Mas Anggara membopong Dirga kedalam kamar kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang hanya berukuran 100x200cm bercorak super hiro khas anak laki-laki tersebut.
Kubenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh Dirga. Dalam tidurnyapun Dirga masih tersenyum. Ibu mana yang tidak terenyuh melihat pemandangan semacam ini.
Kucium kening anak semata wayangku berkali-kali. Hal yang sama dilakukan Mas Anggara beberapa saat yang lalu. Kupandangi terus wajahnya sampai aku merasa puas. Hari ini aku seperti melihat kembali Dirga kecil, Dirga yang selalu ceria.
Aku menekan ke bawah saklar lampu kamar ini kemudian dengan sangat pelan menutup pintunya.
Aku menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Rasanya sangat lengket dan gatal mengenakan baju baru yang belum sempat dicuci. Tapi tadi aku berhasil menahannya. Aku tidak ingin Dirga melihat kegusaranku hanya karena hal sepele semacam ini.
Aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan baju tidur lengan dan celana panjang yang sedikit kedodoran di tubuhku. Aku tidak ingin Mas Anggara mengira aku sedang menggodanya sehingga aku memutuskan untuk menyimpan semua pakaian tidurku yang minim di gudang.
Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang. Menarik selimut kemudian menutup mata. Rasanya hari ini sangat melelahkan. Baru pukul 21.00 namun aku sudah tak bisa menahan kantukku.
Aku terbangun karena merasakan ada sesuatu yang berat menempel di tubuhku.
Tubuh Mas Anggara terbaring tepat di belakangku dengan posisi tangan melingkar memelukku. Aku tak bisa melepaskan diri dari pelukannya bahkan bergerak saja aku tidak leluasa. Aku menghela nafas panjang. Entah dia benar-benar sudah tertidur atau hanya sedang berpura-pura.
Dulu saja selalu ada jarak berjengkal-jengkal di antara kami di atas ranjang ini.
***
Aku menyetir mobil ke kantor pagi ini tanpa mengantar Dirga terlebih dahulu ke sekolah. Ia dan ayahnya berangkat bersama menggunakan taxi online setengah jam yang lalu. Mobil Mas Anggara masih berada di tempat tinggalnya yang lama beserta beberapa barang yang belum sempat ia kemas.
Kantor masih sepi. Jalan yang aku lalui tidak terlalu macet pagi ini sehingga aku datang lebih awal. Aku mengejai sembari menguap dengan suara yang cukup lantang tanpa menutup mulut seruas jaripun.
"Selamat pagi." Aku melompat terkejut mendengar sapaan yang cukup lantang dari arah belakangku. Aku mengelus dadaku berulang kali berusaha menenangkan diri.
"Pagi Pak." Aku tak bisa meluapkan kekesalanku karena orang itu adalah atasanku sendiri, Pak Dimas.
Pak Dimas hanya tersenyum kemudian berlalu menuju ruangannya. Ia sangat berwibawa. Sempurna, satu kata yang sangat pas untuk menggambarkan dirinya. Dengan postur tubuh tinggi dan garis wajah yang indah, sungguh tampan. Apalagi dengan jabatan yang ia miliki saat ini.
Hanya wanita bodoh yang mampu menolak cintanya. Dan akulah wanita bodoh tersebut. Dua kali Pak Dimas mengutarakan perasaannya padaku, namun aku menolaknya.
Hal tersebut tak lantas merubah sikap Pak Dimas padaku. Ia tetap menjadi Pak Dimas yang persis sama seperti orang yang kutemui 13 tahun lalu.
Sekali lagi aku menghela nafas panjang.
Sebenarnya akulah yang merasa sedikit risih. Aku yang tidak tahu diri ini terus saja mengekorinya. Ingin sekali rasanya untuk resign dari tempat kerjaku ini. Tapi setelah ratusan kali kupikir tidak akan ada lagi perusahaan yang mau menerima wanita yang sudah berusia 37 tahun sepertiku.
Lamunanku dibuyarkan oleh beberapa langkah kaki yang sedang memasuki ruangan ini.
Kuletakkan tasku di atas nakas, kemudian kutarik beberapa lembar tisu untuk menyeka debu tipis yang menempel di atas meja kerjaku.
"Woyyy.." Teriakan lantang Kartika membuatku melompat terkejut untuk yang kedua kalinya di pagi hari ini.
"Anjir.." Sentakku seraya menoyor kepalanya. Sebenarnya aku ingin melakukan hal yang sama tadi pada Pak Dimas, namun tentu saja aku mengurungkannya.
Tawanya yang renyah membuat telingaku berdengung. Memang Kartika tidak bisa bicara dengan pelan. Dia bukanlah partner bergosip yang sip. Dia selalu keceplosan dan tidak bisa menjaga rahasia. Kelemahan terbesar Kartika adalah kejujurannya. Dia akan selalu menyeplos ketika ada hal yang tidak sesuai dengan hatinya.
Kartika menopangkan kedua tangannya di atas meja kerjaku.
"Nir, tau nggak sih kemaren Pak Dimas kelihatan resah." Ia merapalkan kalimat aneh diimbuhi dengan desah panjang ketika mengucapkan kata yang terakhir.
Suaranya yang lantang sontak membuat Putra yang duduk berseberangan denganku menatap ke arah kami.
"Bener Nir. Ih kasian tau. Gue jadi gak tega. Pasti Pak Dimas lagi ngebayangin loe lagi ewita sama si Anggara" Ucap Putra tanpa beranjak dari tempat duduknya.
Tabiat Putra yang sedikit gemulai membuat suasana semakin heboh. Mereka berdua saling menyerocos menceritakan banyak hal yang terjadi ketika aku di Bali.
Aku tak mengindahkan mereka berdua, dan malah sibuk mengotak atik PC yang ada di depanku saat ini. Kubiarkan saja mereka, jika ditanggapipun tidak akan ada akhirnya.
"Nir, bisa ke ruangan saya sebentar." Pak Dimas melongok dari dalam ruangannya memanggilku.
"Bawa laptop." Belum juga kujawab perintahnya yang pertama, dia sudah mengatakan hal lain.
"Siap Pak." Sesegera mungkin aku menuju ruangannya. Duo rumpi yang sedang mengerubungi meja kerjaku tersenyum menggoda. Aku bergidik geli melihatnya.
"Permisi, Pak." Aku mengetuk pintu ruangan Pak Dimas meskipun ia sudah mengetahui kedatanganku.
"Sini laptop kamu. Mana laporan yang kemarin." Pak Dimas meraih laptop yang ada di kedua tanganku menggunakan tangan kananya.
Ia meletakkan laptop tersebut di atas meja kemudian mengamati laporan yang terpampang di layarnya dengan serius. Satu tangannya menopang wajahnya yang sedikit miring ke kanan.
Berulang kali ia mengarahkan kursor ke atas kemudian ke bawah menggunakan jari telunjuknya. Sesekali ia mengernyitkan dahi.
Aku tak berani bersuara jika dia sedang serius seperti ini. Pak Anggara tidak segan menegur siapapun yang mengganggu konsentrasinya, bahkan klien penting sekalipun.
"Gimana liburannya kemaren?" Pak Anggara yang masih mematokkan pandangannya ke layar laptop menanyakan hal tersebut.
"Enak, Pak." Celetukku.
Mukaku memerah. Bodoh, bukan itu maksudku. Ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi ini. Pipiku rasanya panas seperti terbakar. Tak bisa kugambarkan betapa malunya aku saat ini. Sial bagaimana aku menjelaskannya. Sejenak kami berdua terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Maksud saya menyenangkan, Pak." Pak Dimas tidak bereaksi sedikitpun atas ucapanku. Terlihat mukanya juga memerah. Sesekali ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku keluar dari ruangan Pak Dimas dengan penuh rasa malu. Bagaimana bisa aku melontarkan kata enak.
Aku terduduk lemas di meja kerjaku. Berulang kali aku menumbrukkan kepalaku ke atas meja. Bodoh..Bodoh..Bodoh.. Terus saja aku mengumpat. Bagaimana jika Pak Dimas berpikiran kotor karena ucapanku tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus semangat
2023-09-01
0