"Nir..." Suara lirih hampir tak terdengar menyerukan namaku.
Kukerjapkan mataku perlahan. Samar kulihat Mas Anggara sedang tersenyum memandangku teduh. Ia mencoba mengusap puncak kepalaku dengan lembut, namun segera kutepis.
"Udah jam 4 sore. Mandi gih terus makan." Titahnya.
Aku mengulet kemudian menyibakkan selimut tipis yang menutupi tubuhku. Kududukkan diriku di tepi ranjang.
Kugerakkan pergelangan kaki kiriku. Masih sedikit sakit di sana, tapi aku dapat menahannya. Ku ambil krim pereda nyeri dari dalam laci, kemudian kuoleskan perlahan.
"Kok sepi?" Tanyaku pada Mas Anggara.
Ia tersenyum simpul seakan paham dengan maksudku.
"Mama udah pulang dijemput Pak Irawan tadi. Ada pesan buat kamu." Ucap Mas Anggara seraya menggelar sajadahnya di samping kiri ranjang.
Aku menguap, entah untuk yang keberapa kalinya.
"Sabar." Imbuhnya sebelum akhirnya mengucapkan takbir.
Kata itu yang selalu keluar dari mulutnya selama bertahun-tahun.
Dulu Mas Anggara memang selalu acuh dan dingin padaku. Namun, tak pernah sekalipun ia membiarkan mama memperlakukanku semena-mena. Ia bahkan tak segan melawan mama hanya untuk membelaku.
Mas Anggara tahu betul bagaimana perlakuan buruk mama padaku.
Aku beranjak keluar kamar. Bangun tidur tak lantas membuat capekku hilang. Kuregangkan tubuhku kekiri dan ke kanan. Aku menarik nafas dalam kemudian kuhembuskan.
Rasanya tenggorokanku sangat kering, haus sekali.
Dengan malas kulangkahkan kakiku ke dapur untuk mengambil air.
Aku berdecak. Ini pesan yang dibicarakan Mas Anggara tadi. Kebiasaan menempelkan pesan di pintu kulkas yang selalu Mas Anggara lakukan ternyata menurun dari Mama.
1. Ganti sprei seminggu sekali.
2. Cuci handuk tiga hari sekali.
3. Siram tanaman.
4. Lantai dipel setiap hari, jangan cuma disapu aja.
5. Masak!
Dan masih banyak lagi rentetan pesan yang ditulis mama. Aku mengambil kertas tersebut kemudian menempelkannya tepat di keningku.
Aku tertawa geli membayangkan mama mengatakan kalimat-kalimat tersebut langsung di hadapanku. Pasti sangat lucu sekali dengan ekspresi garangnya.
Di meja makan sudah tersedia cireng yang tadi kupesan pada Mas Anggara. Kusantap makanan yang sudah dingin tersebut. Masih enak, walaupun sedikit keras.
"Es degannya aku taruh di dalam kulkas." Seru Mas Anggara dari dalam kamar. Suranya pelan, tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas.
Aku tidak menjawab ucapannya tersebut karena minuman yang sedang dia bicarakan sudah terhidang di depanku, dan aku sudah meneguknya beberapa kali.
Kuteguk minuman dingin ini sekali lagi. Rasanya sangat segar. Dahagaku lenyap seketika.
"Dirga pulangnya agak malam, soalnya dia latihan dulu buat acara pertandingan minggu depan." Serunya.
"Nanti dia pulangnya bareng sama Raka. Gak perlu dijemput." Imbuhnya.
Ini hari kamis, Dirga sedang latihan taekwondo di sekolah seperti biasa.
Mas Anggara berjalan ke arah dapur. Ia menarik kursi yang terletak tepat di depanku.
Kini kami saling berhadapan.
Aku tak mengindahkannya dan masih sibuk dengan makanan di mulutku.
Cukup lama kami diam tanpa kata sampai akhirnya, Mas Anggaralah yang memulai kembali percakapan di antara kami.
"Nir, sabtu minggu besok ada acara malam keakraban buat mahasiswa baru."
Aku tetap diam tak memperdulikan ucapannya.
"Anak-anak BEM nyuruh aku buat jadi pembicara. Acaranya di Batu, jadi mau gak mau aku harus nginep." Dengan terbata Mas Anggara menyampaikan maksudnya padaku.
Aku beranjak, membereskan sisa makananku di meja, dan tetap mendiamkannya.
"Kamu izinin aku gak buat pergi?" Imbuhnya.
"Ya terserah kamu Mas. Itu bukan urusan aku." Jawabku acuh.
Ia tampak membuang nafas kasar mendengar reaksiku tersebut.
"Kamu kenapa sih Nir? Udah sebulan lebih kita rujuk. Tapi kamu masih dingin terus ke aku. Aku harus gimana?"
Aku membalikkan badan kemudian tertawa menyindir ke arahnya.
"Kamu kenapa sih Mas? Kenapa dulu kamu nikahin aku kalau ujung-ujungnya selama delapan tahun kamu dinginin aku? Lebih lama mana Mas?" Aku tersenyum sinis.
Aku berlalu meninggalkannya ke belakang, kemudian kembali dengan membawa sapu. Aku sedang malas berhadapan dengan Mas Anggara. Lebih baik aku melakukan aktifitas yang lebih berguna.
Aku berjalan ke arah teras.
Mas Anggara tampak bangkit dari tempat duduknya kemudian mengikuti langkahku.
"Iya aku dulu emang salah karena udah dingin sama kamu. Kamu boleh memperlakukan aku sesuka kamu. Tapi kamu gak bisa seenaknya berduaan sama laki-laki dalam satu rumah."
Ia tampak diam sejenak, enggan melanjutkan kalimatnya.
"Apalagi semua orang tahu kalau laki-laki itu cinta sama kamu."
Cukup panjang bualan yang diutarakan Mas Anggara. Ia terus saja mengikuti langkahku kemanapun aku berjalan.
Aku tetap bersikap tenang mendengar kalimat-kalimat yang ia lontarkan tersebut.
"Aku gak bisa berpikiran positif, Nir. Tapi aku tepis semua itu jauh-jauh karena aku percaya sama kamu."
Aku mencebik.
"Ya karena emang aku bisa dipercaya Mas. Gak kayak kamu."
"Udahlah Nir. Aku capek. Dua tahun kamu salah-salahin aku terus. Aku jelasin juga gak ada gunanya. Kamu gak akan pernah percaya."
Kedua tangannya mengepal. Dia mulai tersulut emosi.
Aku tertawa dengan keras sampai air mata menetes di pelupuk mataku.
Bagaimana bisa Mas Anggara berkata seperti itu. Seolah-olah dialah korbannya.
"Oh jadi ini semua salah aku karena mergokin kamu lagi berduaan sama cewek di kamar hotel, dan ceweknya lagi telanjang di atas ranjang?" Aku menunjuk dadanya. Emosiku memuncak.
Mas Anggara melemparkan kepalan tangannya ke dinding.
"Percuma juga aku jelasin ke kamu. Udahlah." Mukanya memerah. Dia berlalu meninggalkanku begitu saja.
Aku tetap melanjutkan aktifitasku, meskipun aku tak bisa membendung air mataku lagi. Aku teringat kembali akan adegan menjijikkan dua tahun lalu.
Siang itu aku dan Kartika melihat mobil Mas Anggara melintas di depan restauran tempat kami sedang makan siang. Itu bukan arah ke kampus tempat ia mengajar, pun bukan arah jalan pulang.
Beberapa hari sebelumnya kudapati sebuah pesan dari nomor yang tidak disimpan bersarang di ponsel Mas Anggara.
'202'
Aku tak paham dengan maksudnya. Ketika kutanyakan, Mas Anggara hanya menjawab bahwa itu adalah sebuah pesan spam. Aku tak menaruh curiga sedikitpun, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
Desakan Kartika memaksaku untuk mengikuti laju mobil Mas Anggara. Hingga akhirnya mobil hitam tersebut memasuki halaman sebuah hotel berbintang lima.
Air mataku berlinang, aku mencerna isi pesan yang dikirimkan nomor yang tak dikenal tersebut. Itu adalah nomor kamar hotel.
***
Hingga fajar menjelang, aku dan Mas Anggara tak saling sapa. Bahkan ia tak menginjakkan kakinya ke dalam kamar. Entah tadi malam ia membaringkan tubuhnya di mana.
Pagi ini ia melajukan mobilnya begitu saja tanpa berpamitan padaku. Aku sudah tidak peduli. Toh sebelumnya dia juga selalu seperti ini. Tidak ada yang bisa kuharapkan dari Mas Anggara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
gth toh msh blm puas flsbck y
2022-03-28
1
💦 maknyak thegech 💦✔️
masih menyimak Thor
2022-03-27
1
Shita De'a N Zayn
lanjut toor, suka dgn crita nya..
2022-03-26
1