Kebahagiaan Dirga

Tak lebih dari 60 jam aku menghabiskan siang dan malam di Bali, namun rasanya aku sudah sangat merindukan suasana Jakarta.

Aku memasuki halaman rumah yang sudah kutinggali selama 12 tahun terakhir. Sebelum menikah Mas Anggara menghadiahkan rumah ini padaku tepat di hari jadi kami yang kedua. Bahkan ia menyerahkan sepenuhnya surat-surat berharga bangunan ini padaku dengan nama panjangku tertulis di dalamnya, Aulia Nirmala Sari.

Selama dua tahun, hanya aku dan Dirga yang menempati rumah besar ini. Mas Anggara tak pernah sejengkalpun menginjakkan kakinya ke dalam bangunan ini persis setelah hakim mengetukkan palu untuk yang ketiga kalinya.

Ketika menjemput Dirgapun, ia hanya akan berdiri di ambang pintu gerbang luar.

Ia memilih untuk menyewa rumah kecil yang hanya berjarak 10 menit dari kampus tempat ia mengajar. Mungkin itu tujuan terselubung untuk memudahkan dia bertemu dengan Sania, si wanita belia yang tidak tahu malu itu.

Aku mengambil kunci pintu ruang tamu yang aku letakkan di dalam pot bunga adenium yang berada di ujung sebelah kiri teras.

Aku menjatuhkan tubuhku di atas sofa. Kutumpukan kedua kakiku di atas meja. Kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan. Aku mengambil beberapa lembar tisu, kugunakan untuk menyeka peluhku yang bercucuran. Jakarta benar-benar panas.

Kulirik jam yang tergantung di dinding. Jam pulang sekolah Dirga masih 120 menit lagi. Aku memiliki sedikit waktu untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak.

Kukeluarkan ponselku dari dalam tas. 3 panggilan tak terjawab dari Kartika.

'Pak Dimas nyuruh loe buat ngirim berkasnya sekarang juga. Buruan, meetingnya 10 menit lagi.' Bunyi pesan yang dikirimkan Kartika padaku 30 menit yang lalu.

Mampus. Padahal tadi malam aku sengaja terjaga untuk menyelesaikan laporan keuangan perusahaan bulan ini, tapi malah lupa untuk memencet tombol send.

Kutelpon kembali Kartika, namun dia tak juga mengangkatnya. Mungkin dia sedang berada di tengah rapat.

Raut cemas mungkin sangat tercetak jelas di wajahku saat ini. Pak Dimas memang orang yang sangat sabar, namun dia tidak akan mentolerir setiap keterlambatan akan tugas yang kami ampu, bahkan sedetikpun.

Kutelpon Kartika untuk yang ketiga kali, namun dia malah merejectnya.

'Masih rapat sama ngegosipin penganten baru yang lupa ngirim laporan.'

Pesan balasannya membuatku sedikit lega. Dia tidak mengatakan kalau Pak Dimas marah, berarti aku tidak sedang dalam masalah.

Kuletakkan kembali ponselku di atas meja. Segera kuberlalu ke kamar mandi. Sebentar lagi aku harus menjemput Dirga dari sekolah.

Mandi di siang hari seperti ini rasanya sangat menyegarkan. Ku balut rambutku yang masih basah menggunakan handuk lalu aku menuju garasi. Aku memanasi mobilku yang sudah beberapa hari tidak kupakai.

Kubiarkan mesin dalam posisi menyala sembari aku mengeringkan rambut. Aku mengenakan riasan tipis di wajahku, hanya sekedar blush on dan lip tint untuk membuatku terlihat lebih segar. Dress selutut warna biru yang kubeli ketika masih berstatus mahasiswa sedang kutempelkan di badanku. Sudah lama aku tidak mengenakannya.

Aku berlenggok ke kiri dan kanan. Aku tersenyum sipu. Ternyata masih cocok kupakai di usiaku yang hampir menginjak kepala empat.

Aku sedikit melajukan mobilku. Tidak terasa aku terlalu lama menghabiskan waktu untuk bersolek sampai-sampai aku melewatkan jam pulang sekolah Dirga. Kuparkirkan mobil tepat di depan gerbang sekolah.

Aku melongok dari dalam mobil, Dirga sudah berdiri di sana bersebelahan dengan ayahnya. Apa yang sedang dilakukan Mas Anggara. Bukannya dia sedang ada janji untuk melakukan bimbingan skripsi dengan mahasiswa yang bernama Kevin tadi.

Mereka berdua melambaikan tangan ke arahku sembari tersenyum meringis memperlihatkan gigi masing-masing. Kupikir Mas Anggara tersinggung dengan ucapanku di bandara tadi pagi. Melihatnya sedang berdiri di sana berati itu hanya ada dalam pikiranku saja.

Mereka berdua berjalan ke arah yang sama, namun berdiri di depan pintu yang berbeda. Dirga membuka pintu mobil belakang kemudian dengan pelan menghempaskan tubuhya di sandaran dudukan mobil. Mas Anggara sedang mengetuk-ngetuk atap mobil menyuruhku turun.

"Aku aja yang nyetir." Aku tidak turun tapi malah melompat ke jok sebelah kiri. Melihat tingkahku Mas Anggara langsung tertawa.

"Dirga pengen apa aja dan kemana aja hari ini, akan ayah turuti." Kalimat Mas Anggara yang diikuti suara sorak gembira dari anak semata wayang kami. Dia tidak pernah terlihat segembira ini. Mungkin keputusanku untuk rujuk dengan Mas Anggara adalah hal yang tepat.

"Kalo semisal kita ke Bounce Street Trampoline Park, gimana Yah? Udah lama banget Dirga pengen ke sana. Temen-temen Dirga hampir semua udah pernah ke sana." Ucap Dirga dengan semangatnya yang menggebu-gebu.

"Siap Komandan." Mas Anggara memberi hormat layaknya bawahan yang sedang memberi laporan pada atasannya. Aku tersenyum. Tiba-tiba saja hatiku sangat bahagia. Jika saja dulu hubungan kami seperti ini.

Mobil terus melaju menuju tempat yang Dirga bicarakan. Tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 30 menit dari sekolah Dirga.

"Kita beli baju dulu yuk. Kan bunda pake dress, nanti gak bisa ikutan lompat-lompat sama kita." Kalimat Mas Anggara mengejutkanku. Kenapa dia bisa begitu perhatian sekarang.

Kami berhenti di salah satu store pakaian. Aku memilih secara acak kaos lengan pendek berwarna putih serta celana jeans warna hitam size 30. Dirga juga telah mengganti seragam merah putihnya dengan kaos pendek warna hitam dan celana jeans navy selutut.

***

Kami sudah sampai di tujuan. Tempatnya tidak terlalu ramai di siang hari ini karena ini bukan hari libur. Hanya belasan pengunjung yang terlihat. Tiket seharga 150.000 sudah berada di tangan kami masing-masing.

Kami memasuki arena pertama dengan bergandengan tangan bertiga. Semua mata yang melihat akan menyangka bahwa kami adalah keluarga yang sangat harmonis. Dan kini aku sedikit lupa bahwa orang yang sedang bersamaku ialah orang yang paling aku benci di dunia ini.

Sudahlah, kebahagian Dirga adalah yang utama.

Kami bertiga terus saja melompat-lompat, hingga kesebelas arena trampoline telah kami singgahi.

Aku terduduk di pinggir arena, menyaksikan Mas Anggara dan Dirga yang masih meneruskan aktifitasnya. Pemandangan yang sangat langka. Aku mengeluarkan ponsel hendak mengabadikan momen ini. Kuarahkan video kamera ke arah mereka berdua.

Keduanya melambaikan tangan ke arahku.

"Bunda.." Teriakan Dirga. Aku tak bisa berhenti tersenyum saat ini melihat suka cita yang tergambar di wajah Dirga.

Pukul 19.00 kami memutuskan untuk pulang ke rumah setelah menyantap hidangan makan malam di salah satu restauran seafood yang dulu sering kami kunjungi.

Dirga yang sudah kelelahan membaringkan tubuhnya di jok belakang. Tak sepatah katapun terucap dari mulutku maupun Mas Anggara sepanjang perjalanan pulang. Aku masih kukuh dengan dinginku padanya. Entah, mungkin dia takut salah bicara.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus sAbar

2023-09-01

0

🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒

🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒

aku ingin tau kata2nya apa yg d ucapkan pas minta rujuk dan siapa yg minat rujuk duluan

2022-03-21

1

Nur Janah

Nur Janah

di sini gak di kasih jabaran tentang perselingkuhan si suami supaya jelas,, dan berharap ada pov anggara

2022-03-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!