Rin.. Rin.. dan Rin..

Hari ini kantor sangat sibuk. Beberapa orang datang lebih awal dari biasanya, termasuk aku. Belum genap jam 7 pagi tapi aku sudah hampir menyelesaikan sarapan di meja kerjaku.

"Rin, hari ini anak-anak JOY bakalan datang kesini buat nunjukkin project mereka. Kamu yang jadi moderator ya." Ucapku pada Sherin yang baru saja datang.

Kartika yang seharusnya menjadi moderator mendadak perutnya kram, sehingga tidak bisa datang.

"Kok baru dikasih tahu sekarang, Mbak?" Tanyanya.

"Iya, darurat soalnya." Kilahku. Sherin memang belum tahu akan acara ini. Kami staf khusus hanya membahasnya lewat grup wa saja."

"Kan aku baru, Mbak. Nanti kalau semisal ada yang salah gimana?" Kalimat yang sama selalu dia ucapkan ketika aku menyuruhnya untuk mengurus semua hal yang berhubungan dengan klien.

"Terus mau sampe kapan jadi anak baru? Walaupun anak baru harus belajar juga dong, biar bisa. Masak selamanya mau jadi anak baru?" Tukasku mencoba membujuknya.

"Tapi Mbak." Ia mencoba berkilah namun kuacuhkan. Aku berlalu meninggalkannya ke ruangan meeting, memeriksa apakah semuanya sudah siap atau belum.

"Makan siangnya udah di pesan kan?" Tanyaku pada Putra yang sedang sibuk menyiapkan apapun yang ia bisa.

"Udah dong. Itukan yang paling penting. Cuma 5 orang aja kan?"

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Putra.

"Tapi loe pesennya gak cuma 5 kan?" Tanyaku memastikan.

"Ya nggaklah. Gue nggak sebego itu." Syukurlah, mendengarnya mengucap kata lima membuatku berpikir bahwa ia hanya memesan makanan untuk anak-anak JOY saja tanpa memikirkan rekan kerjanya sendiri.

"Emang menunya apaan, Kak?" Tanya Mela yang sedang memandang layar PC di depannya, mengecek poin-poin dari laporan yang akan ia presentasikan.

"Bebek bakar kesukaan Nyonya Nirmala." Ucap Putra dengan tabiat gemulainya seraya bersenandung memutariku.

"Udah siap semuanya?" Kedatangan Pak Dimas yang secara tiba-tiba membuat kami semua tersentak. Terlebih Putra yang sampai jatuh terjungkal ke lantai sangking kagetnya.

Ia meringis mengusap-usap bokongnya.

***

"Selamat pagi. Selamat datang di perusahaan Guniar Damar, saya Sherindia Joylan yang akan memoderatori meeting kali ini."

Sherin benar-benar percaya diri. Untuk apa ia selalu mengelak ketika kusuruh, jika dia bisa melakukannya sebaik ini.

Kelima anak buah Pak Hartanto memandang ke arah Sherin tanpa berkedip sedetikpun. Seakan terpukau dengan kecantikan gadis yang sedang berbicara di depan mereka, sampai-sampai mata mereka terus terbelalak.

Akupun berdecak kagum dibuatnya.

"Terima kasih atas perhatian yang Bapak dan Ibu berikan. Saya sebagai moderator memohon maaf apabila dalam memandu acara kali ini ada salah kata atau perbuatan yang tidak berkenan di hati Bapak dan Ibu. Sekian, dan selamat pagi."

Kalimat-kalimat Sherin mengakhiri meeting kali ini. Sambutan tepuk tangan meriah pantas ia dapatkan.

Dia hanya seorang moderator, namun mampu memikat perhatian semua orang yang ada di ruangan ini, tak terkecuali Pak Dimas yang tak melepaskan pandang ke arahnya sedikitpun sedari tadi.

Muda, cantik, berprestasi, rendah hati dan kaya. Paduan kata yang pas untuk mendeskripsikan Sherin.

Aku saja yang sesama perempuan sangat mengaguminya.

Ia tersenyum ke arahku. Aku seperti seorang ibu yang sangat bangga melihat anaknya di atas panggung.

"Gimana Mbak?" Ucapnya ketika seluruh rangkaian acara telah berakhir.

"Perfect." Kuacungkan dua jempol ke arahnya. Ia tersenyum sumringah mendengar kata-kataku tadi.

***

"Rin, ke ruangan saya sekarang."

"Rin, ikut saya."

"Rin, udah telpon klien?"

"Rin, laporan yang kemaren mana?"

"Rin.."

Sejak hari itu, Sherinlah yang setiap saat keluar masuk ruangan Pak Dimas. Ia juga yang setia menemani Pak Dimas kemanapun dan kapanpun.

Sudah tidak pernah lagi kudengar Pak Dimas menyebut Nir.

Sekarang hanya Rin.. Rin.. dan Rin..

Harusnya aku senang karena sudah terbebas dari pekerjaan berat ini. Namun tidak bisa kupungkiri, jauh dalam lubuk hatiku yang terdalam ada setitik rasa iri.

Aku sedikit merasa kehilangan. Mungkin memang Pak Dimas sudah tidak membutuhkanku lagi.

***

"Nir.."

"Iya Pak." Aku langsung bergegas mendengar panggilan tersebut.

"Apaan sih loe manggil gue Pak." Ucap Rey cengengesan. Ia memiliki suara berat yang hampir mirip dengan Pak Dimas.

Aku mendengus kesal. Kemudian duduk kembali.

"Apa?" Ucapku sedikit malas dan kecewa.

"Berkas yang gue kasih ke Pak Dimas kemaren udah dibalikin belum?" Aku berpikir sejenak, berusaha mencerna maksud dari Rey tersebut.

"Ini Mas." Sahut Sherin dari meja kerjanya.

Aku menghela nafas. Bahkan sekarang Sherinlah gudang dari segalanya.

"Huft.." Kudongakkan kepala lalu kuputar kursi yang sedang kududuki searah jarum jam. Kupandangi langit-langit ruangan ini.

Aku bosan. Pekerjaanku sangat berkurang. Setiap hari aku hanya berkutat dengan data-data saja.

"Nir.."

"Apa?" Sahutku malas dengan posisi yang masih sama.

"Ke ruangan saya sekarang." Aku terperanjat. Kukira aku salah dengar, namun ternyata memang Pak Dimas yang memanggilku.

Sudah lebih dari dua pekan aku tidak mendengar Pak Dimas menyebut namaku. Setitik rindu yang menyelimutiku tiba-tiba terobati.

Dengan penuh semangat, aku bangkit dari dudukku. Kurapikan baju serta rambutku yang sedikit berantakan.

Senyum merekah menemani langkahku menuju ke ruangan Pak Dimas.

"Permisi, Pak." Kuketuk pintu Pak Dimas dengan perlahan. Aku terus saja menyeringai layaknya anak kecil yang dijanjikan akan diberi permen.

"Duduk Nir." Titahnya.

Aku menarik kursi yang ada di depan meja kerjanya kemudian duduk.

Dengan seksama aku memandang ke arahnya.

"Tentang grand opening Guniar Damar yang di Semarang minggu depan." Ucapan Pak Dimas terhenti. Ia seperti ragu untuk melanjutkannya.

"Hmmmmmm.." Hanya itu yang keluar dari mulutnya selama beberapa saat.

"Saya tidak percaya siapapun selain saya sendiri dan kamu."

"Hmmmmmm.."

"Jadi maksud saya. Hmmmmm..." Dengan terbata ia melanjutkan kalimatnya.

Aku mulai bosan dengan semua ini.

"Bapak mau menyuruh saya buat pergi ke Semarang?" Aku memotong kalimatnya. Aku sudah paham akan arah perbincangan ini. Biasanya juga aku yang harus pergi ke luar kota.

Pak Dimas hanya mengangguk.

"Oke, Pak." Singkatku dengan raut muka malas.

"Kamu gak izin sama suami kamu dulu? Takutnya dia keberatan." Tanya Pak Dimas ragu-ragu.

"Enggak Pak. Pasti diizinin kok." Jawabku.

Tidak mungkin Mas Anggara berani melarangku, apalagi sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Mungkin dulu aku akan sangat sulit mendapatkan kata iya darinya. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda.

"Perginya sama saya. Sekalian saya mau berkunjung ke rumah nenek saya. Sudah enam bulan lebih soalnya saya tidak kesana."

"Cuma berdua?" Tanyaku berusaha meyakinkan.

"Biasanya kan delegasi buat ke luar kota memang cuma berdua, kamu dengan Putra, kamu dengan Kartika, kamu dengan Mela., kamu dengan Alvin. Iya kan?"

Sederet nama disebutkan Pak Dimas. Memang akulah satu-satunya yang tidak pernah absen untuk pergi ke luar kota.

Huft. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas penuh kekesalan pada Pak Dimas.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus Sukses

2023-09-01

0

Ipat Susilawati

Ipat Susilawati

MBK nur sama pak dim aj Thor..karakter suka pak dim diam2 tp perhatian sedikit cool .😄

2022-03-24

1

Ipat Susilawati

Ipat Susilawati

suka CRT org dewasa..GK ad bodoh2an semangat Thor..

2022-03-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!