Mahasiswa Mas Anggara

"Kurang ke kiri yah." Arahan dari Dirga kepada ayahnya yang sedang memanjat kursi berusaha menggantungkan bingkai foto di dinding ruang tamu agar terlihat presisi.

"Sedikit lagi. Nah pas." Serunya sembari mengacungkan jempol.

Kupandangi foto tersebut. Foto ini menggantikan posisi foto yang lama, dan seakan menjadi penanda dibukanya lembaran baru dalam bahtera rumah tangga kami.

Mas Anggara tersenyum padaku namun kuacuhkan.

Aku berlalu ke dapur kemudian kembali dengan membawa sepiring brownies di tanganku untuk mereka berdua.

"Enak Bunda." Ucap Dirga yang sedang mengunyah brownies buatanku. Aku mengulum senyum. Ia tidak pernah sekalipun mengecilkan hatiku. Setiap apapun yang kumasak, dilahapnya sampai habis.

Kuhampiri ia yang sedang duduk di sofa. Kuelus lembut puncak kepalanya lalu kulayangkan kecupan hangat di keningnya.

"Habisin ya. Nanti Bunda bikinin lagi." Ucapku penuh kasih sayang.

"Beneran Bunda? Yes." Ucapnya riang membuat hatiku semakin berbunga-bunga. Aku sangat bersyukur memiliki Dirga dalam hidupku.

Di sampingnya Mas Anggara sedang mengambil sepotong brownies untuk yang ketiga kalinya. Dia suka sekali dengan makanan manis.

Di hari libur ini kami tidak berencana kemana-mana. Aku ingin memaksimalkan waktuku yang berharga ini bersama Dirga.

Setiap hari aku selalu menghabiskan waktu di kantor. Sering kali kudapati Dirga sudah terlelap ketika aku harus pulang lebih petang karena lembur.

Sebenarnya aku sangat menyayangkan hal tersebut. Namun aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja. Tidak mudah untukku mencapai titik ini.

"Hari ini aku ada janji sama mahasiswa yang mau konsul. Palingan dua jam." Ucap Mas Anggara yang masih meneruskan aktifitasnya mengunyah brownies seakan meminta izin.

Ia sedang sibuk memandangi layar ponselnya. Padahal tadi pagi dia sendiri yang bilang tidak akan kemana-mana.

"Inikan Sabtu. Kampus mana yang buka?" Ucapku tanpa menoleh ke arahnya.

"Ketemuannya di luar kampus. Soalnya dia bisanya cuma sekarang. Besok dia mau pulang kampung, kakaknya menikah." Cecarnya membuat alasan yang seakan dibuat-buat.

"Sejak kapan ada dosen yang nurut sama mahasiswanya." Aku mencebik.

"Kalo gitu, aku suruh dia buat datang kesini aja ya. Bimbingan disini." Ucapnya sembari meraih tangan kananku namun segera kutangkis.

Aku tidak memperdulikan ucapannya. Terserah apa yang akan dia lakukan, aku tidak peduli.

Aku berlalu ke belakang. Ada setumpuk cucian yang menungguku. Aku memang memperkejakan asisten rumah tangga hanya jika butuh saja. Mbak Ina, pekerja harian yang selalu kutelpon ketika aku butuh bantuan. Rumahnya tak jauh dari sini. Hanya butuh lima menit untuk sampai.

Ting..Tong..

Suara khas bel rumah kami.

Ting..Tong..

Ting..Tong..

"Nggak sabaran banget sih, sampai mencet bel tiga kali." Gumamku seraya berlalu keluar. Aku penasaran siapa yang kesini pagi-pagi.

Baru sampai di ambang pintu, kulihat gerbang sudah terbuka. Mas Anggara sedang mengobrol dengan dua muda mudi yang tampak seperti mahasiswa. Mungkin ini tamu yang dimaksud Mas Anggara tadi.

Terdengar Mas Anggara mempersilahkan mereka masuk.

Aku mendengkus kesal. Dia benar-benar mengundang mahasiswanya untuk datang ke rumah kami. Mau tidak mau, aku harus membawakan mereka minuman karena mereka sudah terlanjur menginjakkan kaki di rumah ini.

Ku amati mereka berdua. Seorang perempuan muda berkulit sawo matang mengenakan hijab warna cream senada dengan bajunya. Di sampingnya duduk laki-laki, mengenakan kemeja kotak-kotak warna hitam dengan seluruh kancing terbuka memperlihatkan kaos putih di dalamnya.

"Silahkan diminum." Kuletakkan dua cangkir teh hangat di meja. Mereka menyambut kedatanganku dengan anggukan dan senyuman kecil di wajah masing-masing. Dengan terpaksa aku ikut tersenyum.

Prinsip yang diajarkan ibuku sedari kecil adalah, "Pantang membiarkan orang keluar dari rumah kami dalam keadaan haus dan lapar."

Aku menghembuskan nafas kasar, mencoba ikhlas. Kubuka kulkas, kuambil apapun yang bisa kumasak dan akan kuhidangkan pada mereka berdua.

Dengan muka yang masih cemberut, aku mengupas segepok pisang raja uli yang dikirimkan ibuk minggu lalu.

Aku menyulapnya menjadi pisang goreng. Setidaknya aku bisa menyuguhkan sesuatu untuk mereka.

Kubawa sepiring kecil brownies sisa Mas Anggara dan Dirga tadi di tangan kanan, dan pisang goreng di tangan kiri.

Kuletakkan keduanya di meja.

"Sambil di makan." Utusku.

"Aduh jadi ngrepotin, Buk." Ucap mahasiswa laki-laki. Sementara si perempuan masih sibuk mencermati setiap kata yang diucapkan Mas Anggara. Ia hanya menoleh ke arahku kemudian tersenyum.

"Ini Vania, mahasiswa bimbingan aku. Kalo yang ini pacarnya, Dito. Aku nyuruh Vania minta antar Dito biar gak menimbulkan fitnah." Tegas Mas Anggara.

Aku tersenyum sinis pada Mas Anggara, namanya hampir mirip dengan mahasiswa yang tertangkap basah sedang berduaan di kamar hotel dengan Mas Anggara dua tahun lalu. Vania dan Sania.

Aku kembali ke dapur, melanjutkan aktifitasku membuat hidangan untuk mereka.

Tadi pagi aku sudah membuat sayur sop dan tempe goreng, itu saja yang akan aku hidangkan. Kugoreng ayam ungkep yang ada di kulkas, kemudian membuat sambal.

Kulihat nasi di dalam rice cooker, kemudian ku tutup kembali. Cukuplah untuk dua orang. Aku bisa menanak kembali nanti ketika mereka sudah pulang.

"Makan dulu. Nanti dilanjut lagi konsulnya." Teriakku dari arah dapur." Terlihat mereka berdua sedang menggeleng menolak ajakan Mas Anggara.

"Saya sudah masak banyak loh, masak g kasian. Incip-incip sedikit aja." Aku dengan berat hati tetap berusaha bersikap ramah menawari mereka berdua.

***

Kukeringkan wajah basah yang baru saja kucuci menggunakan handuk. Kupandangi setiap sentinya di depan cermin. Kerutan-kerutan halus mulai muncul di sana sini.

Aku menepuk-nepukkan tanganku yang sudah kuberi toner ke seluruh muka. Kemudian kuoleskan krim malam. Ini adalah rutinitasku setiap hari untuk menjaga agar kulitku tetap sehat dan segar.

"Cantik." Ucap Mas Anggara yang sudah berdiri di belakangku sembari melingkarkan kedua tangannya di depan dadaku.

Seumur hidup baru kali ini aku mendengar Mas Anggara mengucapkan kata tersebut. Kugoyangkan tubuhku berusaha melepaskan tangannya.

"Gausah mancing. Lagi males." Ucapku sinis.

"Aku gak mancing kok. Emang beneran cantik." Ucapnya yang tetap berdiri di belakangku dengan matanya terpaku ke arah cermin.

Aku melengos. Ku tinggalkan ia begitu saja menuju ranjang.

Kupukuli tumitku berulang kali. Aku tidak benar-benar libur di hari libur ini. Sederet pekerjaan rumah tangga lebih berat dibandingkan pekerjaan kantor. Rasanya melelahkan.

"Sini biar aku pijitin." Ucap Mas Anggara yang langsung mengangkat kedua kakiku dan menaruhnya di atas pangkuannya.

Aku berusaha berontak namun sangat sulit untuk bergerak.

"Udah nurut aja." Lanjutnya.

"Gausah, geli." Aku berusaha menyingkirkan tangan kanannya dari atas kakiku.

"Masak sih?" Ucapnya menggoda.

"Kalo gini geli gak?" Ia mengarahkan bibirnya ke kakiku. Kemudian mendaratkan ciuman lembut di sana.

"Mas." Aku terperanjat. Sensasi yang ditimbulkan membuatku melayang.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus sAbar

2023-09-01

0

🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒

🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒

pov Angga donk pngen tau dia bnr berubah apa gk

2022-03-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!