beliau ada pekerjaan di Pangkalpinang. seharusnya sudah sampai, sejak Maryam menghubungi sang suami. Beliau menjawab jika posisinya kini sudah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.
"Bang Akhri mana?" Teriaknya lagi, pada Ummi-nya yang sedang mengusap bagian punggung. Posisi tidurnya miring ke kiri, agar mempercepat pembukaannya.
"Sabar, Nia. Tadi suami kamu bilang sudah di perjalanan ke sini," jawab Ibunya.
"Lamaaaa! Aku sudah sakit!"
"Sabar, ya. Kamu pasti kuat kok. Tahan sedikit lagi."
"Cece tahu apa sih, ini tuh sakit beneran! Kaya pernah ngerasain aja!" Celetuknya spontan membuat Maryam bungkam. Ummi-nya Nia lantas meminta maaf. Sementara Maryam hanya tersenyum tipis, ia berusaha memahami.
Hingga sebuah salam terdengar, Akhri masuk dengan sedikit tergesa. Maryam menyambutnya. Niat hati ingin mencium punggung tangannya lebih dulu, namun Akhri justru meletakkan jaketnya di tangan yang terulur itu. Lantas bergegas mendekati Kania.
"Bang, lama banget sih pulangnya." Rengeknya yang masih merasakan melilit.
"Maaf, tadi sempat macet pas keluar dari bandara. Kamu banyakin istighfar, ya."
"Ssssssshhh ... sakit Bang."
"Tahan sebentar saja." Tuturnya lembut, setelah itu beliau turut naik, mencoba memeluk tubuh Kania dari belakang, beliau mengusap perut itu lembut. Mengikuti posisi nyaman sang istri keduanya.
Maryam nampak tersenyum getir, ini momen bahagia yang sedikit menegangkan. Namun kenapa harus merasakan sedih, dan cemburu?
Kecemburuan mu tidak tepat, Merr. Jelas Bang Akhri harus melakukan itu. Supaya Nia merasa nyaman.
Maryam memeluk jaket Akhri, lalu memutuskan untuk keluar. Sementara tatapan Akhri benar-benar tak terarah padanya. Mungkin Dia sedang fokus dengan kondisi Nia.
Hingga seorang bayi laki-laki terlahir, setelah beberapa jam menanti pembukaan itu menjadi sempurna.
Suka cita menyambut kelahiran bayi mereka, membawa serta kebahagiaan keluarga besar tersebut.
Seolah tersisihkan. Maryam merasa asing di sofa, duduk sendirian dengan jaket Akhri masih di pangkuannya.
Rona bahagia tak bisa di sembunyikan. Suaminya benar-benar bahagia.
Abang memang pernah menolak, Kania. Namun sekarang, Kania telah memberikan apa yang paling di butuhkan dalam sebuah pernikahan. Sebagai penyempurna cinta. Yaitu buah hati...
–––
Bu Karimah mengajak Maryam keluar. Mencari udara segar di rumah sakit itu. Berjalan pelan, menyusuri lorong rumah sakit yang sisi kanan kirinya terdapat taman yang tertata rapi.
"Tidak terasa sudah hampir satu tahun, berlalu. Dan aku lega, Ummi Salma akhirnya bisa tersenyum bahagia menggendong cucu pertamanya." Maryam memandang kosong kedepan, membayangkan rona bahagia yang tak bisa di jelaskan dengan kata-kata saat menggendong anak Akhri dan Kania. Tangan Bu Karimah menyentuh lembut di bahu.
"Kamu sangat kuat. Lebih dari apa yang ibu bayangkan."
"Aku, kuat?" Maryam tersenyum getir. "Nggak selalu, Bu. Seperti selayaknya wanita biasa kadang aku egois."
"Ibu paham sih."
Maryam menghela nafas, ia ingat Abang jadi lebih sering di rumah Nia. Terlebih saat ini sudah ada anak. Pasti waktunya akan semakin berkurang.
"Jujur saja, kalau boleh milih lebih enak waktu Nia ada di rumah yang Merr tinggali. Walaupun menyesakkan, tapi Merr bisa melihat Abang lebih sering. Kalau sekarang?" Bu Karimah mengusap lembut bahu Maryam. Menenangkan wanita di sisinya. "Akhir-akhir ini Maryam kesepian."
"Kamu bisa main ke rumah ibu. Supaya nggak kesepian."
Maryam mengangguk. Tetap saja malamnya aku merana, Bu.
***
Beberapa bulan berselang lagi.
"Abang berangkat dulu, nanti pulangnya Abang langsung ke rumah Maryam, ya."
"Abang kok gitu, sih?"
"Gitu bagaimana?"
"Abang ke luar kota tiga hari, habis itu pulangnya langsung ke rumah Cece. Memang Abang nggak mau ketemu Husein?"
"Hanya menginap satu malam. Ini sudah satu Minggu Abang nggak tidur di sana."
"Ya tapikan, Abang di sini ada alasan anak. kalau Cece pasti paham."
Akhri menghela nafas. "Dik, jangan buat Abang menjadi tidak adil. Abang lebih banyak menghabiskan waktu disini. Apa salahnya jika Abang juga mau menemui Dia. Yang sama-sama istri Abang? Sudah ya, Abang berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," jawab Kania sedikit kesal. Ia benar-benar semakin tak menyukai suaminya yang masih mempertahankan Maryam. Padahal baginya, Maryam sama sekali tak bisa memberikan keturunan seperti dirinya. Bukankah itu sudah tanda, jika Maryam tidak pantas untuk di pertahankan?
Mungkin jika aku hamil lagi, Bang Akhri akan semakin terikat olehku.
–––
Tiga hari kemudian...
Maryam menyiapkan makanan spesial, untuk Akhri. Dirinya yang semakin mahir memasak hidangan khas Padang, kini tengah tersenyum lebar. Memandangi beberapa menu makanan yang menjadi favorit suaminya.
"Aku tidak sabar, menunggu Abang." Maryam mengendus aroma tubuhnya sendiri. "Bau asap, aku harus bergegas mandi. Keburu Abang datang."
Buru-buru Maryam keluar dari area dapur itu. Naik ke lantai dua untuk mandi dan berganti pakaian.
Setelah bebersih, Maryam menggantung baju tidurnya. Baju dengan model yang tak terlalu seksi itu membuat Maryam senyum-senyum sendiri.
"Abang suka nggak, ya? Dengan baju tidur ini? Nggak sabar, pengen tidur bersebelahan sama Bang Akhri." Maryam, tersenyum cerah. Melirik kearah jam di dinding. "Waktu terasa lama, kapan malam datang?"
Malam harinya...
Sudah lewat pukul sebelas, Bang Akhri tak kunjung tiba. Nomornya pun tidak aktif.
"Abang kemana, ya? Biasanya Dia ngabarin. Kalau misal nggak jadi datang." Maryam berdiri di depan pintu masuk ruang tamunya. Berjalan mondar-mandir, sementara tangannya menggenggam ponsel. Sedikit cemas, khawatir ada apa-apa di jalan.
Ting...
Maryam menoleh ke layar ponselnya yang menyala. Ada satu pesan chat dari Akhri.
Akhri: "Aku nggak jadi datang, kamu tidur duluan aja, ya."
Perasaan kecewa lantas berkecamuk. Tiba-tiba Akhri membatalkan, tapi kenapa lewat pesan chat. Dan itu singkat sekali. Maryam pun membalas dengan perasaan sedih.
Maryam: "nggak papa, Bang. Bisa besok lagi kok kita ketemu."
Send...
Menunggu lagi balasan. Namun hening, jangankan di balas. Di baca pun tidak. Maryam menghela nafas.
"Pasti ada alasannya. Jangan berpikir buruk, Merr." Maryam kembali masuk dengan lesu. Menatap makanan di atas meja, setelah itu ia pindahkan ke dalam wadah tertutup. Kemudian menyimpannya di lemari pendingin.
Sementara itu di sisi lain.
Kania memandangi Akhri yang ketiduran di kamar Husein selepas main dengan anaknya. Tangannya yang masih memegangi ponsel Akhri selepas menghapus jejak-jejaknya yang sengaja ia hilangkan setelah mengirim pesan chat pada Maryam nampak sedikit gemetaran.
Sesungguhnya, Akhri melarang keras ia untuk menyentuh ponselnya. Pun berlaku untuk Maryam juga. Maksud Akhri baik, agar sang istri tidak saling tersakiti saat melihat chat dirinya dengan Maryam, atau sebaliknya.
Maaf Bang. Aku nggak mau Abang pulang ke rumah Cece. Jadi ku kasih sedikit obat tidur biar Abang ngantuk.
Awalnya Nia takut saat hendak melakukan itu. Namun ia harus nekad, demi bisa mempertahankan suaminya agar tetap berada di rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
bung@ter@t@i
pelakor ttp pelakor ....dan syurga itu mahal sangat lah mahal 😔
2023-07-15
0
adning iza
dzolim lo maniak
2023-05-04
0
Bunda Aish
Kania lupa dengan mata kuliah yg dipelajari nya .... tawadhu nya ke mn.... tertimbun obsesi yg berselimut cinta....
2023-04-22
0