Entah sudah berapa lama aku tertidur. Seingatku aku sedang berbalas pesan dengan Kartika, sahabatku tadi. Rasanya ada yang sedikit aneh dengan tubuhku ini.
Tanpa kusadari ada jari jemari yang sedang menggerayangiku dengan lembut. Aku menggeliat. Aku seorang wanita dewasa yang sudah pernah melahirkan seorang putra. Tentu saja sentuhan-sentuhan kecil semacam ini akan membuat sekujur tubuhku memanas. Aku yang masih berada di ambang mimpi mulai menikmati adegan ini.
Kini seseorang tersebut mulai menempelkan bibir bawahnya pada telingaku yang semakin membuat darahku berdesir. Jantungku berdetak tak karuan. Nafasku terengah. Ia kembali menggigit kecil lobule telingaku yang membuatku semakin menggelinjang.
Aku mengerang. Entah kapan terakhir kali aku merasakan perasaan ini. Aku sudah lupa, karena sangking lamanya.
"Aku pengen menuntaskan kerinduanku denganmu malam ini, Nir." Suara berat dengan nafas yang sudah tak beraturan terdengar jelas di telingaku.
Aku terperanjat dan tersadar bahwa laki-laki yang sedang berada di atasku kini adalah suamiku sendiri, Mas Anggara. Aku hafal dengan aroma tubuhnya yang khas. Mauboussin Pour Lui. Aku ingat betul, aku memberikan hadiah parfum dengan merk ternama tersebut di hari jadi pernikahan kami yang pertama. Dan dia selalu membelinya kembali ketika parfum tersebut hampir habis.
Aku langsung terbangun dan melepaskan diriku dari tindihannya, kemudian dengan tegas membelakanginya ke arah tembok.
"Aku capek banget Mas. Pengen istirahat." Tolakku mentah-mentah.
Sudah cukup aku melayaninya tadi malam, aku tidak mau terlarut lebih jauh dalam permainannya. Aku sudah tidak peduli dengan nafsu birahinya maupun birahiku sendiri. Terserah bagaimana ia akan menuntaskannya malam ini. Itu bukan urusanku.
Mas Anggara yang sudah di atas awan terus melancarkan aksinya.
Penolakanku tidak membuatnya menyerah begitu saja. Dengan tubuh gempalnya itu, Mas Anggara memelukku dari belakang dengan sangat erat. Ia kemudian melayangkan ciuman di tengkukku berulang kali. Aku sekuat tenaga menahan hasrat dalam diriku. Karena jauh dalam lubuk hatiku, aku merindukan belaian semacam ini.
"Kamu gak kangen sama malam-malam kita berdua dulu, Nir." Ucap Mas Anggara yang membuatku semakin muak.
Cuih, ingin sekali ku meludah di hadapannya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal menjijikkan tersebut sedangkan dulu dia selalu membayangkan wajah wanita lain ketika memadu kasih denganku.
"Aku pengen ke toilet, Mas." Kalimatku menyudahi aktifitas yang sedang dilakukan Mas Anggara. Sekali lagi aku melepaskan diriku dari cengkeramannya. Dadanya mungkin terasa sesak saat ini karena birahinya tak tersalurkan.
Aku meraih ponselku di atas nakas kemudian berlalu keluar. Aku tidak berniat untuk kembali ke kamar. Aku tidak akan menyerahkan diriku begitu saja ke dalam pelukan Mas Anggara. Aku sudah bukan lagi Nirmala yang dulu selalu mengemis perhatian suaminya dengan terus bersolek dan mengenakan baju seksi.
Dulu melirikku saja dia seakan tidak sudi karena lekukan tubuh wanita simpannya yang masih belia itu jauh lebih sempurna dari istri sahnya ini.
Mungkin Mas Anggara sedang berfantasi dengan pikiran kotornya itu. Biarkan saja ia menungguku sampai lelah. Selama apapun dia menunggu, aku akan tetap berada di sofa ruang tamu ini sampai besok pagi. Sekali lagi aku bukan Nirmala dahulu yang mudah sekali terhasut akan bualannya.
***
Rasanya hangat membuatku ingin bermalas-malasan di pagi hari ini. Aku tidak ingin melakukan apapun di hari terakhirku di Bali. Semalam aku membaringkan tubuhku di atas sofa, merenungkan segala hal yang terjadi dalam hidupku. Entah pukul berapa aku tertidur, aku tidak ingat.
Aku menarik keatas selimut yang hanya menutupi tubuhku sebatas perut. Namun hal ini membuatku tersadar. Semalam aku tidak mengenakan selimut. Mungkin Mas Anggara yang melakukannya. Aku berdecak. Perhatian kecil semacam ini tak akan membuatku tersentuh sedikitpun. Sepertinya Mas Anggara sedang berusaha menarik simpatiku. Sudahlah sekeras apapun dia berusaha tidak akan mempan.
Aku merapikan sofa yang sedikit berantakan, melipat selimut, kemudian meletakkannya kembali di atas ranjang kamar. Tak kudapati Mas Anggara dimanapun. Mungkin dia sudah kembali ke wujud aslinya, menjadi Anggara yang arogan dan selalu tak acuh akan keberadaan istrinya. Dia tidak mungkin bisa berlama-lama bersikap manis padaku.
Aku menuju dapur, ingin sekali ku meneguk segelas air putih untuk menghilangkan dahagaku ini. Ketika ingin membuka kulkas, kudapati note tertempel dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal.
"Makanannya udah aku siapin di meja. I love you." Dia masak lagi hari ini. Aku hanya membacanya sekilas lalu berlalu mencari makanan yang ia bicarakan. Bubur kacang hijau dengan uap yang masih sedikit mengepul, segera ku santap. Baru sesuap, aku sudah dibuat kagum akan rasanya. Aku baru tahu jika Mas Anggara pandai memasak. Mungkin selama ini, dia hanya memasak untuk selingkuhan jalangnya saja.
Ruangan ini terlihat sangat bersih. Mas Anggaralah pasti yang sudah menyapu dan mengepelnya. Kami tidak memiliki asisten rumah tangga di vila ini. Yang ada hanya Mas Imam, penjaga vila yang hanya datang ke vila ini sebulan sekali untuk bersih-bersih.
Bagaimana bisa dia melakukan semua ini. Aku ingat betul dengan arogannya Mas Anggara menasehatiku hanya karena meminta tolong untuk mengangkat jemuran. Ia bahkan membiarkan pakaian-pakaian kami yang setengah kering tersebut basah kembali terkena air hujan.
Dulu bagi Mas Anggara segala urusan rumah tangga adalah tanggung jawab istri. Suami hanya berkewajiban untuk mencari nafkah. Sungguh pemikiran yang kolot di era milenial seperti sekarang ini.
Semangkuk bubur kacang hijau telah kuhabiskan. Tak kubiarkan tersisa barang setetespun. Rasanya sungguh lezat. Bahkan mungkin aku tak bisa membuat bubur dengan rasa yang sama. Kucuci mangkuk yang baru saja kugunakan, ketika tiba-tiba suara parau Mas Anggara sudah memenuhi ruangan ini memanggilku. Sedari tadi ternyata dia berada di dalam kamar mandi, padahal tak terdengar setetes airpun mengalir dari dalam sana.
"Sayang...Sayang..." Aku mencebik. Dulu saja ketika masih berpacaran dia selalu memanggilku Nir. Tak kujawab panggilannya tersebut.
Ia terus saja menyebutkan kata sayang yang semakin membuatku ingin mual.
"Apa?"
Mas Anggara mendongakkan sedikit badannya di ambang pintu.
"Bisa tolong ambilin handuk nggak, aku lupa nggak bawa." Aku menarik nafas dalam. Ini adalah kebiasaannya yang tak akan pernah hilang seumur hidup. Aku segera bergegas menuju laundry room. Padahal jarak antara kamar mandi ke ruangan ini hanya sekitar lima langkah. Toh tidak akan ada orang yang melihatnya. Akupun tak tertarik.
"Ini." Ucapku seraya menyodorkan handuk berwarna putih tersebut ke arahnya. Aku memalingkan wajah namun Mas Anggara malah tertawa. Ia menyambut uluran tanganku. Namun tak hanya handuk yang ia ambil. Ia juga meraih tanganku kemudian dengan paksa menarikku masuk. Sial, dengan bodohnya aku malah masuk kedalam jebakannya yang sangat klise ini.
Ia mendorongku ke tembok seraya meletakkan kedua tangannya di sisi kiri kananku. Aku terus memandang sekitar karena tak mau melihat tubuh polosnya.
"Kamu inget nggak, dulu pas masih penganten baru kita sering mandi bareng?" Ucap Mas Anggara menggodaku.
Ia terus menatapku yang membuatku semakin salah tingkah. Tak banyak bualan yang keluar dari mulutnya kali ini, dan dia malah langsung mengecup bibirku.
Kali ini aku tak bisa lepas dari jeratannya.
Sial sekali lagi aku melakukan kesalahan yang sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus Sehat
2023-09-01
0
Tiharoh
nex
2022-03-21
1
Indah Yani
semangat ya thor,,, di tunggu up lg
2022-03-20
1