Malam harinya, mereka duduk berdua. Saling berhadapan dengan bantal di pangkuan masing-masing.
Di antara keduanya, lebih dominan diam. Karena bingung, lebih-lebih Maryam yang tak banyak bicara. Dia memilih untuk menjawab saja, tak mau melontarkan balik pertanyaan pada sang suami. Walaupun dalam benaknya ada banyak. Namun, ia merasa malu untuk mengatakannya.
Akhri meraih tangan Maryam, membuat wanita itu semakin gugup. Perlahan mendekati, dengan cara menggeser posisi duduknya.
"Dik, kamu lelah?" Tanyanya, sembari meletakkan tangan Maryam di pipinya.
"Emmmm?" Maryam tak bisa menjawab. Sebab ada rasa lain saat menyentuh wajah pria yang biasa ia kenal sebagai seorang guru Tahfidz. Pria berjenggot tipis itu tertawa.
"Tangan mu dingin sekali," ledeknya. Kemudian mencium tangan Maryam lembut.
"Iya– Merr gugup," jawabnya lirih. Membuat Akhri meredam tawanya. Memandangi wajah sang istri cukup lama. Perlahan ia singkirkan batal di atas pangkuannya, setelah itu baru milik Merr.
Ia menelan ludah ketika sang suami semakin mendekat lalu menyentuh wajahnya.
Berjalan pelan dan berhenti di dagunya. Mengangkat naik, memandangi wajah teduh Maryam.
Mata yang tak begitu sipit. Warna kulit yang putih bersih tanpa jerawat. Serta bibirnya yang tipis, berwarna pink alami. Benar-benar amat cantik.
"Bang!"
"Ya?"
"Merr mau tanya. Kenapa Abang bisa memilihku menjadi istrinya Abang?"
"Abang sudah pernah kasih jawabannya kan?" Di cium kening itu lembut. Rasanya candu sekali. Membuatnya mau lagi dan lagi.
"Tapi, adakah alasan lain?"
Tatapan Akhri tertuju pada mata indah, yang memandangnya gugup.
"Abang mendengar ceritamu pada malam itu, di rumah Arshila."
"Yang mana?" Tanyanya lirih. Karena wajah mereka amatlah dekat.
"Ketika kamu menangis, sebab kematian Mami."
Maryam terdiam. Seolah di ingatkan kembali kejadian menyedihkan malam itu. Ia lantas tersenyum kecut.
"Sekarang kamu sudah ada Abang. inshaAllah Abang janji, akan berusaha menjadi imam yang baik untuk mu."
Merr menitikkan air mata. "Jangan dulu janji, Merr takut Abang tidak bisa menepatinya."
"Kok bilang seperti itu?"
"Ya, takut saja." Meraih tangan Akhri meletakan di atas pangkuan. Lantas menggenggam dengan kedua tangannya. "Karena kita tidak pernah tahu takdir masa depan."
"Ya Abang tahu itu. Namun Abang akan berusaha. Abang ingin mencintaimu dengan sepenuh hati. Jadi mau ya, mencoba untuk mencintai Abang juga."
"Berusaha juga untuk tidak mematahkan hatiku. Ketika aku sudah bisa mencintai Abang seutuhnya?"
Akhri tersenyum. Ia mengangguk. "inshaAllah."
Senyum Maryam yang mengembang membuat Akhri menyentuh pipinya, mengusap lembut pipi yang mulus itu. Tatapan yang tertuju pada bibirnya Membuat Maryam berdebar.
"Sudah malam, Bang."
"Abang tahu," katanya sembari mengusap bibir itu dengan ibu jarinya. Terasa sekali tangan Akhri yang gemetaran. Juga nafas yang sedikit memburu.
Karena sejatinya laki-laki itu ingin mencoba menyentuh bibir manis sang istri, namun masih belum berani jadi hanya memandangi saja.
"Ya sudah tidur," ajaknya yang sudah tidak bisa melihat tatapan sang suami. Pria itu tersenyum.
"Kasih Abang ini dulu." Mengetuk-ketuk pipinya dengan jari telunjuk. Membuat Maryam tertawa.
"Nggak mau, malu." Rengeknya manja.
"Malu sama siapa? Orang cuma kita berdua kok."
"Ya sama Abang lah."
"Ngapain malu sama suami sendiri. Sini kasih Abang kecupan cinta."
"Ya Allah– dibilang Merr tuh masih malu." Mendorong wajah Akhri yang sudah mendekatkan pipi kearahnya.
"Ya sudah Abang yang cium, deh." Mendekati pipi sang istri yang malah justru semakin menahan wajah itu menjauh.
"Abaaaaaang ... tidur aja yuk."
"Nggak mau, cium dulu." Keduanya tertawa karena Maryam masih berusaha menghindar dari kecupan cinta sang suami. Segera di rengkuh tubuh itu. "MashaAllah, Abang sayang sama kamu, dik. Abang mau cium, boleh?"
Maryam yang masih mengembangkan senyumnya itu mengangguk pelan. Setelah itu Akhri mendekati wajahnya mencium pipi sang istri kiri dan kana. Lantas menjeda sejenak.
"Sudah jam sebelas?" Kata Maryam kemudian. Akhri pun menoleh ke dinding, tempat jam menggantung di sana.
"Ya sudah tidur yuk." Akhiri melepaskan pelukannya. Mereka pun mulai merebahkan tubuhnya tidur dalam satu selimut.
Tangan Akhri mengusap lembut kepala sang istri memandangi tanpa henti. Ia menunda sejenak malam pertama mereka. Karena Maryam yang nampak amat lelah. Bahkan tak menunggu waktu lama, suara nafasnya sudah lain. Pertanda ia benar-benar terlelap.
Akhri menurunkan wajahnya, mencium kening sang istri. Merasa bersyukur, ketika bisa menikah dengan gadis yang selama beberapa bulan belakangan mengganggu hatinya.
Untunglah Abah setuju, berbeda dengan Ummi yang seperti kurang setuju. Namun setelah berusaha meyakinkan beliau lantas menerimanya juga.
***
Pernikahan berjalan dengan baik.
Maryam dan Akhri tak pernah telat datang berdua ke masjid Abdul Aziz. Berjamaah di sana setiap kali masuk waktu shalat.
Sebab rumah mereka yang masih di bilang satu kompleks dengan pondok pesantren.
Pagi ini di bulan ketiga setelah pernikahan, Bang Akhri menggandeng tangan sang istri berjalan di kegelapan langit. Di waktu subuh, menyusuri jalan komplek yang masih sejuk.
"Dik, nanti pulangnya duluan ya. Abang ada acara rapat pengurus pondok setelah kuliah subuh nanti."
"Iya Bang," jawabnya mengecup punggung tangan Akhri. "Merr ke tempat wudhu perempuan dulu ya."
"Iya, Dik." Mengusap kepala sang istri lembut. "Oh iya ... nanti nggak usah masak sarapan, ya. inshaAllah nggak sampai jam sembilan Abang sudah di rumah. Kita jajan lontong sayur. Abang pengen sarapan itu."
Maryam mengangguk. Mengiyakan. Suaminya memang suka sekali lontong sayur. Dalam seminggu beliau bisa sampai tiga kali minta sarapan itu.
***
Selesai kajian, Merr melipat mukenanya. Memasukkan lagi ke dalam tasnya.
"Cece bagaimana? Sudah jadi belum?" Celetuk salah satu jama'ah.
"Jadi apanya, Bu?" jawabnya sembari tersenyum.
"Itu loh. Yang di sini." Menyentuh perut Maryam.
"Oh MashaAllah. Qadarullah ... belum, Bu."
"Oh belum, ya. Mungkin masih harus pacaran dulu sama suami ya? Nggak papa, baru tiga bulan nikah. Hal wajar kok." Kata beliau. Merr sendiri menanggapi dengan senyum.
–––
Beberapa jama'ah berjalan keluar. Bersamaan dengan Maryam. Menggunakan sendalnya dan berjalan bersama.
Hari ini Arshila tidak ke masjid. Karena sedang tidak enak badan. Jadi, niatnya dia hendak mengunjungi rumah sahabatnya itu.
"Maryam!" Panggil seorang wanita paruh baya. Di mana ia kemudian menoleh dan mendapati Ummi Salma sudah berdiri di bibir batas suci masjid.
"Ummi?" Ia berpamitan sejenak pada ibu-ibu lalu kembali mendekati masjid.
"Ke rumah dulu, yuk. Ummi mau bicara."
"Iya Ummi." Mereka berjalan bersama. Merr sendiri merasa canggung. Sebab Ummi jarang berbicara. Tidak seperti Umminya Arshila yang amat ramah.
Di dalam, beliau menyerahkan satu bungkusan.
"Ini buah kurma muda. Kamu rutin makan ini ya, supaya cepat jadi."
Maryam menerimanya mengucapakan terimakasih kemudian.
"Konsumsi makanan yang bergizi. Jangan jajan sembarangan. Ummi mau secepatnya kamu kasih Ummi cucu."
"I–iya Ummi."
"Kamu tidak menundanya, 'kan?"
Maryam menggeleng cepat. "Enggak Ummi. Maryam tidak menundanya."
"Kalau begitu, terus rutin minum susu khusus program kehamilan. Ummi berharap bulan berikutnya kalian kasih kabar baik untuk Ummi."
Merr tersenyum, ia mengangguk semangat.
"Ya sudah, kalau kamu mau pulang silahkan. Ummi mau siap-siap ke acara seminar."
"Iya Ummi. Merr cuma mau ke rumah Arshila dulu. Assalamualaikum." Meraih tangan beliau lantas mengecupnya.
"Walaikumsalam warahmatullah."
Merr memeluk bungkusan itu, bersama dengan tas mukenanya. Ia merasa bahagia. Walau Ummi Salma tak banyak bicara, dan intonasi bicaranya seperti jutek namun ia baik. Buktinya ia sampai mencarikan buah ini untuknya. Ia berharap tidak akan mengecewakan mertuanya, dan segera mengandung anak dari Ustadz Akhri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
adning iza
haddeeuuhhhh ummi salamah muncul ttp bkin emosi jiwa ya thoorrr
2023-05-04
0
Jumadin Adin
bisa di tebak yg membuat akhri berpoligami krn maryam mandul dan umi salma menyuruh akhri menikah lagi
2023-02-06
0
fitria linda
gini kok berasa indahny, tp kok yaa... duh g sanggup
2022-07-29
0