Di ruangan Pak kyai. Arshila mempersilahkan temannya untuk duduk di sisinya.
Mereka mulai mendengarkan setiap wejangan yang keluar dari pria yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun bahkan hampir menginjak kepala tujuh.
"Kalau boleh jujur. Saya senang mendengar keinginan baik, Dik Merry. Hanya saja, harus ada beberapa saksi, dan juga keteguhan hati. Tidak bisa asal mengislamkan seseorang."
"Tapi, saya sudah yakin kok, untuk masuk Islam."
Kyai Mukhlis tersenyum. "Apa sebenarnya yang membuatmu ingin masuk Islam?"
"Ummmm ... banyak hal sih. Yang jelas, saya senang mendengar adzan. Mungkin nggak, sih? itu salah satu alasan klise? Tapi pada kenyataannya, saya bisa menangis setiap kali mendengar adzan."
"MashaAllah..." Beliau bergumam lirih, bersamaan dengan dua orang pria Pengajar disana, juga ibu Karimah dan Arshila.
Kyai Mukhlis melepaskan kacamatanya. Ia mengusap lembut matanya yang basah.
"Istilah, hidayah itu mahal. Memang benar." Kyai Mukhlis memakai lagi kacamata tersebut. "Tidak semua orang bisa mendapatkan itu dengan mudah. Walaupun berusaha seperti apapun kita mencari Hidayah. Ikut kajian sana-sini, membaca Alquran, dan lain sebagainya. Kalau Allah belum merahmatinya, maka Dia tidak akan mendapatkannya. Namun bukan berarti, hal itu membuat kita lantas menyerah dari rahmat Allah. Kamu beruntung, Dik Merry. Bisa merasakan hatimu terenyuh saat mendengar seruan Allah."
Arshila menoleh kearah temannya. Menggenggam tangan itu kuat. Sementara Merry hanya tersenyum.
"Jadi bagaimana, pak Kyai?"
Kyai Mukhlis tersenyum, beliau mengangguk. "in sha Allah ... bisa."
Wajah Merr sumringah. "Kapan, kapan Kyai...!"
Ibunda Arshila yang duduk tak jauh dari kakaknya menggerakkan tangannya pelan. Namun bibirnya tersenyum, meminta Dia untuk lebih tenang. Berbeda dengan pak kyai yang justru terkekeh. Beliau paham. Merry belum tau caranya bersikap pada seorang ulama besar.
"Secepatnya. Besok atau mungkin hari ini juga boleh."
"Allahu Akbar–" Merr bertakbir seketika, lantas berpelukan dengan Arshila.
"Sebelum itu, apakah orang tua sudah di beri tahu?"
Pertanyaan itu membuat Merr lantas terdiam. Ia melepaskan pelukannya, lalu menoleh pelan kearah pak Kyai Mukhlis. Menggeleng kemudian.
"Loh, kok belum di kasih tahu. Adik itu masih harus bermusyawarah dulu dengan orang tua."
"Tapi ... apa harus, ya?" Lirihnya.
"Harus! Karena memang, ini kan keputusan besar. Wajib di bicarakan dulu dengan orang tua atau wali," jawab Beliau.
Keduanya saling tatap. Antara Arshila dan Merr. Setelah itu Arshila menganggukkan kepalanya pada gadis di sampingnya.
"Nanti saya coba bicara dulu ya, pak kyai. Tapi bisa kan?"
"Bisa, inshaAllah."
***
Setelah beberapa bulan lulus dan menjadi sarjana. Merr kini bekerja di salah satu kantor broadcast media. Sebagai karyawan magang. Gaji yang belum banyak membuat Dia tetap bersyukur.
Di tambah dengan pendapatan tambahan dari hasil menulis cerpen-cerpen remaja di media cetak. Sebagai penyalur hobi menulisnya.
Cukup lah untuk uang jajannya, serta bertahan hidup di Jakarta. Lebih-lebih Papi yang notabene memiliki toko bahan bangunan di Bandung. Serta toko emas yang di pegang Mami, dan juga Ce Margaretha tidak pernah surut mengaliri dana untuk kehidupannya di ibukota.
Cibiran memang kerap datang dari bibir Cecenya. Menyayangkan sikap Marry yang lebih senang hidup mandiri di Jakarta. Padahal ada salah satu cabang toko emas mereka, yang di siapkan khusus untuk di pegang Merry. Namun gadis itu tidak mau. Jiwa petualangnya, membuat dia tidak ingin terus bergantung pada orang tua.
Hidup mandiri lebih nikmat. Aku jadi bisa lebih dewasa. Karena selama ini, aku anak bungsu yang paling dimanja Mami dan Koh Yohanes. Juga Papi...
Merry yang sedang duduk menyandar di kursinya tersenyum tipis. Ia Memeluk map file. Menampar pandangannya kedinding kaca.
Menghitung bulan, karena sebentar lagi malam Natal tiba. Biasanya keluarga besar akan datang. Mengadakan acara makan-makan selepas pulang dari gereja.
Ia berpikir bagaimana caranya, mengatakan tentang niatnya untuk berpindah keyakinan.
Jika izin hanya di depan orangtuanya mungkin tidak mudah. Menunggu saja semuanya berkumpul.
Terlintas nama Koh Yohanes lagi. Kakak pertamanya. Beliau adalah kakak laki-laki yang paling bijak. Tidak seperti Koh Antoni Apalagi Ce Margaretha.
Cuman, apakah Dia berani berkata di depan mereka?
Tapi aku sudah sangat ingin memeluk agama Islam.
Pandangannya bergeser pada langit. Yang cahaya mampu menembus dinding kaca di ruangannya bekerja.
Karena beberapa orang sedang keluar untuk makan siang. Jadi hanya tinggal ia sendiri, yang baru saja selesai membereskan file.
Merry mengangkat sedikit lengannya, memandangi angka digital di jam tangan yang melingkar.
"Sudah masuk waktu Dzuhur, bahkan sudah lewat dua puluh menit. Aku harus bergegas." Merr menyambar tas juga ponselnya. Buru-buru menuju musholla kantor untuk menjalankan ibadah sholat.
Walaupun beberapa pasang mata seolah melemparkan banyak keheranan serta pertanyaan tentang agama yang dianutnya. Namun tak sedikit yang memberikan support serta doa yang baik untuk gadis bernama lengkap Merry Angela Chwa.
Gadis itu menjalani empat raka'atnya dengan khusyuk. Dia sudah hafal beberapa surat pendek dan juga bacaan sholat.
Dzikir singkat yang masih ia contek sedikit dari buku kecilnya. Namun secara keseluruhan, Dia memang sudah pandai. Bahkan lancar membaca ayat suci Al-Quran.
Merry menengadahkan kedua tangannya. Bermunajat. Memohon pertolongan serta bantuan agar apa yang ia inginkan bisa berjalan lancar.
Allah maha pendengar, serta pengkabul doa' ... tidak ada yang sia-sia jika menaruh harapan pada Dzat yang maha segalanya. Segala apa yang di kerjakan sebab karena ingin mendapatkan ridho Allah. Pasti akan Allah lancarkan jalannya.
Merr mengusap wajahnya lembut, setelah selesai berdoa. Ia sudah bertekad akan mengatakan ini pada Mami, Papi, Koh Yohanes, Koh Antoni, dan Ce Margaretha. Di malam Natal, tahun ini.
.
.
.
Perayaan berjalan khidmat, membawa mereka larut dalam doa bersama. Merr yang berdiri di deretan kursi-kursi panjang sembari memegangi lilin yang menyala tak turut menyanyikan lagu doa.
Ia hanya bisa terdiam. Mengucapkan istighfar dan meminta ampun pada Allah SWT. Tentang dirinya yang masih masuk ke gereja. Serta merayakan Natal.
Kepalanya tertunduk. Gadis itu menitikkan air mata merasa bersalah.
Hingga selesai melakukan peribadatan. Mereka kembali ke rumah.
Riuh suara nyanyian suka cita Natal didendangkan lagi oleh mereka.
Rasa sepi menghinggapi gadis itu, memandangi semuanya yang nampak bahagia namun tidak dengan dirinya. Yang justru tengah duduk sembari meremas tangannya sendiri di sudut ruangan. Rasa takut juga bimbang, akankah Dia benar-benar berani? Atau lebih baik nanti saja.
Tapi, bukankah satu kebaikan harus segera di tunaikan. Dia sudah menunda lebih dari tujuh bulan lamanya. Ini saat yang tepat. Untuk mengatakan keinginannya. Keinginan untuk berpindah keyakinan.
Saat ini mereka pun bergiliran, berbicara di bawah pohon Natal. Meminta maaf serta doa dan juga harapan masing-masing.
Tiba giliran si bungsu dalam keluarga itu.
Semua mata tertuju pada gadis, dengan dress berwarna hijau juga bando berwarna kuning emasnya. Di bidiknya satu persatu mata mereka. Senyum yang mengembang dari Mami, Papih, kakak kandung ataupun ipar. Serta para keponakan membuatnya merasakan sedih.
Haruskah aku mematahkan kebahagiaan mereka? Merr bertanya-tanya dalam kebimbangannya. Namun, ia sudah yakin dengan apa yang akan ia katakan.
Bismillahirrahmanirrahim ... lahaula walakuata illabillaah.
Merry menghela nafas panjang, ia pun mulai membuka suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
atiuna🍀
masya Allah doanya bagus bangets.. setiapa katanya bermakana.. nyotek ya thor kata katanya buat doa!!
2023-06-15
0
Ika Komala
ikut terharuuu membacanya,,,🥺🥺
2022-08-11
0
☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜
semoga dimudahkan ya Mer keinginan kamu menjadi mualaf🙏
2022-08-06
0