Katakanlah pada hati. Hujan bukanlah sarana untuk bermuram durja.
Bukan sarana menempatkan hati pada kenestapaan. Bukan tempat menyembunyikan air mata, sebab guyuran air dari langit.
Namun, hujan adalah Rahmat. Yang senantiasa membuat kita yakin bahwasanya Allah tengah membukakan pintu-pintu langit. Bagi kita untuk berdoa. Salah satu waktu paling mustajab untuk melangitkan harapan dalam doa. Adalah ketika deras-derasnya air menitik dari langit, juga dari mata.
🌼
🌼
🌼
Kisah berawal disini.
Merry mendatangi temannya, di rumah seorang wanita muslim yang tempat tinggalnya dekat dengan salah satu Pondok pesantren.
Gadis dengan rambut terurai panjang sebatas punggung bahkan hampir ke-pinggang itu melambaikan tangan dengan ceria, saat turun dari taksi warna biru. Tepat di depan rumah.
"Arshila!" ceria ia berseru. Memanggil nama temannya. Lalu berjalan mendekati.
"Merry, datang kok nggak ngomong-ngomong dulu?" Tersenyum senang. Ia memegangi kedua tangan Merr yang sudah terkekeh-kekeh.
"Hihihi ... aku sengaja. Kan kejutan."
"Huh, pas sekali aku mau ke kajian."
"Woaaah. Aku ikut ya?" Merr sedikit terdiam setelah menerima anggukan kepala dari Temannya itu. "Yaaah, tapi aku pakai jeans ketat. Gimana dong?"
"Mau pakai gamis, ku?" Arshila menawarkan.
Tanpa berpikir panjang, gadis itu mengangguk senang.
"Yuk, masuk dulu. Ganti baju dan pakai hijabnya."
"Yooo..." Bersemangat, mereka pun tertawa. Memasuki rumah yang tak bisa di bilang sederhana namun tidak mewah juga, milik orang tua Arshila.
–––
Di sebuah masjid yang masih dalam kawasan pondok pesantren. Keduanya duduk di sudut yang tertutup tabir. Sebagai penyekat Antara saf perempuan dan saf laki-laki.
Acara awal yaitu tilawah Al-Quran, yang di bacakan oleh ustadz Akhri. Bisik-bisik di belakang membuat Merr merasa risih bercampur penasaran.
"Pssst ... mereka yang di belakang berisik banget, lagi ngomongin siapa, sih?" Bisik Merr pada Arshila.
"Ustadz Akhri. Pria yang sedang ngaji di depan. Dia memang agak tenar. Maklum, masih muda dan tampan pula. Masih sepupu ku," jawabnya berbisik juga.
"Ooo..." Merr membulatkan bibirnya.
Pantas mereka seperti itu, rupanya yang ngaji ustadz yang masih bujangan. Hehehe. Suaranya indah.
Tilawah sudah usai. Berganti dengan kajian yang di bawakan oleh pak Kyai, cucu dari seorang pendiri ponpes Abdul Aziz.
Satu kajian yang menurutnya mampu membuat Merr bergetar.
Memang, semenjak kenal Arshila dia jadi semakin tertarik dengan Islam. Niatannya untuk datang pun juga, karena ini. Bisa mendatangi kajian sekaligus belajar agama lebih dalam lagi.
Sekitar hampir satu jam dilaluinya. Mencermati setiap ilmu yang di sampaikan pak Kyai dengan bahasa yang mudah ia pahami. Mencatat bait demi bait kata yang membuatnya bergetar, sebagai simpanan ilmu yang akan ia kaji kembali setelah sampai di rumah.
Kajian telah usai. Semua jamaah berhamburan. Tersisa suara Genjring anak-anak Hadroh. Merr dan Arshila keluar, sembari bercerita kesana-kemari.
"Shila, aku kan sudah solat nih? Puasa juga, sama ngaji. Berarti aku sudah masuk Islam dong?" Tanya Merr dengan nada menggebu-gebu bahagia. Berbeda dengan Arshila yang menanggapi ucapannya dengan kekehan kecil. "Kok ketawa, sih! Ada yang salah?"
"Astagfirullah al'azim ... maaf Merr." Arshila meredam kekehanya, "bukan gitu. Seorang muslim itu baru bisa di katakan muslim kalau dia sudah bersyahadat."
"Syahadat! Aku bisa, aku sudah hafal. Nih dengar, ya? Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Tuh, kan? Berati aku sudah muslim sekarang."
Arshila geleng-geleng kepala. "Nggak gitu juga Merr. Masih ada ketentuannya. Harus ada saksi, dan syarat-syarat lainnya."
"Ya ampun ... terus syaratnya apa saja. Kasih tahu?" Menggoyangkan tangan Shila.
"Iya–iya. Nanti aku?"
"Assalamualaikum!" Sapa seorang pria dibelakang. Menyela pembicara mereka yang berdiri di tengah jalan setapak.
"Eh ... walaikumsalam warahmatullah. Maaf Bang Akhri, silahkan." Arshila menarik sedikit tangan Merr, agar mau menyingkir sejenak. Membiarkan ustadz muda itu lewat lebih dulu.
"Permisi, ya–" tersenyum ramah, sembari menunduk sopan lalu melewati mereka berdua, dan belok ke arah kanan.
"Eh ... itu loh orangnya. Ustadz yang ngaji tadi," bisik Arshila.
Merry manggut-manggut. Pandangannya masih terarah sejenak. Pria jangkung yang sama sekali tak menoleh kearah mereka sebelum belok tadi, setelah itu kembali fokus pada Arshila. Menggoyangkan kedua tangannya.
"Ayo jelaskan lagi, gimana caranya."
"Ya nanti ... kita harus ketemu dengan Uwa ku dulu. Kita bahas gimana caranya, soalnya ilmu ku juga masih cetek." Terkekeh.
Mereka bergegas melanjutkan langkahnya. Melewati gang tadi saat ustadz Akhri belok ke kanan sementara mereka belok ke arah kiri. Menuju pintu keluar.
Pria yang menggunakan Koko putih serta sarung berwarna putih juga menyempatkan untuk menoleh sesaat sebelum masuk ke salah satu ruangan. Tersenyum tipis karena ia mendengar sekilas percakapan Arshila dan temanya itu. Lalu kembali pada tujuan, untuk masuk kedalam ruangan setelah mengucap salam.
***
Sesuai dengan perjanjian.
Setelah pulang ngampus Merr segera mendatangi pondok pesantren Abdul Aziz.
Ia yang baru turun dari taksi berlari pelan. Sembari memegangi hijab yang belum sempat ia sematkan jarum di bawah dagunya. Yang penting menutupi kepala, begitu pikirnya.
Sebenarnya tak perlu ia berlari. Karena mereka semua pasti akan menunggu. Sebab rasa semangat untuk bertanya tentang kapan waktunya bisa Dia bersyahadat. Membuat langkahnya tidak bisa melambat.
Sementara itu di lorong koridor pondok yang sepi. Nampak dari kejauhan pria yang menggunakan Koko gamis berwarna putih terdiam. Menghentikan langkahnya yang tiba-tiba membeku. Memeluk erat buku kitab di dadanya.
Ini sudah ke tiga kalinya. Melihat wanita yang membuatnya tak bisa melupakan percakapan lucunya dengan Arshila tempo hari. Sedang berlari semakin mendekat.
Bibir Akhri mengembang tipis, matanya seolah terpaku memandanginya yang semakin mendekat.
Seperti gerakan yang di perlambatan. Wanita itu membawa aura indah yang membuat jantung Akhri berdebar kuat. Kerudungnya yang masih memperlihatkan poninya itu berkibar-kibar searah angin akibat laju larinya.
Manusiawi, bukan?
Setiap seorang mahluk ketika bertemu dengan lawan jenis yang di kagumi, pasti akan lupa sejenak dengan syari'at serta larangannya. Bukan karena lemahnya iman seorang Ustadz. Namun lebih ke ujian di dada. Yang di permainkan oleh setan.
MashaAllah ...
Gumam lembut bibirnya, menandakan kekagumannya pada wanita yang bahkan tak pernah sama sekali memperhatikannya, balik.
Setelah itu tersadar, beliau segera memutar tubuhnya sedikit kesamping. Menatap tembok. Membelakangi Dia yang hampir mendekatinya. Sembari memegangi dadanya, ia beristighfar.
Menunggu Merr melewati.
Tplaaaaak ... tplaaaaak ... tplaaaaak ...
Suara langkahnya membuat Akhri semakin merasakan getaran tak biasa. Ia memejamkan matanya. Bibirnya terus bergumam.
Astagfirullah al'azim ... aroma parfumnya. Membuatku semakin berdebar.
Akhri belum berani menoleh. Ia sendiri kini menutup area hidungnya. Menolak aroma harum dari parfum yang di kenakan Merr.
Setelah suara tepak kakinya terdengar menjauh. Akhri baru berani menoleh ke arah kanan.
Ia kembali tersenyum. Helaan nafasnya membawa Dia buru-buru untuk memalingkan wajah. Menghindari tatapan yang berujung menjadi zinah mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Bundanya Pandu Pharamadina
masik mengikuti nyimak
2023-08-07
0
Havip
dia bukan uztad dia hanya laki laki biasa ih kok aku sebel setika cowok kaya langsung terpana gitu aduhh maaf thorr
2023-03-15
0
Jumadin Adin
cik merry semangat, ternyata akhri yg mulai kagum duluan dgn merry
2023-02-05
0