Kami bertiga melangkahkan kaki ke dalam rumah yang kutaksir usianya dua kali lipat lebih tua dari usiaku.
Kursi kayu jati berbaris rapi di sana. Perabot-perabot yang sudah usang, namun terlihat mewah. Rumah ini sungguh sejuk dan nyaman.
"Duduk Nir." Ucap Pak Dimas mempersilahkanku, kemudian berlalu ke belakang dengan tangan yang terus merangkul pundak neneknya. Aku tersenyum melihat pemandangan manis ini.
Rumah ini tidak terlalu luas. Dari ruang tamu saja aku dapat melihat dapur.
Kupandangi sekitar. Terpampang foto keluarga besar tergantung di dinding. Belasan orang ada di dalamnya. Nenek Kak Dimas berada di tengah-tengah tersenyum sumringah.
Sepertinya foto ini diambil sudah cukup lama, terlihat dari raut wajah Pak Dimas yang jauh lebih muda dari yang kulihat sekarang. Ia mengenakan setelan jas seperti yang biasa ia kenakan setiap hari ketika pergi ke kantor. Begitu juga dengan semua laki-laki yang ada di foto tersebut. Para perempuan mengenakan gaun dengan warna dan corak senada namun model yang berbeda.
"Kamu ganti baju kamu pake ini." Pak Dimas mengejutkanku. Ia kembali ke ruang tamu dengan membawa kaos dan celana training di tangannya.
Ia menyodorkan kedua benda tersebut ke arahku.
"Itu punya adikku. Kamu pake aja." Aku baru tahu jika Pak Dimas punya adik perempuan.
"Yang paling ujung kiri itu Masku, yang aku bilang kerja jadi teknisi di bandara tadi." Ucap Pak Dimas sembari menunjuk ke arah foto yang kupandangi sedari tadi.
Ia mengusap-usap foto yang sedikit berdebu tersebut.
"Yang pake jilbab itu Mbakku nomor dua. Sekarang tinggal di Palembang ikut suaminya. Anaknya tiga. Kalau yang duduk ini Masku, tinggal di Melbourne. Istrinya bule." Imbuhnya sembari terkekeh.
"Kalau yang paling kecil ini adikku, namanya Laras. Masih kuliah di Undip, jurusan kedokteran. Satu-satunya yang tinggal di rumah ini bareng nenek. Tapi sekarang dia udah tidur di kamar nenek."
Aku baru tahu jika Pak Dimas memiliki saudara sebanyak ini. Ia tidak pernah menceritakan latar belakang keluarganya sebelumnya. Yang aku tahu, ia tinggal sendiri di sebuah apartemen karena kedua orang tuanya sudah meninggal.
"Aku nyuci mobil nenek sebentar ya." Ucapnya sembari berlalu keluar rumah.
Nenek Pak Dimas kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan di tangannya. Pelan-pelan ia menaruh secangkir minuman di atas meja.
"Coklat anget." Ucapnya sembari tersenyum.
Ia kemudian duduk tepat di sebelahku.
Kuambil cangkir tersebut, kuminum seteguk kemudian kukembalikan ke atas meja.
"Gimana kabarnya Dirga?" Ucap nenek yang menbuatku bingung. Kok nenek bisa tahu tentang Dirga.
"Baik, Nek." Aku hanya menjawabnya singkat.
"Padahal nenek udah seneng banget pas tahu kamu bercerai. Eh ternyata rujuk lagi. Ya sudah berarti kamu memang bukan jodohnya Dimas." Ucap Nenek sambil tersenyum.
Tutur kata nenek membuatku semakin bingung. Bagaimana dia tahu tentangku sebanyak itu.
"Gausah bingung. Dimas itu suka telpon nenek curhat-curhat. Diakan gak punya temen. Nenek ini satu-satunya temen yang dia punya." Ucapan nenek seakan tahu akan kebingungan yang tersirat di wajahku.
Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman kecil.
Malam ini aku tidur di kamar Laras, adik Pak Dimas. Kamarnya tidak terlalu besar. Segala hal yang ada di ruangan ini serba pink khas anak perempuan, termasuk celana training yang sedang aku kenakan kini.
Dari catatan-catatan yang tertempel rapi di dinding, terlihat jika Laras memang anak yang pintar. Sebuah almari tua berisi penuh piala dan medali berdiri di sudut ruangan.
***
Aku terbangun karena bunyi alarm yang ada di ponselku. Semalam aku memasangnya karena takut akan kesiangan lagi seperti kemaren.
Aku menggerak-gerakkan perkelangan kakiku. Sudah tidak sakit sama sekali.
Aku pergi keluar kamar menuju ke arah belakang ingin ke kamar mandi. Semalam sebelum tidur aku membersihkan diri dan ganti baju di sana, jadi aku sudah sedikit akrab dengan ruangan-ruangan di rumah ini.
Kubasuh mukaku dengan air dingin. Rasanya sangat sejuk dan segar. Aku keluar kamar mandi dengan pelan. Aku takut langkah kakiku akan membangunkan semua orang di rumah ini.
Kulangkahkan kaki ke arah dapur. Terlihat Pak Dimas, nenek, dan seorang gadis sudah duduk di meja makan. Dia pasti Laras.
Kulirik jam dinding yang tergantung di dinding. Sedikit tak percaya ini baru pukul 05.30. Sepagi ini mereka semua sudah sangat rapi dan bersiap untuk sarapan.
"Pagi Kak." Sapa Laras. Dia sangat cantik, jauh lebih cantik dari foto yang terpampang di ruang tamu.
Aku mengangguk tersenyum.
"Ayo sarapan dulu." Ucap nenek sembari menarik kursi di sampingnya mempersilahkanku duduk.
Sarapan sederhana terhidang di meja. Nasi hangat, sayur bening, tempe goreng, sambal dan telur ceplok. Aku jadi teringat akan nenekku sendiri.
Aku membantu nenek membersihkan meja makan kemudian mencuci piring.
'Oh tiada yang hebat dan mempesona
Ketika kau lewat di hadapanku
Biasa saja
Waktu perkenalan lewatlah sudah
Ada yang menarik pancaran diri
Terus mengganggu
Mendengar cerita sehari-hari
Yang wajar tapi tetap mengasyikkan'
Nenek sedang menyapu lantai sembari menyenandungkan lagu milik Keenan Nasution yang sedang diputar di radio tua miliknya.
Aku tersenyum.
Pak Dimas sedang bercengkrama di depan televisi dengan Laras. Sesekali kudengar tawa renyah mereka. Mereka terlihat sangat akrab.
Kuelap tanganku menggunakan kain yang tergantung di samping wastafel.
Aku menghampiri dua saudara kandung tersebut kemudian duduk di antara mereka.
"Kak, baju gantinya aku taruh di ranjang. Nanti dibalikin ke Kak Dimas aja kalau udah sampe di Jakarta." Laras benar-benar ramah, padahal ini kali pertama kami bertemu.
Ia sangat mirip dengan Pak Dimas, namun versi perempuan
Aku berpamitan pada Nenek dan Laras. Aku memeluk mereka berdua bergantian. Rasanya berat melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Pertemuan singkat namun akan selamanya membekas di hatiku.
Pak Dimas berjalan di sampingku dengan tangan menyeret koper. Tentu saja koperku. Aku tidak memintanya, dia sendiri yang menawarkan diri.
***
Pesawat sudah tiba di bandara Soekarno Hatta. Taxi online yang kupesan sudah menungguku di depan. Pak Dimas sedang menunggu sopir pribadinya.
Aku membuka pintu mobil.
Sebelum masuk, aku menganggukkan kepala pada Pak Dimas, sebagai ucapan selamat tinggal.
Ia tersenyum.
Kututup pintu dengan keras. Kubuka kacanya setengah. Sekali lagi aku mengangguk. Aku malu jika harus melambaikan tangan padanya.
"Nir..." Panggilnya lirih.
"Jangan kamu pikir saya tidak marah ya, kamu menyebar foto jelek saya seenaknya."
Aku meringis, menggigit bibir bawahku. Kutepuk punggung sopir menyuruhnya untuk segera tancap gas.
Kupandang ke belakang, Pak Dimas berdecak pinggang sembari tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Supri AE
next thor
2022-03-26
1
Shita De'a N Zayn
lanjut toor
2022-03-25
1