Masalah tak hanya selesai di situ.
Kania yang merasa di permainkan lantas mengadu pada Ummi Salma sembari menangis tersedu-sedu. Ia berkata bahwa dirinya sudah seperti di permalukan. Betapa tidak, berkat rumor itu saja Dia sudah sedikit kehilangan muka di antara teman-temannya.
Di tambah ucapan Akhri yang menolaknya langsung di depan sang istri. Membuatnya kecewa sekaligus malu.
"Mohon maaf Ummi, bukan Nia tidak sopan menangis seperti ini di depan Ummi. Tapi, sebaiknya dari awal tidak perlu Ummi menjanjikan ini. Kania sangat malu."
"Maafkan Akhri ya. Ummi sudah berusaha. Maryam pun sudah bersedia, tapi anak itu yang tidak mau. Ummi berharap kamu bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Akhri. Bahkan mungkin menjadikan kamu istri pertama serta satu-satunya."
Kania menggeleng pelan, sembari mengusap air matanya sendiri.
masalahnya aku sudah terlanjur mengagumi beliau, yang bahkan sudah berubah jadi cinta Ummi. (Nia)
"Maaf Ummi, mungkin memang seharusnya Nia tidak berada di sini. Tidak terlibat dalam masalah ini."
"Nia, sungguh Ummi bingung harus bagaimana lagi."
"Sudahlah Ummi, Nia tidak apa-apa kok. Maaf kedatangan Nia kemari, sejatinya hanya untuk berpamitan."
"Pamit?"
"Iya, Nia tidak akan melanjutkan pendidikan di ponpes ini lagi."
"Nia, maafkan Ummi ya."
"Nggak papa Ummi. Ummi Salma nggak salah kok. Kalau begitu Nia langsung pamit ya Ummi ... Assalamualaikum."
"Walaikumsalam warahmatullah." Ummi mengantarkan anak itu sampai kedepan pintu. Perasaan kasian juga tidak enak menghinggapi hatinya.
***
satu bulan berselang,
Saat itu adalah bulan ramadhan, Maryam datang dengan membawa rantang berisi kolak pisang yang di campur kolang-kaling. Kesukaan Ummi.
Setelah mengucapkan salam serta menyerahkan kolak itu pada ibu asisten rumah tangga Maryam langsung mencari sosok ibu mertuanya. Yang ia jumpai di ruangan santai, dekat dengan tangga.
Maryam masih belum naik sampai kepuncak tangga, namun ia sudah menghentikan langkahnya. Menyaksikan
Ummi yang sedang melihat di story WhatsApp milik Abah.
Karena posisi beliau membelakangi tangga, jadi Maryam bisa melihat Vidio singkat Abah tengah mendorong sepeda kecil yang di tunggangi seorang anak balita laki-laki. Terdengar suara tawa dari seorang wanita, yang di sinyalir adalah salah satu istri Abah yang lain atau mungkin anak beliau dari istrinya yang lain.
Ummi...
Maryam nampak tidak tega, di tambah Ummi seperti mengulang-ulang Vidio itu.
Maryam pun menghela nafas, lalu mengucap salam lirih. Ummi Salma yang mendengar itu langsung menoleh kebelakang dan lantas menjawab salam menantunya.
"Kamu datang, dari kapan?" Tanya beliau setelah tangannya di cium oleh Maryam.
"Baru kok Ummi, cuma ngaterin kolak pisang."
"Oh ... terimakasih," jawabnya lirih, sembari menarik sedikit kerudungnya kebelakang. Membenahi. Mereka pun saling diam sejenak untuk sesaat. "Sampai kapan seperti ini, ya?"
Maryam mengangkat satu alisnya, sepertinya Ummi Salma memang sering merasakan suasana hati yang tidak baik akhir-akhir ini.
"Ummi iri, dengan mereka berdua. Walaupun sejatinya tidak boleh, tapi apa salah? Jika Ummi juga ingin merasakan bahagia yang sama." Ummi berbicara dengan serius, namun mimik wajahnya memancarkan kesedihan. Pandangannya menatap kosong kedepan, membayangkan satu hal yang menjadi angan-angannya selama ini. "Andai ada satu cucu, Abah pasti akan punya alasan untuk sering berkunjung kesini. Selain hanya untuk mengecek pondok pesantren Abdul Aziz yang di sini."
Maryam paham, ia pun menyentuh tangan ibunya. "Maryam minta maaf ya Ummi."
"Tidak, tidak perlu minta maaf. Mau bagaimana lagi, kamu sudah berusaha. Bahkan sampai membujuk Akhri juga, tapi memang Dia yang tak ingin. Mau bagaimana lagi..."
Maryam terdiam, mendengar ucapan ibu mertuanya. Masih saja beliau mengungkit perjodohan yang batal itu. Membuatnya semakin berpikir keras.
Setelah berbincang cukup lama, atau lebih tepatnya mendengarkan sebagian dari keluhan Ummi Salma. Maryam pun kembali pulang.
Malam setelah tarawih, mereka baru menyantap hidangan berat. Akhri dan juga Maryam duduk di satu meja makan, terdengar tawa ceria Akhri yang menceritakan serunya Dia bermain dengan anaknya Arshila selepas sholat Maghrib tadi.
"Aktifnya ... MashaAllah, Dik," tutur sebelum menengguk air dalam gelas. sementara Maryam hanya terdiam. Mengingat, anaknya Arshila memang aktif sekali dan menggemaskan.
"Bang? Merr mau ngomong serius. Tapi Abang jangan marah."
"Soal apa? Abang itu suka khawatir kalau kamu ngomong serius begini," jawabnya tanpa menanggapi dengan serius.
Maryam terdiam sejenak, membiarkan suaminya menyiapkan diri untuk mendengarkannya berbicara.
"Kenapa diam? Tadi katanya mau bicara serius."
"Ya, tapi Abang harus janji. Jangan marah."
"Iya, Dik. Abang nggak akan marah," jawabnya lembut.
Maryam menghela nafas, lalu berusaha untuk membuka topiknya.
"Abang tahu, ada tiga cinta yang harus tepat kita posisikan dalam hidup. Aku, sebagai seorang istri, memposisikan Allah di tingkat paling atas, Rasulullah Saw sebagai yang kedua, sementara suamiku adalah yang ketiga, setelah itu kedua orang tuaku." Maryam membuat Akhri tersenyum, beliau mengangguk pelan tanda membenarkan. "Lalu Abang, sebagai seorang suami. Menempatkan cinta paling utama pada Allah SWT, kedua Rasulullah Saw, yang ketiga Ummi dan Abah tapi paling utama Ummi, setelah itu aku, benar begitu?"
"MashaAllah..." Akhri mencium tangan sang istri. "Iya sayang."
"Nah, sekarang aku pengen Abang berbakti sama Ummi. Buatlah Ummi bahagia."
"Abang sedang berusaha, Dik. Walau tak sempurna."
"Kalau begitu jadikan sempurna, Bang." Mata Maryam mulai mengembun. Ia membawa tangan Akhri lebih dekat, mencium punggung tangan itu dengan takzimnya. Setelah itu menatap lagi netra teduh milik sang suami. "Abang– mau ya, menikah lagi."
Akhri meredupkan senyumnya. Lalu melepaskan tangannya sendiri. Secepatnya di tahan Maryam yang kembali menggenggam tangan itu dengan kedua tangan.
"Aku mohon, Bang."
"Abang sudah bilang jangan lagi ungkit itu. Abang nggak mau."
"Dengarkan aku, Bang. Tolong, biarkan Merr menjelaskan ini sama Abang." Akhri yang ingin beranjak seketika urung. Maryam mengusap lembut lengan suaminya, menenangkan. "Bang, Abang harus tahu dua hari yang lalu, Merr kerumah Ummi. Dan melihat sesuatu yang membuatku sedikit tercubit hatinya. Ummi itu butuh kebahagiaan. Ummi mau cucu, Bang."
"Apa ummi bilang sesuatu lagi?"
"Enggak, cuma Maryam yang nggak sengaja ngeliat. Ummi sedih nonton video Abah bersama salah satu cucunya. Dan sebagai seorang wanita, Maryam memahami itu. Jadi tolong mengerti, Abang bisa menikah lagi Maryam ikhlas."
"Ikhlas itu tidak mudah, Abang yakin itu hanya ada di bibirmu. Lagian, memiliki istri lebih dari satu itu bukan sesuatu yang wajib, Dik. Untuk apa Abang melakukan sesuatu yang belum wajib, bahkan tidak tercatat jika itu akan berdosa seandainya Abang tidak melakukannya. Apalagi mengorbankan yang sudah ada."
"Tapi 'kan, bukankah ini salah satu wujud ikhtiar. Aku yang tak bisa memberikan keturunan harus siap, dan ikhlas membiarkan suami untuk menikah lagi. Seperti Siti Sarah yang merelakan Nabi Ibrahim as menikahi Siti Hajar?"
"Itu benar, jika istri siap dan aku pun siap. Kalau tidak?"
"Bang aku sudah siap, dan memang memikirkan ini cukup lama."
"Kamu siap? Tapi Abang yang nggak siap. Hal yang paling Abang takutkan adalah; ketika Abang tidak berlaku adil. Lalu Abang akan menyakiti salah satu dari kalian, atau mungkin keduanya. Abang sadar, kalau Abang itu manusia biasa, Dik. Yang imannya bisa lemah. Lebih takut lagi kalau sampai kamu?" Akhri tak melanjutkan, ia hanya menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya dengan sedikit menekan.
Maryam termenung, ia tidak bisa menjawab. Karena sepertinya Akhri nampak sedikit kesal lagi.
"intinya, bagi Abang itu untuk apa ada pernikahan kedua, jika aku harus mengorbankan pernikahan pertamaku. Kamu sudah membuat Abang merasa cukup dalam segala hal, mendampingi serta memenuhi segala kebutuhanku. Seperti yang Abang bilang, Abang sudah cukup bahagia. Ada ataupun tanpa anak. Wallahi, sayang."
Maryam menitikkan air matanya, lalu memeluk suaminya erat. Ia benar-benar terharu dengan pertahanan suaminya. Padahal ia sendiri sudah mendapatkan lampu hijau dari dirinya. Tetap saja Akhri menolak itu.
"Merr itu mencintai Abang. Sangat, sangat mencintai Abang. Tapi tetaplah aku wanita yang tak sempurna, Bang. Tidak bisa memberikanmu anak."
"Bukan berarti kita nggak bisa bahagia, 'kan, Dik."
Maryam mengangguk, lalu melepaskan pelukannya. Ia memegangi wajah sang suami dengan kedua tangannya, menatap penuh cinta dan ketegarannya.
"Iya, Kita tetap bisa bahagia. Termasuk aku, kalaupun Abang menikah lagi."
"Dik–" Maryam membungkam bibir sang Suami dengan kecupan.
"Aku ikhlas, Bang. Ayo pertimbangkan ini. Abang boleh menikahi siapapun, termasuk Nia."
"Nggak, Abang cuma mau sama kamu." Mata Akhri menggenang.
"Abang mau lihat Ummi tersakiti terus? Cinta Abang ke Ummi harusnya lebih besar dari pada aku, 'kan?
"Ya tapi nggak harus nikah lagi, Dik. Abang takut menyakiti kamu. Abang takut kehilanganmu."
"Merr akan berusaha bertahan untuk Abang. Seperti yang di bilang Ummi ... di awal mungkin akan sakit, tapi lambat laun pasti akan terbiasa. terlebih Nia sepertinya juga memang wanita yang baik. Dia pasti bisa menghormati aku juga. Kita bisa sama-sama urus anak kita."
Akhri menitikkan air mata. Pandangannya tak bergeser sedikitpun dari Maryam. Menatapnya dengan rasa tak tega.
"Ayo bang, pertimbangkanlah. Maryam benar-benar ikhlas, Abang menikah lagi."
"Beri waktu Abang untuk memikirkan ini."
Maryam mengangguk, walaupun berat namun ia lega. Ketika sang suami bilang ingin memikirkannya. Akhri lantas memeluknya erat, mencium pucuk kepalanya yang tak tertutup hijab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Herlina Lina
abah ny kmn si ini masa g ada sikap dg perilaku istrinya yg mw hancurin rmh tangga ankny??apa ini yg d bilang umi salma dg adil??
2023-12-15
0
adning iza
pingin tak skip tp nnt ngga seruu ya thoorrr udh pingin senyum² sma habib bilal
2023-05-04
0
Bian Brahmana
mengulit kisah nabi ibrahim, itu mmg jalan dr Allah, tp kl manusia jaman sekarang meniru kisah nabi ibrahim itu hanya akal² an mereka sj menuruti hawa nafsu,
2023-04-24
0