Kulangkahkan kakiku ke dapur mencari bebek bakar yang dibicarakan Mas Anggara di pesan yang dikirimkannya sore hari tadi.
Ku buka bungkusan yang ada di atas meja makan. Masih utuh belum tersentuh. Mas Anggara dan Dirga sama-sama tidak menyukai makanan favoritku ini. Dulu aku yang selalu harus mengalah menuruti selera mereka berdua.
Kuambil secentong nasi dari rice cooker. Aku tidak makan apapun di restauran tadi. Sama halnya dengan Sherin, lidah lokalku menolak makanan mentah. Rasanya amis dan membuatku mual.
"Baru pulang, Nir?" Sapaan Mas Anggara mengagetkanku. Ia menengok ke arah jam yang tergantung di dinding. Jarum pendeknya menunjuk ke angka 10.
Ia berdiri menyandarkan diri di ambang pintu dapur. Tangannya menyilang di dada.
"Pergi ke restauran Jepang tadi?" Nasi yang banyak di atas piringku menjelaskan bahwa aku belum makan apapun. Dan Mas Anggara tahu dengan jelas bahwa aku tidak akan menolak makanan apapun kecuali makanan mentah. Aku menjawab pertanyaannya dengan mengangkat kedua alisku.
Aku melanjutkan menyantap nasi hangat dan bebek bakar di piringku yang hanya tinggal beberapa suap. Rasanya sungguh mantap. Tidak ada makanan yang lebih enak dari ini.
"Tadi kata Dirga, di sekolah dia dapat tugas Bahasa Inggris buat Descriptive Text. Dirga kebagian mendeskripsikan keluarga." Ucap Mas Anggara tanpa beranjak dari posisinya.
"Terus?" Jawabku cuek.
"Katanya suruh bawa foto keluarga pas presentasi minggu depan." Mas Anggara terus menceritakan tugas yang diberikan guru Dirga tersebut.
"Gimana kalau besok kita foto keluarga?" Lanjutnya.
"Kan di ruang tamu ada foto keluarga, Mas. Suruh aja Dirga bawa itu." Tukasku.
"Kan itu foto Dirga waktu masih umur 2 tahun, Nir. Sekarang dia udah 9 tahun. Udah banyak perbedaan di antara kita bertiga."
Aku tak menjawab kalimat terakhirnya dan masih sibuk membersihkan piring kotor serta sisa makananku di atas meja. Kucuci tangan lalu mengelapnya.
"Gimana Nir? Kalau iya besok sepulang dari kampus aku jemput Dirga dari sekolah trus kita ketemuan di studio fotonya langsung."
"Hmmmmm..." Kuiyakan ajakannya. Mas Anggara beranjak dari tempatnya lalu memelukku dari belakang.
"Makasi ya." Ia melayangkan ciuman di pipi kananku. Aku menghempaskan nafas berat lalu melepaskan diri dari pelukannya. Rasanya sesak.
Mas Anggara mengulum senyum. Aku berpalis. Senyumannya itu tidak akan pernah membuatku lupa akan kejadian dua tahun lalu. Mungkin aku sudah memaafkannya, namun aku tidak akan pernah lupa.
Ku langkahkan kaki ke kamar. Lalu menyimpan tasku di atas nakas. Aku duduk di tepi ranjang mengikat rambut panjangku yang tergerai sedari pagi.
Aku menuju ke kamar mandi, ingin segera kuguyurkan air dingin di sekujur tubuhku.
Aroma wangi sabun mandi yang ada di tubuhku sangat pekat. Tanpa memakai parfumpun badanku mungkin akan harum seharian karena sangking wanginya.
Kugosok gigiku. Aku menyeringai di depan kaca. Dengan seksama kupandangi setiap celanya. Aku tidak suka jika sesuatu menempel di sana.
Ku balut tubuhku dengan handuk. Rasanya sangat segar. Ku arahkan pandanganku ke gantungan di dinding sisi kiri.
Sial. Aku lupa membawa baju ganti tadi. Bagaimana jika Mas Anggara masih terjaga dan melihat aku keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang terlilit di badanku.
Kulongokkan kepala di ambang pintu, melihat sekitar. Dadaku berdeguk kencang. Aku mengendap seperti maling yang takut ketahuan. Sepanjang pantauanku, tak kulihat tanda-tanda adanya Mas Anggara. Mungkin dia sedang merokok di teras seperti sebelum-sebelumnya.
Kulajukan langkahku menuju kamar. Perlahan kubuka pintu.
"Bruuukk..." Sesuatu terjatuh. Aku menoleh ke asal suara tersebut. Ponsel Mas Anggara tergeletak di lantai.
Dan si pemilik sedang berbaring di atas ranjang tertegun melihatku yang hanya mengenakan handuk.
Kami berdua mematung memandang ke arah masing-masing. Terlihat Mas Anggara menelan salivanya kasar.
Sial, tanpa sengaja aku malah mengundang hasratnya.
Dengan tenang aku menuju ke arah almari pakaian. Aku terus melanjutkan aktifitasku, berusaha bersikap biasa saja seperti tidak ada yang terjadi.
Kutarik asal baju yang ada di tumpukkan. Tak ada waktu lagi untuk memilah dan memilih.
Dari cermin terpantul wajah Mas Anggara yang sesekali melirik ke arahku.
Kubaringkan tubuhku di atas ranjang membelakangi Mas Anggara. Aku tidak memperdulikannya. Tentu saja adegan-adegan tadi membuatnya berharap akan ada adegan selanjutnya.
"Hmmmm..." Mas Anggara berdehem mencoba mencairkan suasana yang gabir ini.
"Nir, kamu capek banget ya?" Aku tidak bergeming dengan posisi tetap membelakanginya.
"Kalau kita gituan gimana?" Kemaren saja di Bali dia tidak menanyakan pendapatku dan langsung melancarkan aksinya.
Ia semakin mendekat dan mendekapku dari belakang. Ia mencium tengkukku. Seketika darahku berdesir. Ia tahu betul bahwa itu adalah titik kelemahanku.
"Gimana, Nir?" Dengan terus menelan salivanya Mas Anggara bertanya padaku. Aku mengangguk pasrah. Bagaimanapun aku tidak bisa terus menerus menolak ajakannya karena status kami suami istri. Malaikat bisa melaknatku sampai pagi jika terus begini.
***
Aku sedang mengeringkan rambutku di depan meja rias ketika Mas Anggara memasukkan beberapa barang pentingnya ke dalam ransel.
Sedari pagi ia terus saja tersenyum. Entah hal apa yang membuatnya sebahagia itu.
"Nanti jadi kan Nir kita foto keluarga? Soalnya aku udah terlanjur ngomong sama Dirga kemaren." Jika menyangkut Dirga tidak mungkin aku menolaknya. Aku tidak mungkin tega mengecewakan anak semata wayangku itu.
"Iya." Singkatku.
"Nanti aku share lokasinya ke kamu ya." Mas Anggara masih sibuk dengan aktifitasnya.
Aku yang selesai terlebih dahulu, keluar dari kamar menuju ke dapur.
Dirga sudah berada di sana. Menyantap nasi goreng yang kubuat tadi setelah mandi.
"Bun, masak kemaren si Raka ngompol di kelas. Katanya saking gugupnya pas disuruh Bu Fira maju ke depan." Ujar Dirga dilanjutkan dengan tawa kami berdua. Dirga memang seperi itu, selalu menceritakan segala hal padaku.
Kami bertiga sarapan bersama layaknya keluarga lain.
Dirga yang ceria terus saja menceritakan apa saja yang ia lalui di sekolah kemaren karena tadi malam kami tak sempat bercengkrama. Aku dengan seksama mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulutnya. Ia sangat antusias dan bersemangat.
Terdengar suara bising keluar dari mesin mobilku dan mobil Mas Anggara. Aku tersenyum. Suasana semacam inilah yang aku idam-idamkan. Mungkin aku sudah mulai ikhlas menjalani kehidupan pernikahan keduaku ini walaupun aku belum bisa sepenuhnya bersikap baik pada Mas Anggara.
"Daaaaa.. Bundaaa.." Ucap Dirga seraya melambaikan tangan kanannya dari dalam mobil Mas Anggara yang terus bergerak maju keluar dari halaman rumah.
Aku yang berdiri di ambang pintu membalas lambaian tangannya. Mas Anggara melirikku dari kaca spion, ia tersenyum. Aku berpalis lalu masuk ke dalam. Entahlah masih sangat berat untukku sekedar melemparkan senyum padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2023-09-01
0
Tiharoh
nex
2022-03-23
1
Nur Janah
masih jadi misteri siapa sebenarnya sekertaris baru itu
2022-03-23
1