Lift

"Nir, habis ini kamu ikut saya ke JOY, ya" Ajak Pak Dimas. Padahal aku baru saja memasuki kantor dan belum sempat menaruh tasku.

JOY adalah nama perusahaan yang sedang bekerja sama dengan perusahaan kami. CEO dari perusahaan tersebut ialah Pak Hartanto. JOY hanyalah sekelumit kecil dari bisnis yang dijalankan oleh Pak Hartanto. Kalian bisa cek sendiri di google seberapa kaya orang ini. Kepalaku tiba-tiba pening ketika melihat jumlah angka 0 yang tertera pada pendapatannya.

"Kan sekarang ada Sherin, Pak. Diakan sekretaris Bapak." Aku berusaha mengingatkan Pak Dimas bahwa ia sekarang sudah memiliki seseorang yang bisa dia ajak untuk bertemu klien.

"Sherin masih baru. Udahlah kamu aja." Tolaknya.

"Gimana kalo kita pergi bertiga? Biar Sherin bisa sekalian belajar." Mungkin sedikit terdengar kikuk, namun apa salahnya aku menawarkan ideku ini.

"Aku lagi ngerjain laporan yang kemaren, Mbak. Belum selesai." Sherin yang sedari tadi sedang mengotak-atik PCnya beranjak dan menolak ajakanku.

"Emangnya kamu pikir ini piknik pergi rame-rame? Udah cepetan 10 menit lagi kita ketemu di parkiran. Pake mobil saya." Aku tak bisa mengelak dari titah bosku ini. Padahal aku sudah senang dia memperkerjakan Sherin. Nyatanya ini masih menjadi tugasku.

Dengan malas aku menenteng tasku keluar ruangan. Padahal belum juga aku duduk.

"Kenapa Sis?" Putra yang baru datang menatap heran ke arahku. Kumanyunkan bibirku sepanjang mungkin. Kulanjutkan langkah kaki beratku tanpa menjawab pertanyaannya.

Aku masuk ke mobil Pak Dimas. Dia sudah di dalam menungguku. Tangannya sudah bersiap di atas setir. Untuk apa bertemu dengan klien sepagi ini. Seperti tidak ada waktu lain saja.

Kubanting bokongku di samping Pak Dimas. Biar dia tahu kalau aku sedikit tidak ikhlas menemaninya kali ini. Dia sudah memiliki sekretaris pribadi tapi masih merecokiku.

Kutarik pelan seatbelt yang berada di samping kiriku namun tak bergerak. Kutambah usaha dan tenagaku, namun benda ini tetap tidak bergeser sedikitpun. Sepertinya benda ini tersangkut. Kuhembuskan nafas kasar. Entahlah, rasanya aku semakin kesal.

"Ayo Pak jalan, seatbeltnya macet." Cercaku dengan mulut yang masih manyun.

"Sini saya benerin. Kamu mau ditilang? Ini masih pagi, banyak petugas polisi di jalan."

Pak Dimas dengan tiba-tiba sudah berada di depanku. Kini tak sejengkalpun jarak di antara kami. Peluh dingin mengucur dari keningku. Mati-matian aku menahan nafas.

Kumundurkan sedikit badanku memepetkan punggung ke sandaran. Jantungku berdetak tak karuan.

Pak Dimas masih sibuk dengan aksinya.

"Sialan, kenapa gak bisa-bisa sih." Racaunya. Dengan usaha terbaiknya, Pak Dimas menarik seatbelt yang tersangkut.

Braakk.... Suara gagang seatbelt yang terlepas mengenai kaca depan mobil, dan

Paaakk....benda kecil tersebut memantul kembali ke kepala Pak Dimas.

"BO-DOH!" Pekik Pak Dimas mencerca dirinya sendiri. Ia sedang menggosok kepalanya yang sakit.

Aku terkekeh dengan mulut tertutup. Sebisa mungkin aku menahan gelak tawa, namun aku kelepasan.

Hahahahahahahahhahahahaahhaha

Suaraku sangat lantang dengan mulut menganga. Aku seakan lupa bahwa orang yang sedang kutertawakan adalah bosku.

"Pakai mobil saya aja deh, Pak." Ucapku setelah capek mengocok perut.

***

Pak Dimas sedang berjabat tangan dengan Pak Hartanto, mengakhiri meeting kali ini. Keduanya tersenyum lega menunjukkan bahwa kerja sama baik ini akan terus berlanjut.

Aku dan Pak Dimas langsung menaiki lift untuk turun ke lantai dasar.

Hanya ada kami berdua di dalam lift.

Aku sedang sibuk dengan ponselku, berbalas pesan dengan Kartika dan Putra menggosipkan kejadian seatbelt yang menimpa Pak Dimas pagi tadi.

Lampu tiba-tiba berkedip dan lift tiba-tiba terhenti. Tubuh kami terguncang dengan sangat kencang.

"Ini kenapa Pak?" Aku yang tak bisa menahan kecemasanku menggenggam lengan Pak Dimas dengan sangat erat. Kuku-kukuku yang sedikit panjang mungkin menyakitinya.

Hanya cahaya dari ponsel kami berdua yang menerangi lift ini.

"Kalian lagi ngegosipin saya?" Ucap Pak Dimas mengejutkanku. Bagaimana bisa di suasana yang mencekam seperti ini ia malah melirik layar ponselku.

"Kok Bapak lirik-lirik ponsel saya? Ini kan privasi." Aku memanyunkan bibirku meskipun Pak Dimas tak dapat melihatnya.

Kuusap layar ponselku melihat setiap nama pada kontak.

Kupencet tombol panggil dan kutempelkan ponsel di telinga.

"Kamu lagi nelpon siapa?" Tanya Pak Dimas yang membuatku terkejut dan menjatuhkan ponsel. Rasanya jantungku mau copot. Di saat yang menegangkan dan hening seperti ini, ia terus saja mengejutkanku.

Aku berjongkok berusaha menemukan ponselku.

"Saya mau nelpon Kartika, Pak. Mau kasih tau kalau kita berdua terjebak di dalam lift." Pak Dimas mengarahkan cahaya ponselnya mengikuti arahku. Kuraih ponselku kemudian aku berdiri. Aku sibuk mengebaskan rokku, padahal tak sedikit debupun tertempel di sana.

"Trus gunanya telpon si Kartika buat apa? Kan kita lagi ada di kantor Pak Hartanto." Samar-samar kulihat Pak Dimas mengernyitkan dahi. Aku tersadar, benar juga.

Dalam keadaan genting seperti ini aku tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Gak bisa telpon Pak Hartanto ya Pak buat minta tolong?" Ucapku mengiba.

"Ini saya udah kirim pesan. Katanya disuruh sabar sekitar 30 menitan. Lagi ada pemadaman mendadak." Jawaban Pak Dimas membuatku sedikit lega. Setidaknya ada harapan bahwa kami berdua akan keluar dari lift ini hidup-hidup.

Dari tadi yang terbayang di otakku adalah scene film dimana lift terputus, terjatuh ke dasar dan tokoh yang ada di dalamnya mati secara mengenaskan. Mengingatnya saja membuatku bergidik ngeri.

Kupukul tumitku berkali-kali. Berdiri memakai high heels selama ini ternyata pegal juga.

"Lepas aja sepatu kamu. Gaada yang lihat juga." Tubuhku yang hanya sebatas 155 cm acap kali membuatku kurang percaya diri jika tidak mengenakan sepatu berhak tinggi. Dan semua yang mengenalku tahu itu. Di rumah saja aku memiliki sendal jepit yang sangat tebal untuk kugunakan jika sewaktu-waktu harus keluar menemui seseorang.

Kulepas sepatuku, lalu duduk di samping Pak Dimas. Aku tidak memegang ponselku. Percuma juga ruangan segelap ini akan memudahkan Pak Dimas melihat setiap aktifitasku pada ponsel.

"Gimana kabarnya Dirga?" Tanya Pak Dimas memecah keheningan.

"Baik Pak." Singkatku.

"Masih suka menggambar?" Imbuhnya. Pak Dimas ternyata masih mengingat hobby anak sematang wayangku itu. Aku ingat betul setahun yang lalu Pak Dimas menghadiahi Dirga berbagai merk cat lukis beserta kanvasnya ketika Dirga berulang tahun. Padahal anakku sukanya menggambar anime di PC. Dia sama sekali tidak pernah memegang kuas.

"Masih. Malah sekarang lagi seneng-senengnya bikin komik. Ya walaupun masih acak." Jawabku khas ibu-ibu yang sedang menggebu membanggakan anaknya.

"Kalau ayahnya?" Seperti kehabisan pertanyaan, Pak Dimas menanyakan hal yang tidak penting.

Belum kujawab, pintu lift tiba-tiba terbuka.

"Alhamdulillah" Ucapku secara bersamaan dengan Pak Dimas. Wajah Pak Dimas terlihat sangat sumringah, pun begitu dengan wajahku.

Pak Hartanto sedang berdiri cemas di depan lift.

"Tidak ada yang terluka kan, Pak?" Tanyanya yang disambut dengan senyuman Pak Dimas. Ia kemudian menggeleng.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus semangat

2023-09-01

0

💦 maknyak thegech 💦✔️

💦 maknyak thegech 💦✔️

ceritanya coba di promosikan di fb Thor
semangat terus buat author

2022-03-25

1

Manggan Ema Purnamasari

Manggan Ema Purnamasari

cerita mu,bagus thor tpi,sepi
sangat disayangkan

2022-03-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!